2020 Menuju Bali Bebas Rabies
Kasus rabies yang sempat membuat resah warga bali di tahun 2020 saat ini mulai mengalami penurunan terus menurus. Hal ini dikarenakan adanya penanganan massal mulai dari vaksinasi yang digalakkan serta edukasi kepada masyarakat.
Penulis : Gracia Baquita B.S.M
Mahasiswa Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana
Di Indonesia, rabies masih merupakan salah satu penyakit zoonosis yang tetap menghantui masyarakat karena dari 33 provinsi 24 di antaranya sebagai daerah tertular rabies dan telah bersifat endemis. Tidak dapat disangkal bahwa munculnya rabies di Bali adalah melalui masuknya hewan penderita rabies yang sedang dalam masa inkubasi. Di Indonesia, siklus penyebaran rabies pada hewan lebih dari 99% adalah melalui gigitan anjing Rabies adalah penyakit zoonosis yang menyerang sistem saraf pusat dan dapat berakibat kematian. Penyakit rabies ini sendiri dikenal sebagai penyakit anjing gila. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus dari family Rhapdovirus. Rabies dapat menyerang semua mamalia termasuk manusia melalui gigitannya.
Berdasarkan data dari Ditjen P2P Direktorat Pengendalian Penyakit Tular Vektro Zoonotik tahun 2017, kasus kematian akibat rabies (LYSSA) mengalami penurunan sekitar 27.12%, diikuti dengan kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR), yakni dalam rentang waktu tahun 2012 – 2016 setelah sebelumnya meningkat perlahan di tahun 2014 – 2015, kemudian menurun cukup signifikan di tahun 2016. Dari 9 kabupaten/kota di Bali, Kabupaten Tabanan sejak Januari 2019 tercatat nihil kasus positif rabies. Pemprov Bali lantas tindak lanjuti dengan pembuatan pararem bagi masyarakat yang meliarkan anjingnya akan dieliminasi serta dikenakan denda. Sedangkan di kabupaten Badung, Jembrana, Karangasem, Bangli, Klungkung, Gianyar, Buleleng dan Denpasar masih ditemukan 1 atau 2 kasus tetapi hanya bersifat insidentil dan kasuistik. Berkurangnya angka tersebut bila dianalisis belum dapat mengindikasikan bahwa implementasi program oleh pemerintah provinsi telah berjalan dengan baik. Kebijakan lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dalam program pengendalian dan pemberantasan rabies, antara lain vaksinasi di wilayah endemis ataupun wilayah bebas yang terancam, surveilans, pengawasan lalu lintas hewan penular rabies (HPR), manajemen populasi HPR, serta bekerjasama dengan pihak kesehatan dalam rangka penanganan kasus gigitan yang terjadi.
Demi mencapai target pemerintah untuk menurunkan kasus rabies hingga 0% di Bali pada akhir tahun 2020 ini perlu melakukan beberapa langkah pencegahan dan juga pengobatan. Memperhatikan ekologi anjing di Bali dan kedekatan anjing dengan masyarakat, merupakan salah satu langkah pemberantasan rabies yang hendaknya mengoptimalkan pendekatan budaya/sosial. Rendahnya dukungan masyarakat terhadap program pemberantasan dan kurangnya pemahaman kita terhadap ekologi anjing, merupakan faktor yang ikut mempengaruhi keberhasilan program pengendalian rabies. Hal ini berdampak pada sulitnya melaksanakan program vaksinasi dengan coverage di atas 80%. Lebih dari itu, vaksin yang saat ini digunakan, meskipun efektif dalam menstimulir kekebalan protektif, namun karena membutuhkan booster 3-4 bulan kemudian dari vaksinasi pertama, untuk kondisi anjing di Bali sungguh menyita waktu dan tenaga hanya untuk melaksanakan program vaksinasi. Dalam mengatasai persoalan ini, kiranya perlu dipertimbangkan untuk menggunakan vaksin yang mampu membentuk antibodi protektif yang berdurasi lama (long acting). Kemudian perlu adanya ketegasan hukum bagi para pelanggar aturan yang memeliarkan hewan peliharaannya ke lingkungan apalagi jika hewan tersebut sudah terjangkit rabies. Lalu semakin meningkatkan jumlah vaksin dan pentingnya vaksinasi bagi hewan terutama anjing sebagai tindakan pencegahan juga.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar