MUTIARA WEDA: Wabah dan Kesadaran
Hredaye cittasamghattad drsyasvapadarsanam (Siva Sutra, I.15)
Ketika pikiran menyatu dengan inti kesadaran, setiap fenomena yang bisa diobservasi, atau bahkan kekosongan hadir sebagai bentuk kesadaran itu sendiri.
MASALAH, apapun bentuknya, berapa pun ukurannya, harus dihadapi. Sudah ditakdirkan demikian. Itu hukum semesta yang tak bisa dihindari. Hanya saja, orang berbeda-beda memahami, menilai, dan mengatasinya. Cara mengatasi masalah ditentukan dari jenisnya dan cara pandang terhadapnya. Cara pandang itu berbeda-beda ditentukan oleh berbagai faktor, seperti kelahiran, pendidikan, lingkungan sosial, kondisi psikologi, dan kondisi eksternal seseorang. Seseorang lahir membawa kondisinya masing-masing. Perbedaan kondisi ini menyebabkan cara berpikir berbeda-beda. Sementara pendidikan yang berbeda membuat penguasaan atas masalah juga berbeda jangkauannya. Sementara itu, lingkungan sosial juga sangat mempengaruhi cara pandang orang terhadap sebuah masalah. Orang yang lingkungan sosialnya lebih individual cara berpikirnya berbeda dengan mereka yang hidup di tengah lingkungan yang komunal. Kondisi psikologi sangat mempengaruhi cara pandang seseorang dalam menganalisa sebuah masalah. Terakhir, kondisi eksternal juga sangat
mempengaruhi, apakah mereka dalam kategori sejahtera, pra sejahtera atau kaya raya, demikian juga apakah muda atau tua, laki atau perempuan.
Namun, apapun cara pandang itu, teks seperti di atas bisa dijadikan rujukan untuk menganalisa dan menyelesaikan masalah. Seperti misalnya, masalah virus Corona yang mewabah di seluruh dunia saat ini. Banyak yang melihat bahwa ini adalah bentuk hukuman dari Tuhan yang menjadikan hidup lebih susah. Tanggapan atas cara pandang ini berbeda satu dengan yang lainnya. Ada dari mereka larut dalam derita, tidak mampu berbuat apa. Ada juga mengambil inisiatif untuk memohon pengampunan ke hadapan Tuhan, bahwa tegurannya telah mampu meluluhkan kesombongannya selama ini. Ada juga yang melihat ini sebagai ujian, sehingga mereka lebih melihat ke dalam diri dan menguatkan hatinya, menyabarkan dirinya agar lulus dari ujian ini. Ada juga yang melihat bahwa musibah ini adalah sebuah media untuk mengetuk hati manusia yang telah membatu, di mana sesungguhnya mereka bukan apa-apa. Mereka kemudian menjadikan ini sebagai media spiritual yang sangat efektif.
Kadang, masalah adalah metode spiritual yang paling efektif, sebab ego orang langsung dijatuhkan secara serta merta. Makanya, tidak jarang orang mengalami perubahan yang signifikan secara spiritual ketika musibah datang kepadanya secara bertubi-tubi. Mungkin musibah meluasnya wabah ini adalah metode spiritual di mana alam memaksa manusia untuk kembali ke dalam dirinya. Jika ini cara pandangnya, maka teks di atas bisa dijadikan sebagai tuntunan, atau bahkan dapat dijadikan media untuk menemukan kebenaran di baliknya. Artinya, ketika wabah ini menyerang, semua orang terperangah dan melihat dirinya, kemudian berupaya melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya. Tentu, dalam prosesnya berbegai kepanikan, kegaduhan, dan keguncangan pikiran terjadi, sebab virus ini tidak saja mematikan fisik, tetapi juga mematikan aspek kehidupan lainnya. Yang paling tampak di awal adalah ekonomi. Tentu, ketika masalah ini berlarut, kejadian lain seperti keamanan juga terganggu. Di sini, orang mulai meruncingkan kesadarannya. Alam memaksa agar orang menjadi awas terhadap fenomena kehidupan ini.
Menurut teks di atas, mereka yang mampu awas ke dalam tahapan yang paling tinggi, dia akan mampu mencapai core kesadarannya. Jika dia mampu berada di sana, maka apapun yang tampak, baik dunia fenomena, alam pemikiran atau bahkan kekosongan itu sendiri akan hadir sebagai bentuk dari kesadaran itu sendiri. Ini tentu sangat menarik, sebab jika dia awas secara penuh, dia tidak lagi dipengaruhi oleh fenomena dualitas duniawi. Apapun akan menjadi kesadaran. Salah satu atribut dari kesadaran adalah anandam. Apapun fenomena yang terjadi, dia bisa larut ke dalamnya dan menyatu di dalam kesadaran itu sendiri. Jika boleh diinterpretasi, teks di atas menguraikan tentang kesatuan dengan semua fenomena yang pada intinya adalah kesadaran. Jika mereka mampu menyatu, maka dirinya yang ditumpangi oleh ego juga lenyap. Ego yang merasa susah dan senang pun lenyap, sehingga rasa itu pun secara otomatis lenyap. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar