Ritual Beri Upah kepada Ancangan Ida Batara buat Hindari Bencana
Tradisi ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ di Desa Adat Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng
Desa Adat Pedawa percaya bahwa saat Galungan dan Kuningan, seluruh Ida Batara dan leluhur turun ke bumi disertai oleh ancangan masing-masing. Nah, setelah perayaan Galungan dan Kuningan selesai saat Ida Batara dan leluhur kembali ke kahyangan, ancangannya harus dikembalikan ke asalnya dengan diberi upah
SINGARAJA, NusaBali
Desa Adat Pedawa di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng sebagai salah satu desa Baliaga, memiliki banyak tradisi unik. Salah satunya, tradisi ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’, yang bermakna sebagai ritual simbolis memberi upah kepada ancangan (pengiring) Ida Batara, sehingga terhindar dari wabah penyakit dan bencana alam
Tradisi ritual ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ ini dilaksanakan Desa Adat pedawa 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali), 5 hari pasca rahina Kuningan. Untuk ritual ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ kali ini, sudah dilaksakanan di Madya Mandala Pura Desa Adat Pedawa pada Wraspati Kliwon Langkir, Kamis (6/3), bertepatan dengan rahina Beteng Was.
Menurut tokoh Desa Adat Pedawa, Wayan Sukrata, tradisi ritual ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ ini dilaksanakan krama setempat secara turun temurun, sebagai warisan leluhur. “Bahkan, tradisi ritual ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ ini dipercaya sudah ada semenjak Hari Raya Galungan dan Kuningan diperingati sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma,” ungkap Wayan Sukrata.
Tradisi ritual ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ ini dilaksanakan Desa Adat pedawa 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali), 5 hari pasca rahina Kuningan. Untuk ritual ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ kali ini, sudah dilaksakanan di Madya Mandala Pura Desa Adat Pedawa pada Wraspati Kliwon Langkir, Kamis (6/3), bertepatan dengan rahina Beteng Was.
Menurut tokoh Desa Adat Pedawa, Wayan Sukrata, tradisi ritual ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ ini dilaksanakan krama setempat secara turun temurun, sebagai warisan leluhur. “Bahkan, tradisi ritual ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ ini dipercaya sudah ada semenjak Hari Raya Galungan dan Kuningan diperingati sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma,” ungkap Wayan Sukrata.
Wakul berisi sarana upacara yang dibawa para hulun desa dan balian desa saat ritual ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’, Kamis (5/3). Foto:LILIK.
Desa Adat Pedawa sebagai salah satu desa tua di Bali, juga percaya bahwa saat Hari Raya Galungan dan Kuningan, seluruh Ida Batara dan leluhur turun ke bumi, disertai oleh ancangan masing-masing. Nah, ketika usainya perayaan Galungan dan Kuningan, saat Ida Batara dan leluhur kembali ke kahyangan, krama Desa Adat Pedawa harus memastikan ancangan Ida Batara ikut kembali ke asalnya.
“Saat itulah kami di Desa Adat Pedawa memberikan upah kepada ancangan Ida Batara, agar tidak terlena berada di dunia dan bisa kembali ke asalnya. Karena kalau mereka tidak kembali ke asalnya, bisa berbahaya. Ancangan Ida Batara bisa ngerebeda mendatangkan wabah penyakit, bencana alam, atau musibah lainnya, sehingga kami beri upah berupa haturan,” terang mantan Bendesa Adat Pedawa ini.
Sementara itu, dalam upacara rirtual ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ ini, sarana yang digunakan cukup unik. Para hulun desa (tokoh adat) beserta balian desa (dukun atau orang pintar) kompak membawa sejumlah dedaunan dari buah-buahan, umbi-umbian, kacang-kacangan, sebagai sarana upacara.
Masing-masing daun dan sarana upcara ini ditempatkan dalam satu wakul kecil, lalu posisinya dijejer sebelum dihaturkan kepada ancangan Ida Batara. Beberapa di antaranya yang memang wajib dipakai sarana upacara, antara lain, daun salak, daun jeruk, daun kepundung, daun manggis, daun durian, daun kaliasem, dan daun ceroring (duku).
“Itu sudah ada aturannya dan harus memakai sarana yang telah ditetapkan, tidak boleh tidak. Uacara ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ ini juga hanya dilakukan oleh para hulun desa dan balian desa. Jadi, tidak semua krama Desa Adat Pedawa ikut,” tegas Wayan Sukrata.
Rangkaian upacara ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ diawalai dengan menghaturkan piuning kepada balian desa, yang akan memimpin upacara. Selanjutnya, sarana khusus yang sudah disiapkan dijejer dan dibariskan di halaman Madya Mandala Pura Desa Adat Pedawa.
Menurut Sukrata, penempatan wakul yang berisi daun-daunan, biji-bijian, hingga umbi-umbian itu sudah ditetapkan urutannya dan tidak boleh ada yang tertukar. Krama Desa Adat Pedawa menggunakan sarana dedaunan, biji-bijian, dan umbi-umbian dalam ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’, karena merupakan simbol alam semesta.
Sarana yang digunakan juga cukup simpel, tanpa diisi dengan hiasan jejaitan janur atau kelengkapan lainnya, seperti banten pada umumnya, sebagai ciri khas desa tua. Setelah balian desa selesai menghaturkan upacara, dilanjutkan dengan maketis tirta (memercikkan air suci, Red). Upacara rirual ‘Nuasin Bala Galungan Bala Kuningan’ juga dilakukan dengan mecaru atuunan, menggunakan darah pitik (anak ayam) sebagai pebersihan dan juga upah bhutakala yang menyertai upacara.
Sukrata menyebutkan, krama Desa Adat Pedawa belum pernah mengingkari atau meniadakan tradisi ritual ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’ ini. Pasalnya, jika ritual ini sampai tidak dilaksanakan, dipercaya akan menimbulkan kebrebehan (mala petaka) yang dipicu oleh ancangan Ida Batara yang terlena dengan duniawi, tidak kembali ke asalnya.
Karena itu, kata Sukrata, ancangan Ida Batara harus dikembalikan ke asalnya dengan diberikan upah dari sarana yang dihaturkan. “Selama ini, kami tidak berani tak melaksanakan upacara ‘Nuasin Balan Galungan Balan Kuningan’, karena kami sangat percaya dengan tradisi dan keyakinan yang telah ada sejak leluhur kami dulu,” katanya. *k23
Komentar