Menjadi Tempat Favorit Bebotoh Tajen untuk Membuat Taji
Banjar Batusangian dan Banjar Pande di Desa Gubug, Kecamatan Tabanan, Spesialis Perajin Besi
Karena sebagai sentral perajin besi, hampir setiap rumah penduduk di Banjar Pande yang mencapai 155 KK dan Banjar Batusangian berjumlah 59 KK dipastikan berisi perapen (tungku untuk mencairkan dan mengolah besi)
TABANAN, NusaBali
Dua banjar di Desa Gubug, Kecamatan Tabanan, yakni Banjar Batusangian dan Banjar Pande, selama ini dikenal sebagai spesialis pande (perajin) besi. Hampir 95 persen masyarakat di dua banjar ini menggantungkan hidup mereka dari memande besi, yang merupakan usaha warisan leluhur. Dua banjar ini pula yang menjadi tempat favorit bagi bebotoh tajen (penjudi sabung ayam) untuk membuat tajisenjata untuk sabung ayam.
Proses pembuatan kerajinan besi yang dilakukan masyarakat Banjar Batusangian dan Banjar Pande, Desa Gubug, sebenarnya hampir sama dengan pande besi umumnya di Bali. Tidak ada ciri khusus yang ditonjolkan. Hanya saja, hasil kerajinan besi dari dua banjar ini dianggap memiliki taksu.
Ada beragam jenis kerajinan besi yang dibuat masyarakat Banjar Batusangian dan Banjar Pande di Desa Gubug. Bentuknya, mulai dari peralatan rumah tangga seperti sabut, pisau, temutik, golok, hingga taji, tombak, dan keris. Produk kerajinan dari dua banjar ini sangat diminati masyarakat Bali, bahkan hingga ke luar Pulau Dewata.
Kelian Adat Banjar Batusangian, I Nengah Sumerta Yasa, mengungkapkan dulunya ada tiga banjar yang tergabung jadi satu, yakni Banjar Pande, Banjar Tonja, dan Banjar Batusangian. Ketiga banjar tersebut saat masih bersatu bernama Banjar Batusangian.
Dalam perkembangannya, karena jumlah penduduk semakin banyak, terjadi pemekaran hingga terbentuk tiga banjar berbeda. Dari tiga banjar itu, yang hampir 95 persen masyarakat bekerja sebagai perajin besi adalah Banjar Pande dan Banjar Batusangian.
“Jadi, kami dikenal masyarakat sebagai perajin Pande Batusangian. Kebetulan, dari sisi keturunan, kami juga soroh Pande,” ungkap Nengah Sumerta Yasa saat ditemui NusaBali di kediamannya, Banjar Batusangian, Desa Gubug, beberapa waktu lalu.
Menurut Sumerta Yasa, jumlah warga Banjar Batusangian saat ini mencapai 59 kepala keluarga (KK). Dari jumlah itu, sekitar 65 persennya menekuni kerajinan pande besi. Sedangkan jumlah penduduk Banjar Pande mencapai 155 KK. Lebih dari 95 persen di antaranya bekerja sebagai pande besi. “Pande besi menjadi pekerjaan utama, sementara pekerjaan sampingan masyarakat di sini adalah petani,” papar Sumerta Yasa.
Karena sebagai sentral perajin besi, hampir setiap rumah penduduk di Banjar Bande dan Banjar Batusangian dipastikan berisi perapen (tungku untuk mencairkan dan mengolah besi). Meskipun ada penduduk yang tidak memande besi, namun mereka juga membuat perapen sebagai tempat membakar besi. “Ada juga masyarakat yang tidak keturunan pande, ikut menjadi perajin besi, karena pengaruh lingkungan,” katanya.
Menurut Sumerta Yasa, masyarakat di Banjar Batusangian dan Banjar Pande hampir setiap hari memproduksi kerajinan besi. Mereka libur hanya ketika ada upacara besar dan hari Minggu. Ketika melakukan proses produksi, masing-masing rumah tangga dipastikan mengerahkan seluruh keluarganya berjibaku membuat kerajinan, mulai dari ayah, ibu, hingga anak.
“Kalau pas liburan sekolah seperti saat ini, kalangan anak-anak pasti ikut membantu orangtuanya memande. Yang anak-anak mengerjakan pada tahapan ringan, sedangkan orangtuanya di tahapan berat,” beber Sumerta Yasa.
Kendati sebagian besar masyarakat di Banbjar Pande dan Banjar Batusangian sebagai perajin besi, namun untuk masalah pemasaran, tidak ada persaingan yang ketat dan kotor. Pasalnya, setiap rumah tangga ada yang hanya membuat satu item jenis kerajinan, seperti pisau, keris, atau taji saja.
