Anggota Dewan Pertanyakan Kuota Toko Modern
Anggota DPRD Badung mendukung eksekutif menertibkan toko modern bodong, tetapi mempertanyakan alasan penerapan kuota.
MANGUPURA, NusaBali
Pemkab menyebut, acuan yang dipakai adalah Permendag.Anggota DPRD Badung mempertanyakan dasar pemerintah melakukan pendataan dan menerapkan kuota per wilayah atas keberadaan toko modern. Alasannya, dengan adanya pembatasan ini maka secara tidak langsung menjegal investasi masuk ke daerah. Padahal di sisi lain, pemerintah pusat telah membuka seluas-luasnya masuknya investasi. “Saya protes kalau ada pembatasan (toko modern, Red). Tapi kalau dilakukan pendataan dan penertiban yang tidak berizin, saya setuju,” kata anggota DPRD Badung I Nyoman Sentana, kantor DPRD Badung, Senin (22/8).
Bahkan pihaknya mendukung sepenuhnya agar Bupati I Nyoman Giri Prasta menutup toko modern yang tidak mengantongi izin. Karena hal itu nyata-nyata melanggar aturan. “Tetapi kan harus jelas dulu alasan kenapa dia tidak berizin, jangan sampai mereka tidak dapat izin karena prosesnya dipersulit,” ucapnya.
Meski mendorong ‘pemberangusan’ toko modern tak berizin, namun Sentana yang juga Ketua Badan Kehormatan DPRD Badung, ini tetap mempertanyakan alasan Pemkab Badung menerapkan pola kuota. Padahal toko modern sejauh ini sudah cukup banyak berperan dalam pembangunan, utamanya dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Dari sudut pandang politisi asal Blahkiuh, Abiansemal, itu toko modern membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan juga berhasil memberikan penghidupan yang layak kepada masyarakat dengan cara menyewa lahannya yang tidak produktif untuk disulap menjadi toko modern. “Dengan menyewa tanah masyarakat antara seratus sampai dua ratus juta, sangat membantu pemilik tanah. Karena kan toko itu kalau sudah habis kontrak bisa jadi milik masyarakat sendiri,” bebernya.
Sentana pun menolak bila keberadaan toko modern dikait-kaitkan dengan matinya pasar tradisional dan warung-warung kecil. Menurut dia, pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Justru toko modern menggeliatkan perekonomian masyarakat. “Di Blahkiuh, contohnya, dulu tanah sebelum ada toko modern cuma dua juta, tapi sekarang setelah ada toko modern sudah 12 juta rupiah. Dan pasar tradisional dan toko modern bisa kok hidup berdampingan,” kata Sentana lagi.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan (Diskoperindag) Kabupaten Badung I Ketut Karpiana menegaskan pendataan terhadap keberadaan toko modern adalah perintah langsung dari pusat. Acuannya, sebut pejabat asal Cemagi, Mengwi, itu adalah Permendag 56/M-DAG/PER/9/2014 tentang Perubahan Atas Permendag No 70/M-DAG/PER/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Termasuk soal kuota toko modern juga acuannya Permendag tersebut.
Dalam menyusun aturan pembatasan toko modern, Karpiana menggandeng pihak Unud untuk membuat kajian. Dari hasil kajian itu ternyata Badung hanya perlu sekitar 1.760 toko modern. Meliputi 400 di Kecamtan Kuta Selatan, 389 Kuta, 408 Kuta Utara, 264 Mengwi, 222 Abiansemal, dan 77 toko modern di Kecamatan Petang.
“Ini sudah hasil kajian. Seperti luas wilayah, jumlah penduduk, dan pendapatan penduduknya,” tutur Karpiana sembari menyebut bila acuan sekarang berbeda dengan sebelumnya yang menggunakan jarak. * asa
Bahkan pihaknya mendukung sepenuhnya agar Bupati I Nyoman Giri Prasta menutup toko modern yang tidak mengantongi izin. Karena hal itu nyata-nyata melanggar aturan. “Tetapi kan harus jelas dulu alasan kenapa dia tidak berizin, jangan sampai mereka tidak dapat izin karena prosesnya dipersulit,” ucapnya.
Meski mendorong ‘pemberangusan’ toko modern tak berizin, namun Sentana yang juga Ketua Badan Kehormatan DPRD Badung, ini tetap mempertanyakan alasan Pemkab Badung menerapkan pola kuota. Padahal toko modern sejauh ini sudah cukup banyak berperan dalam pembangunan, utamanya dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Dari sudut pandang politisi asal Blahkiuh, Abiansemal, itu toko modern membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan juga berhasil memberikan penghidupan yang layak kepada masyarakat dengan cara menyewa lahannya yang tidak produktif untuk disulap menjadi toko modern. “Dengan menyewa tanah masyarakat antara seratus sampai dua ratus juta, sangat membantu pemilik tanah. Karena kan toko itu kalau sudah habis kontrak bisa jadi milik masyarakat sendiri,” bebernya.
Sentana pun menolak bila keberadaan toko modern dikait-kaitkan dengan matinya pasar tradisional dan warung-warung kecil. Menurut dia, pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Justru toko modern menggeliatkan perekonomian masyarakat. “Di Blahkiuh, contohnya, dulu tanah sebelum ada toko modern cuma dua juta, tapi sekarang setelah ada toko modern sudah 12 juta rupiah. Dan pasar tradisional dan toko modern bisa kok hidup berdampingan,” kata Sentana lagi.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan (Diskoperindag) Kabupaten Badung I Ketut Karpiana menegaskan pendataan terhadap keberadaan toko modern adalah perintah langsung dari pusat. Acuannya, sebut pejabat asal Cemagi, Mengwi, itu adalah Permendag 56/M-DAG/PER/9/2014 tentang Perubahan Atas Permendag No 70/M-DAG/PER/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Termasuk soal kuota toko modern juga acuannya Permendag tersebut.
Dalam menyusun aturan pembatasan toko modern, Karpiana menggandeng pihak Unud untuk membuat kajian. Dari hasil kajian itu ternyata Badung hanya perlu sekitar 1.760 toko modern. Meliputi 400 di Kecamtan Kuta Selatan, 389 Kuta, 408 Kuta Utara, 264 Mengwi, 222 Abiansemal, dan 77 toko modern di Kecamatan Petang.
“Ini sudah hasil kajian. Seperti luas wilayah, jumlah penduduk, dan pendapatan penduduknya,” tutur Karpiana sembari menyebut bila acuan sekarang berbeda dengan sebelumnya yang menggunakan jarak. * asa
1
Komentar