MUTIARA WEDA: Sia-sia
Bhasmantam shariram (Yajurveda, 10.17)
Akhir dari badan adalah abu.
BANYAK orang akhirnya berpikir bahwa semua upaya yang dilakukan tidak membawanya ke mana-mana. Tidak elok itu disebut ‘sia-sia’, tapi itulah sejujurnya. Mengapa demikian? Apapun yang diusahakan itu, atau segala sesuatu bisa diusahakan oleh karena ada badan. Tanpa badan orang tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan, tanpa badan dia tidak bisa disebut orang, apalagi melakukan sesuatu. Hanya dalam badan, upaya itu bisa dilakukan, apapun itu. Sementara itu, teks di atas mengatakan bahwa badan pada akhirnya menjadi abu, tak terkecuali. Semua orang mati, dan badan yang mati akan dikubur atau dibakar. Setelah dikubur, dia menjadi tanah, sementara setelah dibakar, dia menjadi abu. Apa bedanya menjadi abu atau menjadi tanah? Di mana letak nilai usaha yang selama hidup dikerjakannya itu? Tidakkah itu bisa disebut ‘sia-sia’?
Untuk mengurai hal itu, ada banyak jawaban yang bisa diterima. Mengapa mesti dijawab? Karena pada prinsipnya semua orang tidak suka dengan sebutan ‘sia-sia’ itu, meskipun mereka mengakui kebenarannya. Pertama, bagi sebagian besar pemeluk agama mengatakan, bahwa setiap upaya tidak ada yang sia-sia. Pilihannya mesti melakukan tindakan-tindakan mulia, sebab setelah badan menjadi abu, sorga menanti. Dia akan menikmati kesenangan sebagai balasan dari tindakannya selama hidup di dunia. Makanya, agama mengajarkan tentang kebaikan dan kemuliaan, yang sebenarnya bertentangan dengan tabiat manusia yang penuh dengan kebodohan, keserakahan, dan kemarahan. Kedua, banyak juga kitab suci menerangkan bahwa semasih hidup orang harus terus berupaya untuk menemukan keberadaan dirinya yang sejati. Tujuan hidup manusia adalah menyatu dengan Hyang Tunggal. Apapun tindakan manusia, semuanya dibimbing untuk menyadari kemanunggalannya dengan keheningan atau Hyang Tunggal tersebut. Itu penjelasan teologis yang umum didengar.
Sementara ada jawaban lain yang lebih bersifat filosofis. Ketiga, Kaum Lokayata mengatakan bahwa hidup itu adalah sebuah kebetulan. Ketika dilahirkan, alam menyuntikkan zat hidup kepadanya. Ketika saatnya nanti, zat hidup itu akan kembali ke alam. Sesuatu akan tampak bernilai hanya ketika zat itu masih ada di dalam tubuh. Oleh karena itu, memikirkan nilai yang melewati batas hidup adalah sia-sia. Berpikir bahwa melakukan perbuatan baik agar mendapat sorga atau moksa setelah meninggal adalah sia-sia, sebab ketika zat hidup telah tiada, pikiran kita secara otomatis tidak bekerja, dan semua pengetahuan akan lenyap bersamanya. Bagaimana kita bisa mengetahui kalau sorga atau moksa itu ada, sementara piranti yang digunakan untuk mengetahui itu telah tidak berfungsi? Tidak ada yang lebih bodoh daripada orang yang berpikir tentang sorga atau moksa setelah kematian dan melakukan semua upaya untuk itu. Makanya, bersenang-senanglah, karena hanya itu yang bernilai semasih zat hidup itu berada pada badan. Melakukan tapa a
tau sadhana spiritual tidak memberi nilai apa-apa, dan bahkan itu hanya buang-buang waktu.
Sementara, keempat, ada juga jawaban lain yang tampaknya masuk akal. Krishna mengatakan bahwa orang dilahirkan telah terjebak ke dalam karma. Tidak ada satu pun ciptaan yang lepas dari karma. Oleh karena itu, melakukan sesuatu adalah nature dari setiap ciptaan. Itu disebut svadharma. Jika seorang guru, mengajar adalah pekerjaannya. Jika seorang nelayan, mencari ikan adalah kesehariannya, demikian seterusnya. Oleh karena alam ‘memaksa’ demikian, maka mau tidak mau dia harus menerimanya. Semakin ikhlas melakukan pekerjaan itu, semakin bahagia mereka. Kebahagiaan itu datang dari mengerjakannya, bukan dari hasilnya. Makanya disarankan, ‘kerjakanlah kewajibanmu tanpa harus terikat dengan hasilnya’. Orang yang terikat dengan hasil tidak akan bahagia. Demikian kira-kira.
Terakhir, ada juga yang karena mempelajari itu semua, dan merasa semua jawaban itu sia-sia, akhirnya tidak mampu membuat kesimpulan. Pikiran orang itu ibaratnya seperti ini: Ketika dia diminta memilih, ‘baik atau buruk’, ‘senang atau susah’, dia tidak bisa firm memilih, baik, senang atau buruk, susah. Jika harus ditentukan dimana posisinya, dia berada pada ‘atau’. Mengapa? Dia akhirnya tidak mengerti apa itu baik, apa itu buruk, apa itu senang, apa itu susah. Dia pun mempertanyakan lagi mengapa harus memilih ini dan itu. Jika badan akan menjadi abu, apapun yang diupayakan hanyalah untuk menjadi abu itu sendiri. Jika itu adalah ‘kesia-siaan’ maka setiap jawaban yang diupayakan dipastikan juga ‘kesia-siaan’. Seperti itulah, semua menjadi misteri. *
I Gede Suwantana
Dirketur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar