Pragina Wayang Wong Diwarisi Turun Temurun dari Garis Keturunan
Komang yang kini menjabat Kadis Sosial Buleleng, juga seorang pragina Wayang Wong Tejakula. Dia otomatis bisa ngigel tanpa proses belajar, setelah terpanggil melalui mimpi
Gede Komang mengisahkan, dirinya memang lahir dan dibesarkan di tengah keluarga keturunan pragina Wayang Wong Tejakula. “Dulu buyut saya yang menari Wayang Wong Tejakula. Karena sudah waktunya, maka saya yang mewarisi jadi pragina. Kalau warisan niskala ini ditolak, kami percaya akibatnya bisa fatal. Bisa saja kami mimpi buruk terus menerus atau mungkin sakit menahun. Ini kepercayaan yang memang terjadi pada kami,” jelas Gede Komang.
Sebaliknya, Gede Putu Tirta Ngis alias Putu Ngis mengaku sama sekali tidak tahu siapa kerabat atau leluhurnya yang pernah menarikan Wayang Wong Tejakula. Namun, tokoh sepuh yang kini bertndak sebagai sutradara pementasan sakral Wayang Wong Tejakula ini secara turun temurun memang memiliki hubungan kekerabatan dengan I Gusti Ngurah Jelantik.
Sekadar dicatat, I Gusti Ngurah Jelantik merupakan salah satu dari dua seniman besar masa silam, selain I Dewa Batan, yang pegang andil di balik kelahiran kesenian Wayang Wong Tejakula di abad ke-17. Mereka pula yang membuat topeng-topeng berbahan dasar kayu, yang wajahnya menyerupai tokoh-tokoh dalam epos Ramayana. Total ada 175 topeng yang dibuat saat itu.
Ratusan topeng tersebut terbagi dalam beberapa kelompok, seperti Kelompok Rama, Kelompok Laksamana, Kelompok Sugriwa, Kelompok Wibisana, Kelompok Rahwana, Kelompok Kumbakarna, Kelompok Raksasa, hingga Kelompok Punakawan. Hingga kini, topeng-topeng tersebut disimpan di Pura Maksan Desa Pakraman Tejakula dan dikeluarkan pada saat-saat tertentu untuk digunakan menari Wayang Wong Tejakula.
Putu Ngis mengaku sempat berjanji secara niskala akan ngigel Wayang Wong Tejakula ketika rusuh G 30 S/PKI melanda Buleleng, akhir Septetember 1965 silam. Kala itu, teman-temannya banyak yang dibunuh karena dianggap Komunis atau terlibat dengan aktivitas PKI.
“Akhirnya, baru di tahun 1975 saya belajar memainkan Wayang Wong Tejakula. Saya jadi pragina sampai tahun 1985. Proses belajarnya ya menari, pentas, melihat. Dari sana saya akhirnya bisa memainkan semua tokoh wayang wong,” cerita Putu Ngis, satu-satunya pragina yang bisa memainkan semua peran dalam kesenian Wayang Wong Tejakula.
Putu Ngis mengisahkan, sejak lahir di abad ke-17, kesenian sakral Wayang Wong Tejakula terus berkembang. Kesenian ini juga mulai disukai wisatawan mancanegara (wisman). Namun, karena disakralkan, Wayang Wong Tejakula tak bisa dimainkan sembarangan.
Batulah pada 980-an, I Nyoman Tusan, salah seorang seniman Wayang Wong Tejakula, cetuskan ide untuk membuat duplikat topeng-topeng warisan abad ke-17. Tujuannya, agar kesenian Wayang Wong Tejakula bisa dimainkan sebagai tontonan di sembarang tempat dan waktu, sehingga bisa dinikmati wisatawan maupun masyarakat luas.
Topeng-topeng duplikat itu kemudian dimainkan oleh Sekaa Wayang Wong Guna Murti, Desa Pakraman Tejakula, yang beranggotakan 50 orang. Anggota Sekaa Wayang Wong Guna Murti ini yang membawa kesenian Wayang Wong Tejakula lebih luas lagi. Bukan hanya di Bali, namun juga dipentaskan hingga di luar negeri.
Bertindak sebagai Kelian Sekaa Wayang Wong Guna Murti juga oranbg yang sama, yakni Gede Putu Tirta Ngis. Menurut Putu Ngis, skaa untuk pentas tontonan ini sudah dua kali diundang tampil ke luar negeri. Pertama, tampil di Jepang tahun tahun 1993. Kedua, mentas di Swedia tahun 1995.
Kesenian Sekaa Wayang Wong Tejakula hingga kini terus lestari dengan cara yang mistis. Selalu saja muncul generasi penerus, yang akan menari ketika waktunya sudah tiba. Bagi mereka, menarikan Wayan Wong Tejakula bukan hanya untuk berbakti dan berkarya buat masyarakat, tapi juga persembahan keada Sang Pencipta.
Kesenian Wayang Wong Tejakula sendiri sudah dapat pengakuan dari UNESCO---badan dunia di bawah PPB yang mengurusi segala hal menyangkut bidang pendidikan, sains, dan kebudayaan---sebagai ‘Warisan Budaya Dunia Tak Benda’. Penyerahan sertifikat ‘Warisan Budaya Dunia Tak Benda’ itu telah dilakukan saat pembukaan acara Buleleng Fesstival (Bulfest) IV 2016 di depan Tugu Singa Ambara Raja, Buleleng, 2 Agustus 2016 lalu.
