Cegah Wong Jadi Labaan Bhuta Kala
Nangluk Corona dengan Nasi Wong-wongan
Kepercayaan Hindu di Bali, segehan wong-wongan dimaksudkan sebagai ‘pengganti’ orang yang mengalami musibah tersebut, dengan harapan orangnya selamat dan terhindar dari marabahaya.
DENPASAR, NusaBali
Pemerintah bersama komponen terkait kini terus mengampanyekan pelbagai upaya untuk menangkal penyebaran wabah Covid-19 atau Corana. Materi kampanye itu selain membatasi diri ke luar rumah atau isolasi diri (self distancing), juga menjaga kesehatan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), serta menerapkan physical distancing atau jaga jarak, serta work from home dan belajar di rumah.
Namu khusus bagi krama Hindu di Bali, upaya itu belum cukup. Krama Bali juga menempuh jalan niskala dalam menghadapi virus yang telah menjangkiti lebih dari 200 negara di dunia itu. Salah satunya dengan menghaturkan pejati di sanggah keluarga dan segehan wong-wongan (berbentuk mirip manusia) di lebuh pekarangan.
Imbauan menghaturkan pejati di sanggah keluarga dan segehan wong-wongan di lebuh pekarangan rumah masing-masing tertuang dalam surat dari Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali perihal nunas ica (memohon keselamatan) kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Upacara secara serentak telah diawali pada Anggara Umanis Krulut, Selasa (31/3), dengan menghaturkan pejati dan nyejer sampai dengan wabah Covid-19 berakhir. Nunas ica dilakukan bersama pemangku di Pura Kahyangan Tiga Desa Adat masing-masing dengan cara nyejer daksina.
Kemudian dilanjutkan dengan upacara nunas ica yang pelaksanaannya di Pura Kahyangan Tiga Desa pada 2 - 7 April 2020 agar banten pejati dilengkapi dengan bungkak gadang atau bungkak gading yang dilaksanakan setiap hari. Sedangkan pada Wraspati Pon Krulut, Kamis (2/4), untuk di tingkat merajan atau sanggah keluarga menghaturkan banten pejati dilengkapi dengan bungkak gadang atau bungkak gading. Upacara ini diikuti dengan persembahyangan di sanggah keluarga masing-masing, selanjutnya air bungkak nyuh gadang atau gading dipercikkan dan diminum bersama-sama.
Serta di lebuh pekarangan menghaturkan nasi wong-wongan dengan ulam bawang, jahe, uyah, beralaskan muncuk daun pisang. Adapun ketentuan segehan wong-wongan yakni pada bagian kepala nasi berwarna putih, tangan kanan nasi berwarna merah, tangan kiri nasi berwarna kuning, badan nasi manca warna, dan kaki nasi berwarna hitam.
Khusus segehan nasi wong-wongan, Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana MSi mengatakan, segehan tersebut menggunakan dasar sastra Lontar Usadha Gering. Segehan wong-wongan digunakan sebagai penolak bala. Biasanya dihaturkan ketika dalam keluarga mengalami mara bahaya, penyakit yang susah sembuh terutama yang berkaitan dengan roh, atau pun sasab merana (wabah penyakit) karena alam. Dipilihnya hari Kamis atau Wraspati untuk menghaturkan segehan wong-wongan karena diyakini merupakan hari baik yang berkaitan dengan tuas atau pengobatan.
“Kata ‘wong’ berarti orang. Wong-wongan berarti orang-orangan. Kepercayaan Hindu di Bali, segehan wong-wongan dimaksudkan sebagai ‘pengganti’ orang yang mengalami musibah tersebut. Dengan harapan orangnya selamat dan terhindar dari marabahaya,” terangnya saat dihubungi Sabtu (4/4). Intinya, ‘pergantian’ untuk menukar dan mencegah wong (manusa/manusia) jadi labaan (santapan) para bhuta kala (makhluk maya/nirtampak).
Segehan merupakan bagian dari upacara Bhuta Yadnya, yakni upacara yang bertujuan untuk mengharmoniskan atau nyomia alam semesta dari kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif. Segehan sama halnya dengan caru atau penangluk merana, kata Prof Sudian, bertujuan untuk nyomia, mengubah kekuatan negatif menjadi positif agar tidak mengganggu. “Kalau di Bali upacara Bhuta Yadnya sering dilakukan dalam bentuk masegeh, macaru, tawur, dan lain-lain. Hampir setiap saat kita lakukan itu,” jelas tokoh yang juga Rektor Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa itu.
Lebih lanjut, terkait pewarnaan segehan wong-wongan sesuai yang tercantum dalam surat tersebut, Prof Sudiana menjelaskan, segehan tersebut sesungguhnya mancawarna yakni merupakan lambang panca dewata dan panca aksara (Sa Ba Ta A I). Untuk bagian kepala melambangkan arah timur, tangan kanan melanbangkan arah selatan, tangan kiri melambangkan arah barat, kaki arah utara, serta tengah melambangkan mancawarna. “Filosofi sebenarnya itu adalah segehan mancawarna. Tapi dalam kaitan dengan ini (wabah Covid-19), dijadikan segehan wong-wongan. Kelima warna ini melambangkan Panca Dewata. Masing-masing punya bhuta (anak buah),” terang Sudiana.
