Petani Manggis Merana
Ekspor Macet Akibat Wabah Covid-19
Dulu harga manggis bagus. Sedang ekspor kualitas super, antara Rp 40 ribu sampai Rp 45 ribu. Sekarang ekspor hanya Rp 12.000 per kilogram.
DENPASAR, NusaBali
Petani manggis dan buah-buahan di Bali merana. Betapa tidak, para petani tidak menikmati hasil saat musim panen raya manggis dan buah-buahan lainnya. Harga manggis anjlok karena pemasaran macet, baik pasar ekspor maupun pasaran lokal.
I Made Sianta, petani asal Pupuan, Tabanan mengatakan pemasaran manggis maupun panen buah lainnya anjlok lebih 70 persen. “Kalau dulu, saat belum ada virus corona kami petani tentu gembira,” kata Sianta, Selasa (21/4).
Dulu harga manggis bagus. Di pasaran lokal tembus Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per kilogram di tingkat petani. Sedang ekspor kualitas super, antara Rp 40 ribu sampai Rp 45 ribu. “Malah bisa lebih untuk ekspor,” kata Sianta. Para eksportir pun bersaing membelinya dari petani.
Tetapi kondisi sekarang jauh beda. Harga manggis di tingkat petani hanya Rp 5.000 – Rp 6.000 per kilogram. Sedangkan dijual ke pasar modern/swalayan Rp 9.000 per kilo. Sementara untuk ekspor hanya Rp 12.000 per kilogram. “Ekspor masih ada, namun sangat sedikit, lewat Jakarta,” kata Sianta.
Karena harga manggis anjlok, Sianta mengaku tidak sedikit petani yang ngekoh atau enggan memetik manggis secara teratur. Biasanya tiga hari sekali, belakangan menjadi 4-5 hari sekali. Tujuannya mengirit ongkos petik. Akibatnya kualitas manggis mengalami penurunan, karena sudah kelewat matang. “Warna kulit buah jadi menghitam,” kata Sianta.
Sedang yang bagus untuk dipetik, ketika buah manggis masih berwarna merah tua. Menurut Sianta, memang tidak ada sampai hasil panen yang terbuang, namun karena telat petik menyebabkan kualitas merosot. Akibatnya harga manggis pun melorot.
Berkurangnya keramaian kegiatan upacara adat dan agama, karena adanya pembatasan kerumuman juga menyebabkan penyerapan pasar lokal berkurang jauh. Dalam kondisi normal, Sianta bisa kirim 20 ton per hari ke sejumlah pelanggannya, baik pasar tradisional maupun pasar modern/swalayan.
Sementara Kabid Hortikultura dan Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali I Wayan Sunarta membenarkan, pada April-Mei merupakan puncak panen manggis. Namun karena pandemic virus corona, pemasaran manggis, baik untuk ekspor maupun di pasaran lokal jadi terganggu.
Kepala Balai Karantina Pertanian Denpasar Putu Terunanegara juga menyatakan merosotnya ekspor produk hortikultura khsususnya manggis. Salah satu paling terdampak ekspor manggis ke China.
Menurut Terunanegara, penurunan ekspor sampai 50 persen lebih. Memang ekspor masih ada, kata Terunanegara, namun volumenya kecil dan tidak dilakukan dari Bali. Salah satunya lewat Jakarta, di Pelabuhan Tanjung Priok.
Ekspor manggis Bali selama ini dominan ke China, hingga mencapai 9-10 ribu ton setahun. Sedang Bali memenuhi separonya. *K17
I Made Sianta, petani asal Pupuan, Tabanan mengatakan pemasaran manggis maupun panen buah lainnya anjlok lebih 70 persen. “Kalau dulu, saat belum ada virus corona kami petani tentu gembira,” kata Sianta, Selasa (21/4).
Dulu harga manggis bagus. Di pasaran lokal tembus Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per kilogram di tingkat petani. Sedang ekspor kualitas super, antara Rp 40 ribu sampai Rp 45 ribu. “Malah bisa lebih untuk ekspor,” kata Sianta. Para eksportir pun bersaing membelinya dari petani.
Tetapi kondisi sekarang jauh beda. Harga manggis di tingkat petani hanya Rp 5.000 – Rp 6.000 per kilogram. Sedangkan dijual ke pasar modern/swalayan Rp 9.000 per kilo. Sementara untuk ekspor hanya Rp 12.000 per kilogram. “Ekspor masih ada, namun sangat sedikit, lewat Jakarta,” kata Sianta.
Karena harga manggis anjlok, Sianta mengaku tidak sedikit petani yang ngekoh atau enggan memetik manggis secara teratur. Biasanya tiga hari sekali, belakangan menjadi 4-5 hari sekali. Tujuannya mengirit ongkos petik. Akibatnya kualitas manggis mengalami penurunan, karena sudah kelewat matang. “Warna kulit buah jadi menghitam,” kata Sianta.
Sedang yang bagus untuk dipetik, ketika buah manggis masih berwarna merah tua. Menurut Sianta, memang tidak ada sampai hasil panen yang terbuang, namun karena telat petik menyebabkan kualitas merosot. Akibatnya harga manggis pun melorot.
Berkurangnya keramaian kegiatan upacara adat dan agama, karena adanya pembatasan kerumuman juga menyebabkan penyerapan pasar lokal berkurang jauh. Dalam kondisi normal, Sianta bisa kirim 20 ton per hari ke sejumlah pelanggannya, baik pasar tradisional maupun pasar modern/swalayan.
Sementara Kabid Hortikultura dan Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali I Wayan Sunarta membenarkan, pada April-Mei merupakan puncak panen manggis. Namun karena pandemic virus corona, pemasaran manggis, baik untuk ekspor maupun di pasaran lokal jadi terganggu.
Kepala Balai Karantina Pertanian Denpasar Putu Terunanegara juga menyatakan merosotnya ekspor produk hortikultura khsususnya manggis. Salah satu paling terdampak ekspor manggis ke China.
Menurut Terunanegara, penurunan ekspor sampai 50 persen lebih. Memang ekspor masih ada, kata Terunanegara, namun volumenya kecil dan tidak dilakukan dari Bali. Salah satunya lewat Jakarta, di Pelabuhan Tanjung Priok.
Ekspor manggis Bali selama ini dominan ke China, hingga mencapai 9-10 ribu ton setahun. Sedang Bali memenuhi separonya. *K17
1
Komentar