'LPD Memiliki Landasan Konstitusional Kuat'
Perda LPD Nomor 4 Tahun 2012 tentang LPD sudah tidak mampu lagi menampung kebutuhan LPD baik soal perkembangan maupun persoalan-persoalan yang muncul.
DENPASAR, NusaBali
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Dr I Dewa Gede Palguna SH MH mengatakan, keberadaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali memiliki landasan konstitusional yang kuat, sebelum dan sesudah dilakukan perubahan UUD 1945 bersamaan dengan diakui serta dihormatinya kesatuan masyarakat hukum adat.
"Bedanya, kalau sebelumnya pengakuan itu diberikan oleh konstitusi secara implisit, sesudah dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, pengakuan dan penghormatan itu diberikan secara eksplisit," kata Dewa Palguna pada acara ‘Semiloka Penguatan Adat dan Budaya Bali melalui Peningkatan Peran serta Kedudukan LPD di Denpasar, Jumat (26/8).
Ia mengatakan, keberadaan LPD sebagai lembaga keuangan desa tersebut diturunkan dan penghormatan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, maka sudah tepat jika UU Lembaga Keuangan Makro (LKM) mengecualikan keberadaan LPD.
Menurut dia, pada pasal 39 ayat (3) UU LKM tidak dapat ditafsirkan lain sebagaimana yang tertulis secara tegas dalam rumusan itu. Setiap juris tahu bahwa kaidah pertama dalam penafsiran undang-undang adalah terhadap ketentuan yang sudah jelas tidak boleh dilakukan penafsiran.
Oleh karena itu, kata dia, tidak mungkin kesimpulan lain dalam memahami ketentuan yang tertuang dalam pasal 39 ayat (3) UU tersebut. UU LKM bahwa LPD, Lumbung Pitih dan lembaga sejenis lainnya yang telah ada sebelum lahirnya UU LKM tetap diakui keberadaannya dan tetap berlaku, tunduk pada hukum adat. "Apabila dilihat dari perspektif yang lebih luas, kehadiran lembaga keuangan makro yang diatur dan tunduk kepada UU LKM memiliki fungsi komplementer terhadap LPD dan lembaga sejenis lainnya yang dibentuk berdasarkan hukum adat, atau sebaliknya," ujar Dewa Palguna yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar itu.
Ia mengatakan hal ini sesungguhnya menguntungkan masyarakat sebab tidak semua orang memiliki akses terhadap LPD, karena kekhususannya sebagai lembaga keuangan yang didasarkan atas hukum adat, dalam hal ini hukum adat Bali.
Dewa Palguna lebih lanjut mengatakan keadaan itu teratasi dengan tersediannya lembaga-lembaga keuangan mikro yang diatur dalam dan tunduk kepada UU LKM. Sebaliknya bagi masyarakat Bali, khususnya krama (warga) adat aksesnya terhadap kebutuhan akan pembiayaan menjadi lebih besar, sebab selain itu dapat menggunakan jasa LPD, akses mereka juga terbuka lembaga-lembaga keuangan mikro yang diatur dalam dan tunduk kepada UU LKM. "Yang menjadi persoalan bagi masyarakat Bali, khususnya adalah bagaimana mengelola keberadaan LPD yang sepenuhnya tunduk kepada hukum adat Bali itu," ucapnya.
Sebab hukum adat Bali, secara kategori termasuk ke dalam rumpun hukum tidak tertulis. Maksudnya, meski saat ini di Bali hukum adatnya sudah banyak ‘disuratkan’ dalam ‘awig-awig’ tertulis, hal itu tidak berarti bahwa hukum adat Bali sudah ‘bersalin rupa’ secara kategori menjadi hukum tertulis. "Dalam hal ini pembatasannya hanya satu, tidak boleh bertentangan dengan hukum negara. Misalnya dalam pengenaan sanksi. Tidak boleh membuat aturan yang memuat sanksi yang bertentangan undang-undang, lebih-lebih dengan hukum pidana yang berlaku secara nasional," katanya.
Sementara itu, Pembina Forum Peduli Ekonomi Adat Bali (FPEAB), Nyoman Gede Suweta mengungkapkan, keberadaan LPD di Bali dikatakan tidak ada payung hukum operasional. Selama ini, payung hukum operasional LPD adalah Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang LPD. Namun, berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM menyebutkan LPD tidak tunduk pada hukum positif yang dibuat negara, termasuk UU tersebut. Akan tetapi, disebutkan pada pasal 39 ayat (3) dalam UU ini, bahwa LPD diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat.
“Memang saat ini LPD diatur dalam Perda Nomor 4 Tahun 2012, namun karena LPD tidak tunduk pada hukum positif maka Perda ini tidak bisa jadi payung hukum LPD. Dengan kondisi ini maka harus ada Perda yang menyatakan bahwa LPD diatur dan tunduk pada hukum adat Bali,” ujar Suweta.