Namun tentu saja upaya dan doa harus berjalan beriringan. Prof Sudiana mengimbau masyarakat Bali untuk taat dan disiplin mengikuti arahan pemerintah sebagai upaya sekala. Upaya itu antara lain membatasi diri ke luar rumah, menjaga kesehatan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), serta menerapkan physical distancing atau jaga jarak. Sedangkan mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai upaya niskala juga jangan terputus. Pihaknya berharap pandemik covid-19 ini segera berlalu dan dunia pulih, sehingga masyarakat bisa kembali beraktivitas seperti biasa.*ind
Namu khusus bagi krama Hindu di Bali, upaya itu belum cukup. Krama Bali juga menempuh jalan niskala dalam menghadapi virus yang telah menjangkiti lebih dari 200 negara di dunia itu. Salah satunya dengan menghaturkan pejati di sanggah keluarga dan segehan wong-wongan (berbentuk mirip manusia) di lebuh pekarangan.
Imbauan menghaturkan pejati di sanggah keluarga dan segehan wong-wongan di lebuh pekarangan rumah masing-masing tertuang dalam surat dari Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali perihal nunas ica (memohon keselamatan) kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Upacara secara serentak telah diawali pada Anggara Umanis Krulut, Selasa (31/3), dengan menghaturkan pejati dan nyejer sampai dengan wabah Covid-19 berakhir. Nunas ica dilakukan bersama pemangku di Pura Kahyangan Tiga Desa Adat masing-masing dengan cara nyejer daksina.
Kemudian dilanjutkan dengan upacara nunas ica yang pelaksanaannya di Pura Kahyangan Tiga Desa pada 2 - 7 April 2020 agar banten pejati dilengkapi dengan bungkak gadang atau bungkak gading yang dilaksanakan setiap hari. Sedangkan pada Wraspati Pon Krulut, Kamis (2/4), untuk di tingkat merajan atau sanggah keluarga menghaturkan banten pejati dilengkapi dengan bungkak gadang atau bungkak gading. Upacara ini diikuti dengan persembahyangan di sanggah keluarga masing-masing, selanjutnya air bungkak nyuh gadang atau gading dipercikkan dan diminum bersama-sama.
Serta di lebuh pekarangan menghaturkan nasi wong-wongan dengan ulam bawang, jahe, uyah, beralaskan muncuk daun pisang. Adapun ketentuan segehan wong-wongan yakni pada bagian kepala nasi berwarna putih, tangan kanan nasi berwarna merah, tangan kiri nasi berwarna kuning, badan nasi manca warna, dan kaki nasi berwarna hitam.
Khusus segehan nasi wong-wongan, Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana MSi mengatakan, segehan tersebut menggunakan dasar sastra Lontar Usadha Gering. Segehan wong-wongan digunakan sebagai penolak bala. Biasanya dihaturkan ketika dalam keluarga mengalami mara bahaya, penyakit yang susah sembuh terutama yang berkaitan dengan roh, atau pun sasab merana (wabah penyakit) karena alam. Dipilihnya hari Kamis atau Wraspati untuk menghaturkan segehan wong-wongan karena diyakini merupakan hari baik yang berkaitan dengan tuas atau pengobatan.
“Kata ‘wong’ berarti orang. Wong-wongan berarti orang-orangan. Kepercayaan Hindu di Bali, segehan wong-wongan dimaksudkan sebagai ‘pengganti’ orang yang mengalami musibah tersebut. Dengan harapan orangnya selamat dan terhindar dari marabahaya,” terangnya saat dihubungi Sabtu (4/4). Intinya, ‘pergantian’ untuk menukar dan mencegah wong (manusa/manusia) jadi labaan (santapan) para bhuta kala (makhluk maya/nirtampak).
Segehan merupakan bagian dari upacara Bhuta Yadnya, yakni upacara yang bertujuan untuk mengharmoniskan atau nyomia alam semesta dari kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif. Segehan sama halnya dengan caru atau penangluk merana, kata Prof Sudian, bertujuan untuk nyomia, mengubah kekuatan negatif menjadi positif agar tidak mengganggu. “Kalau di Bali upacara Bhuta Yadnya sering dilakukan dalam bentuk masegeh, macaru, tawur, dan lain-lain. Hampir setiap saat kita lakukan itu,” jelas tokoh yang juga Rektor Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa itu.
Lebih lanjut, terkait pewarnaan segehan wong-wongan sesuai yang tercantum dalam surat tersebut, Prof Sudiana menjelaskan, segehan tersebut sesungguhnya mancawarna yakni merupakan lambang panca dewata dan panca aksara (Sa Ba Ta A I). Untuk bagian kepala melambangkan arah timur, tangan kanan melanbangkan arah selatan, tangan kiri melambangkan arah barat, kaki arah utara, serta tengah melambangkan mancawarna. “Filosofi sebenarnya itu adalah segehan mancawarna. Tapi dalam kaitan dengan ini (wabah Covid-19), dijadikan segehan wong-wongan. Kelima warna ini melambangkan Panca Dewata. Masing-masing punya bhuta (anak buah),” terang Sudiana.
Namun tentu saja upaya dan doa harus berjalan beriringan. Prof Sudiana mengimbau masyarakat Bali untuk taat dan disiplin mengikuti arahan pemerintah sebagai upaya sekala. Upaya itu antara lain membatasi diri ke luar rumah, menjaga kesehatan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), serta menerapkan physical distancing atau jaga jarak. Sedangkan mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai upaya niskala juga jangan terputus. Pihaknya berharap pandemik covid-19 ini segera berlalu dan dunia pulih, sehingga masyarakat bisa kembali beraktivitas seperti biasa.*ind
1
Komentar