“Jadi, di sini tidak ada yang saling berebut pelanggan. Kalau misalnya menanyakan keris, sudah ada rumah tangga yang membuatnya. Behgitu pula jika pelanggan menanyakan produk beupa taji atau kerus, juga ada tempatnya. Kami di sini saling bantu dalam memasarkan produk,” jelas Sumerta Yasa.
Dengan jumlah ratusan KK yang setiap hari memproduksi kerajinan bisa dipastikan tiap minggunya ada ribuan kerajinan di produksi. Mulai dari pisau, seselet atau temutik, sabit, blakas, keris hingga taji. Keseluruhan kerajinan ini adalah barang favorit yang setiap hari diperlukan pelanggan.
Selain dijual di rumah, kata Sumerta Yasa, hasil kerajinan besi dari Banjar Pande dan Banjar Batusangian biasanya dijual ke Pasar Beringkit, Desa Mengwitani, Kecamatan Mengwi, Badung. Selain itu, ada juga pengepul yang mencari ke masing-masing perajin di Banjar Batusangian dan Banjar Pande.
Sebenarnya, menurut Sumerta Yasa, hasil kerajinan besi masyarakat Banjar Batusangian dengan Banjar Pande sama dengan tempat lainnya di Bali. Hanya saja, pelanggan menyebut produk kerajinan dari dua banjar ini memiliki taksu dan lebih berkualitas. “Katanya hasil kerajinan di sini memiliki taksu, selalu tajam. Tetapi, itu measi-asian (cocok-cocokan) juga,” katanya.
Khusus untuk produk taji, menurut Sumerta Yasa, bahkan sudah tembus pasar ekspor. Taji buatan perajin Banjar Pande dan Banjar Batusangian bukan hanya diburu bebtotoh tajen dari seantero Bali dan semjumlah kawasan di Indonesia, tapi bahkan Malaysia. “Katanya, taji dari sini metaksu. Sebagai besar bebotoh tajen dari Bali dan luar Bali memesan taji di Desa Gubug,” terang Sumerta Yasa.
Sumerta Yasa menyebutkan, untu harga, perajin di dua banjar ini mematok tarif sesuai dengan jenis produk dan ukurannya. Untuk pisau dapur, harganya kisaran Rp 8.000 sampai Rp 80.000. Kemudian untuk keris dijual kisarean Rp 1 juta hingga R 5 juta. Sedangkan untuk taji, harganya berkisar Rp 3 juta sampai Rp 7 juta per set berisia 12 taji.
Sumerta Yasa berharap kerajinan besi di Banjar Pande dan Banjar Batusangian dibantu dibuatkan hak cipta oleh pemerintah, agar tidak dijiplak dan diklaim pihak lain. Sumerta Yasa mencontohkan pati (gagang) pisau yang terbuat dari fiber, pencipta pertamanya adalah perajin di Pande Batusangian. Namun, kini sudah dijiplak orang luar. “Karena kita industri rumah tangga, harapan kita bisa dibantu oleh pe-merintah mengurus hak cipta,” harapnya. *des
Proses pembuatan kerajinan besi yang dilakukan masyarakat Banjar Batusangian dan Banjar Pande, Desa Gubug, sebenarnya hampir sama dengan pande besi umumnya di Bali. Tidak ada ciri khusus yang ditonjolkan. Hanya saja, hasil kerajinan besi dari dua banjar ini dianggap memiliki taksu.
Ada beragam jenis kerajinan besi yang dibuat masyarakat Banjar Batusangian dan Banjar Pande di Desa Gubug. Bentuknya, mulai dari peralatan rumah tangga seperti sabut, pisau, temutik, golok, hingga taji, tombak, dan keris. Produk kerajinan dari dua banjar ini sangat diminati masyarakat Bali, bahkan hingga ke luar Pulau Dewata.
Kelian Adat Banjar Batusangian, I Nengah Sumerta Yasa, mengungkapkan dulunya ada tiga banjar yang tergabung jadi satu, yakni Banjar Pande, Banjar Tonja, dan Banjar Batusangian. Ketiga banjar tersebut saat masih bersatu bernama Banjar Batusangian.
Dalam perkembangannya, karena jumlah penduduk semakin banyak, terjadi pemekaran hingga terbentuk tiga banjar berbeda. Dari tiga banjar itu, yang hampir 95 persen masyarakat bekerja sebagai perajin besi adalah Banjar Pande dan Banjar Batusangian.
“Jadi, kami dikenal masyarakat sebagai perajin Pande Batusangian. Kebetulan, dari sisi keturunan, kami juga soroh Pande,” ungkap Nengah Sumerta Yasa saat ditemui NusaBali di kediamannya, Banjar Batusangian, Desa Gubug, beberapa waktu lalu.
