Covid-19, Jadikan Ajang Mulat Sarira
DENPASAR, NusaBali
Sasih Kedasa tahun 2020 cukup berbeda dengan tahun sebelumnya.
Tahun ini, Sasih Kedasa masih dipenuhi dengan wabah penyakit bernama Corona virus disease-19 (Covid-19). Tidak hanya Bali dan Indonesia, virus ini telah menjangkiti lebih dari 200 negara di dunia. Padahal biasanya, menurut keyakinan masyarakat Bali, Sasih Kedasa diyakini merupakan sasih Kedas (bersih) yang sangat baik untuk melakukan berbagai jenis upacara yadnya.
Wakil Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, Pinandita I Ketut Pasek Swastika menjelaskan, secara tatwa dan filosofis, pada saat sasih Kedasa memang keadaan alam berangsur kedas atau bersih dari wabah penyakit. Begitu menginjak bulan Purnama Sasih Kedasa akan mulai terjadi penurunan wabah atau pun penyakit. Hingga menuju Tilem Sasih Kedasa, semuanya diyakini akan kedas tuntas. Namun, berbeda dengan Sasih Kedasa tahun ini yang justru terjadi pelonjakan kasus Covid-19.
Menurut Swastika, bisa saja saat ini merupakan siklus alam menyomia atau memperbaiki dirinya sendiri. Mengingat umat Hindu mengenal adanya Tri Semaya yakni Atita (masa lalu), Nagata (hari ini) dan Wartamana (masa depan), siklus alam dalam memperbaiki dirinya sendiri ini diyakini pernah terjadi di masa lampau dan kemungkinan akan terjadi lagi di masa yang akan datang.
“Lontar Rogha Sanghara Bumi yang memuat tentang wabah penyakit itu waktu zaman kerajaan Majapahit. Bisa dibayangkan kerajaan Majapahit saat itu antara abad ke-13 hingga 14, sudah ada tentang wabah penyakit saat itu. Artinya, ada siklus alam jika terjadi kembali di saat ini,” ujarnya saat dihubungi NusaBali, Sabtu (25/4).
Namun sebagai umat beragama, kata Swastika, tidak ada satu pun manusia yang bisa memprediksi kuasa Tuhan Yang Maha Esa, termasuk datangnya wabah penyakit saat ini. Ini merupakan kehendak-Nya. “Kalau dihubungkan dengan adanya virus Corona, tentu ini adalah rahasia Tuhan. Apapun bisa terjadi jika Beliau sudah berkehendak,” jelasnya.
Dikatakan, dalam menghadapi wabah Covid-19, berbagai upaya yadnya telah dilakukan masyarakat Bali, mulai dari upacara Pamelehpeh Jagat, upacara Sad Kerthi Sadhana, menghaturkan nasi wong-wongan, dan upacara Peneduh Jagat. Selain itu, di tingkat desa adat juga nyejer daksina hingga Covid-19 ini berakhir. “Kita sudah melakukan usaha secara religius dan spiritual. Berdoa juga setiap hari. Astungkara secepatnya ini bisa terkendali, sehingga bisa kembali hidup normal dan masyarakat tidak dihinggapi rasa takut lagi” katanya.
Sebaliknya, selain upacara yadnya dan upaya-upaya niskala yang dilakukan, upaya sekala juga harus diindahkan, yakni dengan mengikuti segala arahan dan instruksi dari Guru Wisesa atau pemerintah. Untuk memutus rantai penyebaran virus covid-19, sesuai arahan pemerintah, masyarakat wajib menggunakan masker baik bagi yang sakit maupun yang sehat. Selain itu, masyarakat juga terus diingatkan untuk rajin mencuci tangan pada air mengalir dengan sabun, hindari menyentuh wajah terutama area mata, hidung, dan mulut setelah menyentuh benda tertentu apalagi belum mencuci tangan, serta masyarakat juga diharapkan menerapkan dengan disiplin physical distancing atau menjaga jarak, serta mengurangi aktivitas di luar rumah kecuali memang sangat penting.
Di sisi lain, menurut Swastika, pada masa-masa seperti ini masyarakat diajak kembali untuk mulat sarira (introspeksi diri) untuk berpikir, berkata, dan berbuat yang baik dan benar, dalam merawat dan memperbaiki lagi hubungan ke atas (hubungan dengan Tuhan dan Leluhur), ke bawah (hubungan dengan alam), serta ke samping (hubungan sesama manusia). “Apakah kita sudah berpikir, berkata, dan berbuat yang baik sesuai tattwa dan ajaran agama? Sudahkah kita kita mepunia (sedekah) kepada sesama yang sedang membutuhkan, atau malah hidup individualistis? Sudahkah kita memperlakukan alam sebagaimana mestinya, atau kita malah mengeksploitasi alam secara berlebihan? Saat ini kita jadikan sebagai ajang mulat sarira, agar kehidupan kembali seimbang,” tandasnya. *ind
Wakil Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, Pinandita I Ketut Pasek Swastika menjelaskan, secara tatwa dan filosofis, pada saat sasih Kedasa memang keadaan alam berangsur kedas atau bersih dari wabah penyakit. Begitu menginjak bulan Purnama Sasih Kedasa akan mulai terjadi penurunan wabah atau pun penyakit. Hingga menuju Tilem Sasih Kedasa, semuanya diyakini akan kedas tuntas. Namun, berbeda dengan Sasih Kedasa tahun ini yang justru terjadi pelonjakan kasus Covid-19.
Menurut Swastika, bisa saja saat ini merupakan siklus alam menyomia atau memperbaiki dirinya sendiri. Mengingat umat Hindu mengenal adanya Tri Semaya yakni Atita (masa lalu), Nagata (hari ini) dan Wartamana (masa depan), siklus alam dalam memperbaiki dirinya sendiri ini diyakini pernah terjadi di masa lampau dan kemungkinan akan terjadi lagi di masa yang akan datang.
“Lontar Rogha Sanghara Bumi yang memuat tentang wabah penyakit itu waktu zaman kerajaan Majapahit. Bisa dibayangkan kerajaan Majapahit saat itu antara abad ke-13 hingga 14, sudah ada tentang wabah penyakit saat itu. Artinya, ada siklus alam jika terjadi kembali di saat ini,” ujarnya saat dihubungi NusaBali, Sabtu (25/4).
Namun sebagai umat beragama, kata Swastika, tidak ada satu pun manusia yang bisa memprediksi kuasa Tuhan Yang Maha Esa, termasuk datangnya wabah penyakit saat ini. Ini merupakan kehendak-Nya. “Kalau dihubungkan dengan adanya virus Corona, tentu ini adalah rahasia Tuhan. Apapun bisa terjadi jika Beliau sudah berkehendak,” jelasnya.
Dikatakan, dalam menghadapi wabah Covid-19, berbagai upaya yadnya telah dilakukan masyarakat Bali, mulai dari upacara Pamelehpeh Jagat, upacara Sad Kerthi Sadhana, menghaturkan nasi wong-wongan, dan upacara Peneduh Jagat. Selain itu, di tingkat desa adat juga nyejer daksina hingga Covid-19 ini berakhir. “Kita sudah melakukan usaha secara religius dan spiritual. Berdoa juga setiap hari. Astungkara secepatnya ini bisa terkendali, sehingga bisa kembali hidup normal dan masyarakat tidak dihinggapi rasa takut lagi” katanya.
Sebaliknya, selain upacara yadnya dan upaya-upaya niskala yang dilakukan, upaya sekala juga harus diindahkan, yakni dengan mengikuti segala arahan dan instruksi dari Guru Wisesa atau pemerintah. Untuk memutus rantai penyebaran virus covid-19, sesuai arahan pemerintah, masyarakat wajib menggunakan masker baik bagi yang sakit maupun yang sehat. Selain itu, masyarakat juga terus diingatkan untuk rajin mencuci tangan pada air mengalir dengan sabun, hindari menyentuh wajah terutama area mata, hidung, dan mulut setelah menyentuh benda tertentu apalagi belum mencuci tangan, serta masyarakat juga diharapkan menerapkan dengan disiplin physical distancing atau menjaga jarak, serta mengurangi aktivitas di luar rumah kecuali memang sangat penting.
Di sisi lain, menurut Swastika, pada masa-masa seperti ini masyarakat diajak kembali untuk mulat sarira (introspeksi diri) untuk berpikir, berkata, dan berbuat yang baik dan benar, dalam merawat dan memperbaiki lagi hubungan ke atas (hubungan dengan Tuhan dan Leluhur), ke bawah (hubungan dengan alam), serta ke samping (hubungan sesama manusia). “Apakah kita sudah berpikir, berkata, dan berbuat yang baik sesuai tattwa dan ajaran agama? Sudahkah kita kita mepunia (sedekah) kepada sesama yang sedang membutuhkan, atau malah hidup individualistis? Sudahkah kita memperlakukan alam sebagaimana mestinya, atau kita malah mengeksploitasi alam secara berlebihan? Saat ini kita jadikan sebagai ajang mulat sarira, agar kehidupan kembali seimbang,” tandasnya. *ind
Komentar