Keberadaan LPD adalah milik Desa Adat, tidak bisa dikategorikan sebagai koperasi atau PT. Terbitnya UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro ini mengharuskan adanya Perda yang mengatur peralihan payung hukum LPD dari Perda ke Hukum Adat. Menurut dia, penyesuaian Perda LPD ini akan memperkuat posisi LPD sebagai penyangga ekonomi adat di Bali.
“UU Nomor 1 Tahun 2013 ini sebagai pintu masuk untuk penguatan itu. Dalam UU itu disebutkan LPD tidak tunduk pada UU namun diatur dan diakui pada hukum adat, artinya ini peluang untuk bangkit dan mengatur dirinya sendiri sehingga menjadi lebih kuat,” ungkapnya.
Karena itu, pihaknya menyelenggarakan semiloka ‘Penguatan Adat dan Budaya Bali Melalui Peningkatan Peran dan Kedudukan LPD’ untuk mengumpulkan bahan-bahan sebagai ‘modal’ untuk merevisi Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang LPD. “Semiloka ini akan mengakodomir permasalahan-permasalahan yang ada. Hasilnya nanti akan diberikan kepada bapak gubernur sebagai bahan hasil dari pemikiran bersama,” ucapnya.
Dalam semiloka tersebut menghadirkan sejumlah narasumber baik dari kalangan akademisi, bendesa, untuk membahas berbagai permasalahan yang ditinjau dari tiga sisi yakni sisi hukum, adat, dan ekonomi. Para narasumber yang hadir diantaranya Dr I Dewa Gede Palguna SH MH, Prof Dr I Nyoman Nurjaya SH MH, I Gde Made Sadguna SE MBA DBA, Dr Drs AA Ketut Sudiana SH, dan Jero Gede I Wayan Suwena Putus Upadesha.
Sementara asisten II bidang ekonomi Setda Provinsi Bali, Drs Ketut Wija mewakili Gubernur Bali mengatakan, Perda LPD Nomor 4 Tahun 2012 tentang LPD sudah tidak mampu lagi menampung kebutuhan LPD baik soal perkembangan maupun persoalan-persoalan yang muncul. “Perda ini memang kita harus sempurnakan sehingga bisa mewadahi lagi kepentingan-kepentingan LPD yang assetnya sebesar Rp 14,6 T. DPRD Bali sudah komit melakukan perubahan ini. Jika semua sudah komit tahun 2017 kita harapkan sudah ada perubahan,” terangnya.
Tidak hanya soal LPD, ke depan diharapkan kekayaan desa pakraman yang belum terkelola dengan baik bisa diintegrasikan lewat Perda yang akan direvisi ini. “LPD saat ini sifatnya hanya memberikan pinjaman-pinjaman, tapi kita perlukan peran LPD yang lebih besar lagi, dimana memberikan penguatan pada ekonomi pedesaan, menggali potensi-potensi ekonomi desa untuk kita berdayakan menjadi sumber kemakmuran desa,” tandasnya. * ant, in
"Bedanya, kalau sebelumnya pengakuan itu diberikan oleh konstitusi secara implisit, sesudah dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, pengakuan dan penghormatan itu diberikan secara eksplisit," kata Dewa Palguna pada acara ‘Semiloka Penguatan Adat dan Budaya Bali melalui Peningkatan Peran serta Kedudukan LPD di Denpasar, Jumat (26/8).
Ia mengatakan, keberadaan LPD sebagai lembaga keuangan desa tersebut diturunkan dan penghormatan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, maka sudah tepat jika UU Lembaga Keuangan Makro (LKM) mengecualikan keberadaan LPD.
Menurut dia, pada pasal 39 ayat (3) UU LKM tidak dapat ditafsirkan lain sebagaimana yang tertulis secara tegas dalam rumusan itu. Setiap juris tahu bahwa kaidah pertama dalam penafsiran undang-undang adalah terhadap ketentuan yang sudah jelas tidak boleh dilakukan penafsiran.
Oleh karena itu, kata dia, tidak mungkin kesimpulan lain dalam memahami ketentuan yang tertuang dalam pasal 39 ayat (3) UU tersebut. UU LKM bahwa LPD, Lumbung Pitih dan lembaga sejenis lainnya yang telah ada sebelum lahirnya UU LKM tetap diakui keberadaannya dan tetap berlaku, tunduk pada hukum adat. "Apabila dilihat dari perspektif yang lebih luas, kehadiran lembaga keuangan makro yang diatur dan tunduk kepada UU LKM memiliki fungsi komplementer terhadap LPD dan lembaga sejenis lainnya yang dibentuk berdasarkan hukum adat, atau sebaliknya," ujar Dewa Palguna yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar itu.
Ia mengatakan hal ini sesungguhnya menguntungkan masyarakat sebab tidak semua orang memiliki akses terhadap LPD, karena kekhususannya sebagai lembaga keuangan yang didasarkan atas hukum adat, dalam hal ini hukum adat Bali.
Dewa Palguna lebih lanjut mengatakan keadaan itu teratasi dengan tersediannya lembaga-lembaga keuangan mikro yang diatur dalam dan tunduk kepada UU LKM. Sebaliknya bagi masyarakat Bali, khususnya krama (warga) adat aksesnya terhadap kebutuhan akan pembiayaan menjadi lebih besar, sebab selain itu dapat menggunakan jasa LPD, akses mereka juga terbuka lembaga-lembaga keuangan mikro yang diatur dalam dan tunduk kepada UU LKM. "Yang menjadi persoalan bagi masyarakat Bali, khususnya adalah bagaimana mengelola keberadaan LPD yang sepenuhnya tunduk kepada hukum adat Bali itu," ucapnya.
Sebab hukum adat Bali, secara kategori termasuk ke dalam rumpun hukum tidak tertulis. Maksudnya, meski saat ini di Bali hukum adatnya sudah banyak ‘disuratkan’ dalam ‘awig-awig’ tertulis, hal itu tidak berarti bahwa hukum adat Bali sudah ‘bersalin rupa’ secara kategori menjadi hukum tertulis. "Dalam hal ini pembatasannya hanya satu, tidak boleh bertentangan dengan hukum negara. Misalnya dalam pengenaan sanksi. Tidak boleh membuat aturan yang memuat sanksi yang bertentangan undang-undang, lebih-lebih dengan hukum pidana yang berlaku secara nasional," katanya.
Sementara itu, Pembina Forum Peduli Ekonomi Adat Bali (FPEAB), Nyoman Gede Suweta mengungkapkan, keberadaan LPD di Bali dikatakan tidak ada payung hukum operasional. Selama ini, payung hukum operasional LPD adalah Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang LPD. Namun, berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM menyebutkan LPD tidak tunduk pada hukum positif yang dibuat negara, termasuk UU tersebut. Akan tetapi, disebutkan pada pasal 39 ayat (3) dalam UU ini, bahwa LPD diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat.
“Memang saat ini LPD diatur dalam Perda Nomor 4 Tahun 2012, namun karena LPD tidak tunduk pada hukum positif maka Perda ini tidak bisa jadi payung hukum LPD. Dengan kondisi ini maka harus ada Perda yang menyatakan bahwa LPD diatur dan tunduk pada hukum adat Bali,” ujar Suweta.
Keberadaan LPD adalah milik Desa Adat, tidak bisa dikategorikan sebagai koperasi atau PT. Terbitnya UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro ini mengharuskan adanya Perda yang mengatur peralihan payung hukum LPD dari Perda ke Hukum Adat. Menurut dia, penyesuaian Perda LPD ini akan memperkuat posisi LPD sebagai penyangga ekonomi adat di Bali.
“UU Nomor 1 Tahun 2013 ini sebagai pintu masuk untuk penguatan itu. Dalam UU itu disebutkan LPD tidak tunduk pada UU namun diatur dan diakui pada hukum adat, artinya ini peluang untuk bangkit dan mengatur dirinya sendiri sehingga menjadi lebih kuat,” ungkapnya.
Karena itu, pihaknya menyelenggarakan semiloka ‘Penguatan Adat dan Budaya Bali Melalui Peningkatan Peran dan Kedudukan LPD’ untuk mengumpulkan bahan-bahan sebagai ‘modal’ untuk merevisi Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang LPD. “Semiloka ini akan mengakodomir permasalahan-permasalahan yang ada. Hasilnya nanti akan diberikan kepada bapak gubernur sebagai bahan hasil dari pemikiran bersama,” ucapnya.
Dalam semiloka tersebut menghadirkan sejumlah narasumber baik dari kalangan akademisi, bendesa, untuk membahas berbagai permasalahan yang ditinjau dari tiga sisi yakni sisi hukum, adat, dan ekonomi. Para narasumber yang hadir diantaranya Dr I Dewa Gede Palguna SH MH, Prof Dr I Nyoman Nurjaya SH MH, I Gde Made Sadguna SE MBA DBA, Dr Drs AA Ketut Sudiana SH, dan Jero Gede I Wayan Suwena Putus Upadesha.
Sementara asisten II bidang ekonomi Setda Provinsi Bali, Drs Ketut Wija mewakili Gubernur Bali mengatakan, Perda LPD Nomor 4 Tahun 2012 tentang LPD sudah tidak mampu lagi menampung kebutuhan LPD baik soal perkembangan maupun persoalan-persoalan yang muncul. “Perda ini memang kita harus sempurnakan sehingga bisa mewadahi lagi kepentingan-kepentingan LPD yang assetnya sebesar Rp 14,6 T. DPRD Bali sudah komit melakukan perubahan ini. Jika semua sudah komit tahun 2017 kita harapkan sudah ada perubahan,” terangnya.
Tidak hanya soal LPD, ke depan diharapkan kekayaan desa pakraman yang belum terkelola dengan baik bisa diintegrasikan lewat Perda yang akan direvisi ini. “LPD saat ini sifatnya hanya memberikan pinjaman-pinjaman, tapi kita perlukan peran LPD yang lebih besar lagi, dimana memberikan penguatan pada ekonomi pedesaan, menggali potensi-potensi ekonomi desa untuk kita berdayakan menjadi sumber kemakmuran desa,” tandasnya. * ant, in
Komentar