Sertifikat dari UNESCO tersebut diserahkan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Pem-bangunan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Arie Budhiman, kepada Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana. Arie Budhiman menyatakan turut berbangga atas prestasi pelestarian seni budaya yang telah dilakukan Buleleng. Pihaknya berharap dengan keberhasilan Buleleng dalam pelestarian kesenian klasik, dapat menginspirasi daerah lainnya. “Karena pelestarian tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tapi juga memerlukan dukungan dari masyarakat sebagai pelaku kesenian,” kata Arie Budhiman kala itu. * k23
Sebaliknya, Gede Putu Tirta Ngis alias Putu Ngis mengaku sama sekali tidak tahu siapa kerabat atau leluhurnya yang pernah menarikan Wayang Wong Tejakula. Namun, tokoh sepuh yang kini bertndak sebagai sutradara pementasan sakral Wayang Wong Tejakula ini secara turun temurun memang memiliki hubungan kekerabatan dengan I Gusti Ngurah Jelantik.
Sekadar dicatat, I Gusti Ngurah Jelantik merupakan salah satu dari dua seniman besar masa silam, selain I Dewa Batan, yang pegang andil di balik kelahiran kesenian Wayang Wong Tejakula di abad ke-17. Mereka pula yang membuat topeng-topeng berbahan dasar kayu, yang wajahnya menyerupai tokoh-tokoh dalam epos Ramayana. Total ada 175 topeng yang dibuat saat itu.
Ratusan topeng tersebut terbagi dalam beberapa kelompok, seperti Kelompok Rama, Kelompok Laksamana, Kelompok Sugriwa, Kelompok Wibisana, Kelompok Rahwana, Kelompok Kumbakarna, Kelompok Raksasa, hingga Kelompok Punakawan. Hingga kini, topeng-topeng tersebut disimpan di Pura Maksan Desa Pakraman Tejakula dan dikeluarkan pada saat-saat tertentu untuk digunakan menari Wayang Wong Tejakula.
Putu Ngis mengaku sempat berjanji secara niskala akan ngigel Wayang Wong Tejakula ketika rusuh G 30 S/PKI melanda Buleleng, akhir Septetember 1965 silam. Kala itu, teman-temannya banyak yang dibunuh karena dianggap Komunis atau terlibat dengan aktivitas PKI.
“Akhirnya, baru di tahun 1975 saya belajar memainkan Wayang Wong Tejakula. Saya jadi pragina sampai tahun 1985. Proses belajarnya ya menari, pentas, melihat. Dari sana saya akhirnya bisa memainkan semua tokoh wayang wong,” cerita Putu Ngis, satu-satunya pragina yang bisa memainkan semua peran dalam kesenian Wayang Wong Tejakula.
Putu Ngis mengisahkan, sejak lahir di abad ke-17, kesenian sakral Wayang Wong Tejakula terus berkembang. Kesenian ini juga mulai disukai wisatawan mancanegara (wisman). Namun, karena disakralkan, Wayang Wong Tejakula tak bisa dimainkan sembarangan.
Batulah pada 980-an, I Nyoman Tusan, salah seorang seniman Wayang Wong Tejakula, cetuskan ide untuk membuat duplikat topeng-topeng warisan abad ke-17. Tujuannya, agar kesenian Wayang Wong Tejakula bisa dimainkan sebagai tontonan di sembarang tempat dan waktu, sehingga bisa dinikmati wisatawan maupun masyarakat luas.
Topeng-topeng duplikat itu kemudian dimainkan oleh Sekaa Wayang Wong Guna Murti, Desa Pakraman Tejakula, yang beranggotakan 50 orang. Anggota Sekaa Wayang Wong Guna Murti ini yang membawa kesenian Wayang Wong Tejakula lebih luas lagi. Bukan hanya di Bali, namun juga dipentaskan hingga di luar negeri.
Bertindak sebagai Kelian Sekaa Wayang Wong Guna Murti juga oranbg yang sama, yakni Gede Putu Tirta Ngis. Menurut Putu Ngis, skaa untuk pentas tontonan ini sudah dua kali diundang tampil ke luar negeri. Pertama, tampil di Jepang tahun tahun 1993. Kedua, mentas di Swedia tahun 1995.
Kesenian Sekaa Wayang Wong Tejakula hingga kini terus lestari dengan cara yang mistis. Selalu saja muncul generasi penerus, yang akan menari ketika waktunya sudah tiba. Bagi mereka, menarikan Wayan Wong Tejakula bukan hanya untuk berbakti dan berkarya buat masyarakat, tapi juga persembahan keada Sang Pencipta.
Kesenian Wayang Wong Tejakula sendiri sudah dapat pengakuan dari UNESCO---badan dunia di bawah PPB yang mengurusi segala hal menyangkut bidang pendidikan, sains, dan kebudayaan---sebagai ‘Warisan Budaya Dunia Tak Benda’. Penyerahan sertifikat ‘Warisan Budaya Dunia Tak Benda’ itu telah dilakukan saat pembukaan acara Buleleng Fesstival (Bulfest) IV 2016 di depan Tugu Singa Ambara Raja, Buleleng, 2 Agustus 2016 lalu.
Sertifikat dari UNESCO tersebut diserahkan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Pem-bangunan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Arie Budhiman, kepada Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana. Arie Budhiman menyatakan turut berbangga atas prestasi pelestarian seni budaya yang telah dilakukan Buleleng. Pihaknya berharap dengan keberhasilan Buleleng dalam pelestarian kesenian klasik, dapat menginspirasi daerah lainnya. “Karena pelestarian tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tapi juga memerlukan dukungan dari masyarakat sebagai pelaku kesenian,” kata Arie Budhiman kala itu. * k23
1
2
Komentar