MUTIARA WEDA: Karena Aku
Karmany ev’ādhikāras te mā phalesu kadācana, Mā karmaphala hetur bhur mā te sango’stv akarmani. (Bhagavad-gita, II.47)
Kompetenmu hanyalah pada kerjanya saja, bukan pada klaim atas hasil atau buahnya. Jangan hasil yang menjadi motif tindakanmu, jangan pula terikat dengan kemalasan.
ORANG Bali menyebut ‘nyongkokin tain kebo’, yang artinya kurang lebih ‘mengakui hasil kerja yang bukan pekerjaannya sendiri’. Adakah orang seperti itu? Sampai istilah itu muncul dan belakangan sering disebut, itu menandakan tidak sedikit yang demikian. Ada beberapa orang yang mengklaim hasil sebuah pekerjaan di mana dirinya sendiri hanya datang pada moment tertentu saja, mengambil foto-foto sebagai justifikasi. Melalui kekuatan media, dia memberitakannya seolah-olah itu adalah pekerjaannya sendiri. Mengapa seperti itu? Itu bisa terjadi biasanya pada mereka yang memiliki visi besar. Visi besar sebenarnya bukan masalah, tapi jika itu diikuti oleh rasa/harga diri yang tinggi, merasa berkuasa, merasa memiliki kemampuan super, merasa menjadi penyelamat dunia atau ingin diakui sebagai orang hebat, itu bisa terjadi.
Dalam Yoga Sutra Patanjali, ada salah satu bagian dari panca klesa yang disebut sebagai asmita, artinya dia yang mengindentifikasi sesuatu di luar dirinya sebagai dirinya sendiri. Seperti misalnya, ‘saya seorang profesor’, ‘saya dokter’, ‘saya hebat’, saya penguasa’, ‘saya pemenang’, saya penyelamat’, dan lain sebagainya. Semakin tinggi khayalan (vikalpa) seseorang semakin tinggi keterikatan atau identitasnya pada sesuatu itu. Ketika dirinya datang pada sebuah event, dan event itu sebelumnya pernah terlintas di pikirannya atau pernah diangan-angankan, maka dirinya merasa memiliki event tersebut. Seperti misalnya sebuah desa sedang berjuang mendapatkan air bersih. Perangkat desa dan warganya telah lama berjuang untuk itu. Si A adalah seorang politikus yang pernah berpikir tentang bentuk perjuangan yang sama. Suatu ketika si A mendatangi warga desa yang sedang merampungkan perjuangannya itu. Ketika di lokasi, dia merasa sesuai dengan apa yang ada di pikirannya. Dia mengidentifikasi dirinya dengan perjuangan war
ga desa tersebut. Dia kemudian memberi banyak saran ini dan itu, yang sebenarnya telah dilakukan oleh warga desa jauh sebelumnya. Ketika akhirnya perjuangan warga itu sukses, si A merasa dirinya berjasa pada warga. Dia merasa bahwa tanpa saran darinya, warga desa pasti tidak akan berhasil.
Tentu, jika melihat teks di atas, hal itu tidak perlu terjadi. Jangankan mengakui hasil kerja orang lain, bahkan hasil kerja sendiri pun jangan sampai menjadi orientasi. Mereka yang mengerti hukum kosmik ini akan melihat kebenarannya. Tetapi, dia yang hanya mengerti hukum berkuasa atas orang lain, teks seperti di atas tidak pernah ditujukan untuk dirinya. Teks itu mesti ditujukan kepada orang lain, sehingga dia mudah mengklaim pekerjaan orang lain sebagai hasil kerjanya sendiri. Ironi memang. Lalu, apakah ini salah? Siapa pun yang ditanya akan menjawab bahwa mengakui hasil kerja orang lain itu salah. Namun, jika kita lihat kebenarannya, hampir semua orang, pada degree yang berbeda, sebenarnya, berpeluang berada pada posisi yang sama, hanya saja tidak menyadarinya. Oleh karena tidak sadar bahwa diri kita seperti itu, kita lebih sering meneriaki orang lain sebagai pelakunya. Kita semua berada pada situasi yang sama, hanya tingkatannya saja yang berbeda. Semakin tinggi khayalannya, semakin besar kemungkinannya untuk itu.
Bagaimana kita bisa mengenali bahwa diri kita dan orang lain juga berada pada kondisi itu? Sebenarnya sederhana. Ketika orang sering menceritakan kehebatan dirinya, bercerita telah melakukan ini dan itu, dan tidak suka mendengar kehebatan orang lain, maka seperti itulah mereka. Oleh karena saking asyiknya, dia tidak merasa bahwa orang yang mendengarnya mulai ill feel. Si pendengar merasa ill feel bukan saja karena tidak suka mendengar kehebatan orang lain, melainkan dirinya merasa tidak mendapat kesempatan untuk menceritakan dirinya sendiri. Mereka sebenarnya sama-sama ingin menceritakan keunggulannya masing-masing, tetapi oleh karena salah satu mendominasi, yang lainnya merasa tidak nyaman. Teks di atas telah mengantisipasi ini dengan baik, dan berpesan: “jangan pernah merasa besar oleh karena melakukan pekerjaan besar, tetapi kerjakan itu hanya semata-mata untuk kepentingan kontemplatif, menyadari Sang Pelaku yang Sejati”. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar