Jejak Dua Dekade Sang Sutradara
Hisar Frederick Ebert Sabungan Tambunan alias Erick Est
Dunia seni sudah dipantik sedari kanak-kanak oleh sang bunda. Awal pembuktian pun diwujudkan saat memutuskan meninggalkan Pulau Sumatera menuju Pulau Dewata.
DENPASAR, NusaBali
Berawal dari ajakan temannya saat masih duduk di bangku kuliah Program Studi Seni Rupa dan Desain (PSSRD) Universitas Udayana, Hisar Frederick Ebert Sabungan Tambunan, 40, menemukan renjana untuk menekuni dunia perfilman. Lewat ajakan dua puluh tahun silam itu, akhirnya ia memutuskan terjun sebagai sutradara.
"Tahun 2000 ada teman dari Jurusan Interior Design ngajak bikin film untuk diikutkan di ajang Festival Film Indonesia (FFI)," ujar Erick, sapaan akrabnya saat ditemui NusaBali di studionya di Kota Denpasar, Senin (23/3/2020) sore. Film 'Kenapa Aku?' adalah debut pertama Erick sebagai seorang sutradara. "Karena perfilman adalah dunia baru buat aku, aku tertarik menerima ajakannya," ungkap dia.
Film yang mengisahkan tentang pelajar SMA yang terjebak narkoba ini Erick buat berbekal pengetahuannya menekuni fotografi. "Ketika itu untuk pengambilan gambar aku sudah paham teknik-teknik dasarnya," sambung pendiri rumah produksi Estmovie ini. "Kesulitannya adalah menyesuaikan karakter dengan pemain. Karena baru pertama kali," ucapnya.
Untuk memproduksi film saat itu, Erick bersama temannya masih menyewa kamera dan peralatan lainnya. Tak disangka film perdana yang ia buat berhasil masuk dalam 60 besar kategori film pendek dari ribuan film yang diseleksi. Film berdurasi 7 menit itu lantas diputarkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. "Nggak nyangka aja waktu itu," tutur sutradara yang mengidolakan Christopher Nolan ini.
Minat Erick pada dunia seni, khususnya fotografi dan sinematografi, sejatinya telah tertanam sejak kecil yang dipantik oleh mendiang ibunya, Roselyha Situmorang. "Dia suka fotografi dan fesyen," kenangnya. Ketika Erick dilahirkan pada 7 Februari 1980 silam, ia dihadiahi gitar dan kamera oleh orangtuanya. "Mungkin mereka menganggap itu mainan buat aku," tuturnya.
"Justru ketika aku sudah dewasa baru menyadari ternyata profesiku tak jauh-jauh dari dua hal itu, yaitu musik dan film," kata sutradara yang menghabiskan masa kecilnya di Dumai ini. Ketika ia memutuskan pindah ke Bali untuk melanjutkan pendidikan di PSSRD Unud pada tahun 1999, mendiang ibunya adalah orang pertama yang mendukungnya.
"Hanya saja dia belum yakin dengan masa depanku. Ah, paling jadi tukang sablon," tirunya. Perkataan itu yang kemudian memacu Erick untuk membuktikan sesuatu kepada ibunya. "Setelah dia nonton filmku 'Rapuh' (2004) dan dengar filmku dapat penghargaan akhirnya dia mengakui," cerita sutradara penerima penghargaan Best Director di ajang 15/15 Film Festival Australia 2004 ini.
Pada tahun yang sama Erick memutuskan menyudahi perkuliahannya saat PSSRD digabung dengan STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. "Karena aku pikir setelah digabung ada revolusi yang bagus. Ternyata tidak. SKS malah banyak berubah. Kami harus mengambil mata kuliah yang sudah pernah diambil," gusarnya.
Sejak saat itu Erick memilih berfokus untuk membuat film dan video klip. Tawaran pertama video klip diterima Erick dari band Seratus Derajat Celcius. "Karena belum punya komputer, aku ngeditnya pinjam komputer teman di rumahnya," katanya. Band lainnya yang ia buatkan video klip saat itu adalah Taboo Band, kelompok musik yang digawangi komedian Arie Untung.
Video klip 'Cinta dan Matiku' berdurasi 5 menit ini berhasil masuk dalam nominasi MTV Awards, penghargaan musik kawula muda paling bergengsi ketika itu. "Sejak saat itulah aku mulai banyak terima permintaan untuk dibuatkan video klip," tambah sutradara yang pernah menggarap video klip milik musisi reggae Ras Muhamad ini. Erick juga pernah menggarap video klip single penyanyi Norwegian Idol, Jonas Thomassen 2010 lalu.
Tak berpuas di film fiksi dan video klip, pria sulung dari empat bersaudara ini menjajal menggarap film dokumenter pada tahun 2012. Film dokumenter pertama yang ia kerjakan, 'Janggan' (2014), mendokumentasikan layangan tradisional raksasa kebanggaan Rare Angon. Film ini menjadi karya sineas lokal Bali pertama yang masuk jaringan Cineplex.
"Produser AA Yoka Sara ngajakin untuk bikin film tentang layangan. Nah, aku belum ada gambaran bagaimana. Yang aku lakukan mempelajari dengan ikut bermain layang dan ternyata menarik. Ternyata layangan bukan cuman untuk bersenang-senang tapi juga adu kebanggaan yang punya sejarah panjang," ujar dia. Pembuatan film 'Janggan' dilakukan selama kurun waktu September 2012 hingga Oktober 2013.
Film dokumenter lainnya yang Erick garap, 'Long Sa'an, The Journey Back' (2014), mengisahkan Desa Long Sa'an di pedalaman Kalimantan yang sudah lama ditinggalkan oleh penduduknya. "Waktu itu tidak ada rencana bikin film. Diajakin Robi Navicula setelah dia bertemu Philius, pria yang lahir di Long Sa'an yang jadi tokoh utamanya," ungkap dia.
Erick merekam perjalanan pulang Philius ke Long Sa'an setelah meninggalkan desa kelahirannya sejak tahun 1970. "Aku awalnya hanya ingin menikmati perjalanannya. Ternyata cukup jauh. Perjalanan kami menyusuri hutan dan sungai selama dua hari. Karena tida ada listrik, aku pakai solar panel untuk mengisi daya kamera," tutur sutradara film Februari 505 ini.
'Long Sa'an, The Journey Back' ditayangkan perdana di Griffith University di Australia saat Erick memberikan kuliah sebagai dosen tamu. Film ini juga diputar di sejumlah negara, di antaranya Pasar Hamburg di Jerman dan Rainforest World Music Festival di Malasyia.*cr75
Komentar