Divonis 7 Tahun Penjara, Dhamantra Banding
Juga Pencabutan Hak Politik Selama 4 Tahun
Majelis hakim dinilai tidak mempertimbangkan fakta dari keterangan saksi, keterangan terdakwa dan bukti lainnya di dalam persidangan
JAKARTA, NusaBali
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat memvonis mantan anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali I Nyoman Dhamantra yang tersangkut kasus import bawang putih dengan tujuh tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara dalam sidang yang berlangsung secara online pada Rabu (6/5). Majelis hakim juga memvonis agar Dhamantra dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama empat tahun setelah menjalani pidana pokok. Atas putusan tersebut, kuasa hukum Dhamantra dari Law Office Henry Indraguna and Patner mengajukan banding.
"Lima menit setelah putusan dibacakan, kami musyawarah dan memutuskan banding demi mencari kebenaran dan keadilan. Apalagi kami menilai, pertimbangan majelis hakim dalam memberikan putusan sungguh melukai hukum Indonesia dan jauh dari keadilan," ujar Kuasa Hukum Dhamantra, KP Henry Indraguna saat dihubungi NusaBali, Kamis (7/5).
Sebab, kata Henry, majelis hakim tidak mempertimbangkan fakta dari keterangan saksi, keterangan terdakwa dan bukti lainnya di dalam persidangan. Henry menjelaskan, fakta dalam persidangan yang telah terungkap adalah keterangan saksi yang menerangkan Dhamantra tidak mengetahui import bawang putih.
Lalu keterangan saksi yang menerangkan Dhamantra tidak pernah memberikan perintah atau arahan kepada Mirawati Basri, Elviyanto untuk melakukan pertemuan untuk meminta uang dengan Doddy Wahyudi, Direktur PT Sampico Abdhi Abattoir (penyuap) dkk. Keterangan saksi mengenai Dhamantra tidak mempengaruhi pejabat di Kementerian Pertanian atau Kementerian Perdagangan agar RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura) dan SPI (Surat Persetujuan Impor) diterbitkan.
Keterangan saksi yang menerangkan Dhamantra bukanlah orang yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan RIPH dan SPI milik Doddy Wahyudi. Dhamantra juga bukanlah orang yang bisa mempengaruhi pejabat-pejabat di Kementerian agar RIPH dan SPI milik Doddy Wahyudi diterbikan. Sementara dari sisi bukti yang diajukan dalam persidangan, lanjut Henry, tidak pula dipertimbangkan oleh majelis hakim.
Bukti tersebut adalah surat pengakuan yang dibuat Mirawati dan Elviyanto yang menerangkan Dhamantra tidak terlibat dalam kasus import bawang putih dan tidak mengetahui kegiatan atau pertemuan yang dilakukan Mirawati, Elviyanto dan pihak yang berencana melakukan import bawang putih. Bukti lapor dari PT Indocev yang merupakan perusahaan milik Dhamantra kepada PPATK terkait adanya transaksi mencurigakan.
Menurut Henry, bukti lapor itu menunjukan niat baik PT Indocev. "Logikanya apabila Dhamantra punya niat menerima suap, untuk apa PT Indocev membuat laporan kepada PPATK? Masa orang yang punya niat menerima suap, malah melaporkan transaksi kepada PPATK. Itu sama saja bunuh diri," tegas Henry.
Untuk itu, Henry menilai, majelis hakim tidak mempertimbangkan proses pemeriksaan saksi, bukti dan fakta-fakta yang ada di persidangan. Terlebih proses itu telah menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Jika memang keterangan saksi dan bukti-bukti tidak perlu dipertimbangkan, lanjut Henry, seharusnya persidangan cukup dengan pembacaan dakwaan.
Selanjutnya eksepsi, pembacaan tuntutan, pledoi dan langsung putusan majelis hakim tanpa melakukan pemeriksaan saksi dan bukti-bukti. "Jadi secepatnya kami akan segera mengajukan banding," tegas Henry. Vonis Dhamantra sendiri lebih ringan dari tuntutan JPU KPK yaitu 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan penjara.
