Dari Usaba Pura, Ngeneng Hingga Ngening
Beragam Ritual Pencegahan Wabah Covid-19
AMLAPURA, NusaBali
Masyarakat Karangasem menggelar beragam ritual untuk menanggulangi penularan wabah Covid-10.
Antara lain, ada yang Nunas Ica (mohon anugerah keselamatan), Ngeneng (tidak beraktivitas) dan Ngening (mohon air suci) di 90 desa adat se-Karangasem.
Ada juga desa adat melakukan ritual tersebut dengan menggelar nyepi yang dipadukan usai menggelar Usaba di Pura Dalem dan piodalan di Pura Prajapati. Sesungguhnya ritual itu mengacu amanat Keputusan PHDI Bali Nomor 26/PHDI-Bali/2020, dan Keputusan Majelis Desa Adat Provinsi Bali Nomor 06/SK/MDA-Prov.Bali/2020.
Ritual dilaksanakan ada yang disertai pacaruan, ada yang hanya ngaturang banten Pejati, Ayunan, dan Peras Teenan. Ada juga di Ulun Setra ngaturang Banten Pejati Asoroh, Tumpeng Pitu Asoroh, Rayunan Putih Kuning Adulang, ditambah Banten Segehan. Semuanya bertujuan untuk keharmonisan siklus kehidupan, sesuai konsep Tri Hita Karana, antara manusia dengan Tuhan, sesama umat manusia dan dengan alam semesta.
Di Desa Adat Ulakan, Kecamatan Manggis, Karangasem, misalnya, krama menggelar upacara Nunas Ice di Pura Dalem, Banjar Mangku, Desa Adat Ulakan, Kecamatan Manggis, Buda Pon Medangkungan, Rabu (22/4) bertepatan Tilem Kadasa. Yadnya ini berlanjut Ngeneng dan Ngening
Upacara itu dipuput Jro Mangku Jirna dan Jro Mangku Wayan Simpen, dikoordinasikan Bendesa Adat Ulakan I Ketut Arsana. Yadnya ini hanya dengan Banten Pacaruan Panca Sata, dengan lima kurban ayam yang bulunya berbeda-beda. Kurban Ayam Putih untuk di timur persembahan buat Bhuta Janggitan, ayam merah untuk di selatan buat Bhuta Langkir, Ayam Putih Siungan untuk di barat buat Bhuta Lembu Kania, Ayam Hitam di utara untuk Bhuta Taruna dan Ayam Brunbun di tengah untuk Bhuta Tiga Sakti.
Bendesa Ulakan I Ketut Arsana memaparkan, banten caru yang dipersembahkan sebenarnya untuk keseimbangan dan keharmonisan, sebagai implementasi dari konsep Tri Hita Karana. Yakni, menyeimbangkan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), menyeimbangkan hubungan sesama manusia (pawongan) dan menyeimbangkan hubungan antara manusia dengan semesta (palemahan).
Yadnya ini juga untuk menetralisir kekuatan alam atau Panca Maha Bhuta. Hal ini sesuai petunjuk kitab suci Samhita Swara untuk mengharmoniskan manusia dengan alam.
Petunjuk dari Kitab Sarasamuscaya, disebutkan untuk menjamin tewujudnya tujuan hidup, guna mendapatkan: Dharma, Artha, Kama dan Moksa, maka terlebih dahulu wajib melakukan Bhuta Hita, yakni dengan cara menyejahterakan lingkungan dengan Bhuta Yadnya.
Maka dalam menggelar Bhuta Yadnya menggunakan sarana binatang, dan tumbuh-tumbuhan yang merupakan bagian dari sarwa prani (isi semesta), sesuai Lontar Manawa Dharmasastra. Pentingnya menggunakan sarana binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan harapan kelak lahir kembali, kualitas hidupnya meningkat.
Bendesa Ketut Arsana mengatakan, ritual pacaruan kali ini digelar, tergolong skala kecil, karena tidak dilaksanakan Usaba di Pura Dalem, sebagai mana biasanya. Sebab, situasi tidak memungkinkan, menghadirkan ribuan umat sedharma untuk menggelar persembahyangan.
Walau skala kecil, terpenting persembahannya tetap mengandung lima unsur, yang merupakan visualisasi dari nilai-nilai suci Hindu, yakni mantra, tantra, yantra, yadnya dan yoga.
Tujuan Bhuta Yadnya adalah untuk nyomia Bhuta Kala yakni mengubah sifat ganas Bhuta Kala menjadi lembut agar membantu manusia untuk berbuat baik. "Walau upacara digelar sekala kecil, terpenting Ngeneng dan Ngening, dilaksanakan khusyuk, selama 33 jam, mulai Rabu (22/4) malam hingga Jumat (24/4) pagi," jelas I Ketut Arsana dihubungi di Pura Dalem, Banjar Mangku, Desa Adat Ulakan, Kecamatan Manggis, Karangasem, Rabu (22/4). *nant
Komentar