Menurut Sumerta Yasa, jumlah warga Banjar Batusangian saat ini mencapai 59 kepala keluarga (KK). Dari jumlah itu, sekitar 65 persennya menekuni kerajinan pande besi. Sedangkan jumlah penduduk Banjar Pande mencapai 155 KK. Lebih dari 95 persen di antaranya bekerja sebagai pande besi. “Pande besi menjadi pekerjaan utama, sementara pekerjaan sampingan masyarakat di sini adalah petani,” papar Sumerta Yasa.
Karena sebagai sentral perajin besi, hampir setiap rumah penduduk di Banjar Bande dan Banjar Batusangian dipastikan berisi perapen (tungku untuk mencairkan dan mengolah besi). Meskipun ada penduduk yang tidak memande besi, namun mereka juga membuat perapen sebagai tempat membakar besi. “Ada juga masyarakat yang tidak keturunan pande, ikut menjadi perajin besi, karena pengaruh lingkungan,” katanya.
Menurut Sumerta Yasa, masyarakat di Banjar Batusangian dan Banjar Pande hampir setiap hari memproduksi kerajinan besi. Mereka libur hanya ketika ada upacara besar dan hari Minggu. Ketika melakukan proses produksi, masing-masing rumah tangga dipastikan mengerahkan seluruh keluarganya berjibaku membuat kerajinan, mulai dari ayah, ibu, hingga anak.
“Kalau pas liburan sekolah seperti saat ini, kalangan anak-anak pasti ikut membantu orangtuanya memande. Yang anak-anak mengerjakan pada tahapan ringan, sedangkan orangtuanya di tahapan berat,” beber Sumerta Yasa.
Kendati sebagian besar masyarakat di Banbjar Pande dan Banjar Batusangian sebagai perajin besi, namun untuk masalah pemasaran, tidak ada persaingan yang ketat dan kotor. Pasalnya, setiap rumah tangga ada yang hanya membuat satu item jenis kerajinan, seperti pisau, keris, atau taji saja.
“Jadi, di sini tidak ada yang saling berebut pelanggan. Kalau misalnya menanyakan keris, sudah ada rumah tangga yang membuatnya. Behgitu pula jika pelanggan menanyakan produk beupa taji atau kerus, juga ada tempatnya. Kami di sini saling bantu dalam memasarkan produk,” jelas Sumerta Yasa.
Dengan jumlah ratusan KK yang setiap hari memproduksi kerajinan bisa dipastikan tiap minggunya ada ribuan kerajinan di produksi. Mulai dari pisau, seselet atau temutik, sabit, blakas, keris hingga taji. Keseluruhan kerajinan ini adalah barang favorit yang setiap hari diperlukan pelanggan.
Selain dijual di rumah, kata Sumerta Yasa, hasil kerajinan besi dari Banjar Pande dan Banjar Batusangian biasanya dijual ke Pasar Beringkit, Desa Mengwitani, Kecamatan Mengwi, Badung. Selain itu, ada juga pengepul yang mencari ke masing-masing perajin di Banjar Batusangian dan Banjar Pande.
Sebenarnya, menurut Sumerta Yasa, hasil kerajinan besi masyarakat Banjar Batusangian dengan Banjar Pande sama dengan tempat lainnya di Bali. Hanya saja, pelanggan menyebut produk kerajinan dari dua banjar ini memiliki taksu dan lebih berkualitas. “Katanya hasil kerajinan di sini memiliki taksu, selalu tajam. Tetapi, itu measi-asian (cocok-cocokan) juga,” katanya.
Khusus untuk produk taji, menurut Sumerta Yasa, bahkan sudah tembus pasar ekspor. Taji buatan perajin Banjar Pande dan Banjar Batusangian bukan hanya diburu bebtotoh tajen dari seantero Bali dan semjumlah kawasan di Indonesia, tapi bahkan Malaysia. “Katanya, taji dari sini metaksu. Sebagai besar bebotoh tajen dari Bali dan luar Bali memesan taji di Desa Gubug,” terang Sumerta Yasa.
Sumerta Yasa menyebutkan, untu harga, perajin di dua banjar ini mematok tarif sesuai dengan jenis produk dan ukurannya. Untuk pisau dapur, harganya kisaran Rp 8.000 sampai Rp 80.000. Kemudian untuk keris dijual kisarean Rp 1 juta hingga R 5 juta. Sedangkan untuk taji, harganya berkisar Rp 3 juta sampai Rp 7 juta per set berisia 12 taji.
Sumerta Yasa berharap kerajinan besi di Banjar Pande dan Banjar Batusangian dibantu dibuatkan hak cipta oleh pemerintah, agar tidak dijiplak dan diklaim pihak lain. Sumerta Yasa mencontohkan pati (gagang) pisau yang terbuat dari fiber, pencipta pertamanya adalah perajin di Pande Batusangian. Namun, kini sudah dijiplak orang luar. “Karena kita industri rumah tangga, harapan kita bisa dibantu oleh pe-merintah mengurus hak cipta,” harapnya. *des
Komentar