Menurut Henry, berapa pun vonisnya walau hanya satu bulan, pihaknya akan tetap mengajukan banding. "Karena klien kami tidak bersalah. Oleh karena itu, kebenaran harus ditegakan. Kami juga keberatan dengan dicabutnya hak politik. Untuk itu, kami akan perjuangkan hak itu pula," tegasnya. *k22
"Lima menit setelah putusan dibacakan, kami musyawarah dan memutuskan banding demi mencari kebenaran dan keadilan. Apalagi kami menilai, pertimbangan majelis hakim dalam memberikan putusan sungguh melukai hukum Indonesia dan jauh dari keadilan," ujar Kuasa Hukum Dhamantra, KP Henry Indraguna saat dihubungi NusaBali, Kamis (7/5).
Sebab, kata Henry, majelis hakim tidak mempertimbangkan fakta dari keterangan saksi, keterangan terdakwa dan bukti lainnya di dalam persidangan. Henry menjelaskan, fakta dalam persidangan yang telah terungkap adalah keterangan saksi yang menerangkan Dhamantra tidak mengetahui import bawang putih.
Lalu keterangan saksi yang menerangkan Dhamantra tidak pernah memberikan perintah atau arahan kepada Mirawati Basri, Elviyanto untuk melakukan pertemuan untuk meminta uang dengan Doddy Wahyudi, Direktur PT Sampico Abdhi Abattoir (penyuap) dkk. Keterangan saksi mengenai Dhamantra tidak mempengaruhi pejabat di Kementerian Pertanian atau Kementerian Perdagangan agar RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura) dan SPI (Surat Persetujuan Impor) diterbitkan.
Keterangan saksi yang menerangkan Dhamantra bukanlah orang yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan RIPH dan SPI milik Doddy Wahyudi. Dhamantra juga bukanlah orang yang bisa mempengaruhi pejabat-pejabat di Kementerian agar RIPH dan SPI milik Doddy Wahyudi diterbikan. Sementara dari sisi bukti yang diajukan dalam persidangan, lanjut Henry, tidak pula dipertimbangkan oleh majelis hakim.
Bukti tersebut adalah surat pengakuan yang dibuat Mirawati dan Elviyanto yang menerangkan Dhamantra tidak terlibat dalam kasus import bawang putih dan tidak mengetahui kegiatan atau pertemuan yang dilakukan Mirawati, Elviyanto dan pihak yang berencana melakukan import bawang putih. Bukti lapor dari PT Indocev yang merupakan perusahaan milik Dhamantra kepada PPATK terkait adanya transaksi mencurigakan.
Menurut Henry, bukti lapor itu menunjukan niat baik PT Indocev. "Logikanya apabila Dhamantra punya niat menerima suap, untuk apa PT Indocev membuat laporan kepada PPATK? Masa orang yang punya niat menerima suap, malah melaporkan transaksi kepada PPATK. Itu sama saja bunuh diri," tegas Henry.
Untuk itu, Henry menilai, majelis hakim tidak mempertimbangkan proses pemeriksaan saksi, bukti dan fakta-fakta yang ada di persidangan. Terlebih proses itu telah menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Jika memang keterangan saksi dan bukti-bukti tidak perlu dipertimbangkan, lanjut Henry, seharusnya persidangan cukup dengan pembacaan dakwaan.
Selanjutnya eksepsi, pembacaan tuntutan, pledoi dan langsung putusan majelis hakim tanpa melakukan pemeriksaan saksi dan bukti-bukti. "Jadi secepatnya kami akan segera mengajukan banding," tegas Henry. Vonis Dhamantra sendiri lebih ringan dari tuntutan JPU KPK yaitu 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan penjara.
Menurut Henry, berapa pun vonisnya walau hanya satu bulan, pihaknya akan tetap mengajukan banding. "Karena klien kami tidak bersalah. Oleh karena itu, kebenaran harus ditegakan. Kami juga keberatan dengan dicabutnya hak politik. Untuk itu, kami akan perjuangkan hak itu pula," tegasnya. *k22
Komentar