Peternakan Ayam di Bali Terkapar
Dari rata-rata terserap 180 ribu hingga 200 ribu ekor per hari, kini produksi ayam hanya terserap tidak lebih dari 60 ribu ekor.
DENPASAR, NusaBali
Ratusan peternak ayam broiler/pedaging bangkrut. Paling tidak untuk sementara. Hal tersebut disebabkan jebloknya serapan ayam/daging, karena imbas Covid-19. Dari rata-rata 180 ribu -200 ribu ekor per hari, kini produksi ayam hanya terserap tidak lebih dari 60 ribu ekor. Jeblok 60 persen, dari kondisi normal. Jika kondisi tersebut berlanjut, industri/peternakan ayam di Bali kemungkinan akan sekarat.
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Bali I Ketut Yahya Kurniadi, menyatakan ada 1.200 peternak yang bernaung dalam Pinsar Bali. Jumlah 1.200 peternak tersebut, termasuk peternak induk (mandiri) dan peternak partner. Dari 1.200 tersebut, 50 persen sudah mengosongkan kandangnya karena imbas Covid-19.
“Situasi terpuruk yang kami hadapi menyebabkan ayam tidak terserap dengan baik. Terjadi penumpukan stok di kandang ditawar sangat murah,” ungkap Yahya. Karena itulah kondisi peternak Bali saat ini sangat memprihatinkan.
Terkait hal tersebut Yahyar berharap pemerintah meninjau kembali kebijakan pembatasan jam buka pasar tradisional. “Kalau boleh jam buka pasar diperlonggar atau diperpanjang,” ujarnya. Alasannya pelonggaran jam buka pasar, bisa sedikit membantu masyarakat lebih leluasa mendapatkan barang kebutuhan pokok. Termasuk mendapatkan daging ayam, sebagai salah satu sumber protein. “Harapannya bisa sedikit membantu, setelah serapan dari sektor pariwisata, termasuk untuk resepsi dan upacara anjlok,” kata Yahya.
Selanjutnya, Pinsar Bali, kata Yahya meminta pemerintah melalui Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan dan stakeholder terkait, berkoordinasi dengan Karantina Pelabuhan Gilimanuk melakukan monitoring. Permintaan tersebut disampaikan karena ada indikasi daging (ayam) dengan kualitas tidak baik marak masuk ke Bali.” Dengan membanjirnya daging dari luar daerah tentuk semakin menambah berat kondisi dan kerugian para peternak,” ujarnya.
Harapannya ada sidak, untuk menanggulangi daging dari luar daerah dengan kualitas minor masuk ke Bali, yang potensial kian merusak harga.
Menurut Yahya, harga ayam hidup di pasar cenderung merosot. Pada Sabtu (4/4) lalu, harganya Rp 14.000 per kilogram. Lalu pada Minggu (5/4) turun menjadi Rp 12.000 per kilogram. Padahal modal per kilogram ayam Rp 19.500. Karenanya kerugian dari peternak rata-rata Rp 10.000 per kilogram. Sedang harga eceran daging kata Kurnia bisa mencapai Rp 40.000 per kilogram. “Dengan harga di kisaran Rp 14.000 – Rp 15.000 di peternak, harga daging ayam di pasaran semestinya berkisar Rp 25.000- Rp 30.000 per kilogram,” cetusnya. *k17
Ratusan peternak ayam broiler/pedaging bangkrut. Paling tidak untuk sementara. Hal tersebut disebabkan jebloknya serapan ayam/daging, karena imbas Covid-19. Dari rata-rata 180 ribu -200 ribu ekor per hari, kini produksi ayam hanya terserap tidak lebih dari 60 ribu ekor. Jeblok 60 persen, dari kondisi normal. Jika kondisi tersebut berlanjut, industri/peternakan ayam di Bali kemungkinan akan sekarat.
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Bali I Ketut Yahya Kurniadi, menyatakan ada 1.200 peternak yang bernaung dalam Pinsar Bali. Jumlah 1.200 peternak tersebut, termasuk peternak induk (mandiri) dan peternak partner. Dari 1.200 tersebut, 50 persen sudah mengosongkan kandangnya karena imbas Covid-19.
“Situasi terpuruk yang kami hadapi menyebabkan ayam tidak terserap dengan baik. Terjadi penumpukan stok di kandang ditawar sangat murah,” ungkap Yahya. Karena itulah kondisi peternak Bali saat ini sangat memprihatinkan.
Terkait hal tersebut Yahyar berharap pemerintah meninjau kembali kebijakan pembatasan jam buka pasar tradisional. “Kalau boleh jam buka pasar diperlonggar atau diperpanjang,” ujarnya. Alasannya pelonggaran jam buka pasar, bisa sedikit membantu masyarakat lebih leluasa mendapatkan barang kebutuhan pokok. Termasuk mendapatkan daging ayam, sebagai salah satu sumber protein. “Harapannya bisa sedikit membantu, setelah serapan dari sektor pariwisata, termasuk untuk resepsi dan upacara anjlok,” kata Yahya.
Selanjutnya, Pinsar Bali, kata Yahya meminta pemerintah melalui Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan dan stakeholder terkait, berkoordinasi dengan Karantina Pelabuhan Gilimanuk melakukan monitoring. Permintaan tersebut disampaikan karena ada indikasi daging (ayam) dengan kualitas tidak baik marak masuk ke Bali.” Dengan membanjirnya daging dari luar daerah tentuk semakin menambah berat kondisi dan kerugian para peternak,” ujarnya.
Harapannya ada sidak, untuk menanggulangi daging dari luar daerah dengan kualitas minor masuk ke Bali, yang potensial kian merusak harga.
Menurut Yahya, harga ayam hidup di pasar cenderung merosot. Pada Sabtu (4/4) lalu, harganya Rp 14.000 per kilogram. Lalu pada Minggu (5/4) turun menjadi Rp 12.000 per kilogram. Padahal modal per kilogram ayam Rp 19.500. Karenanya kerugian dari peternak rata-rata Rp 10.000 per kilogram. Sedang harga eceran daging kata Kurnia bisa mencapai Rp 40.000 per kilogram. “Dengan harga di kisaran Rp 14.000 – Rp 15.000 di peternak, harga daging ayam di pasaran semestinya berkisar Rp 25.000- Rp 30.000 per kilogram,” cetusnya. *k17
Komentar