MUTIARA WEDA: Usaha vs Takdir
Daivam purushakārasca sthitāvanyonyasamsrayāt, Udārānam tu satkarma daivam klibhā upāsate. (Shanti Parwa, 139.38)
Takdir dan usaha manusia saling bergantung satu sama lain. Namun, orang-orang dengan semangat tinggi percaya pada upaya, sementara mereka yang impoten menyembah takdir.
DALAM hal meraih kesuksesan, manusia bisa dikategorikan ke dalam beberapa kategori. Teks di atas menyebutkan secara mendasar ada tiga, tetapi di lapangan bisa lebih banyak lagi yang merupakan turunan dari ketiga kategori tersebut. Pertama, ada yang berkeyakinan bahwa orang akan bisa sukses sepenuhnya tergantung dari upaya yang dilakukannya. Orang yang bersemangat ini tidak memberikan ruang bagi takdir. Baginya, hanya usaha yang mengantarkan kesuksesan, bukan yang lainnya. Tanpa usaha, maka tanpa kesuksesan. Kedua, ada tipikal orang yang sepenuhnya bersandar pada takdir. Teks di atas menyebut orang itu impoten, tidak memiliki kemampuan, orang lemah. Orang ini selalu dibayangi keraguan dalam bertindak, takut upayanya gagal sehingga dalam hidupnya tidak melakukan apa-apa. Untuk menghibur dirinya, orang ini pun berpegang pada slogan yang diyakininya, “Jika memang Tuhan berkehendak, batu pun bisa menjadi emas”, dan terus tidak melakukan apa-apa.
Ketiga, ada orang yang menggabungkan keduanya bahwa takdir dan usaha itu harus berjalan berbarengan. Orang ini meyakini takdir, tetapi harus dijemput dengan usaha. Orang ini tidak terlalu ngotot dengan usahanya saja, demikian juga tidak menyerahan semuanya pada takdir. Dia relatif lebih seimbang, mampu melihat kegagalan atau keberhasilan secara lebih proporsional. Ketika sukses, dia bisa melihat bahwa takdir juga ikut memainkan peran. Demikian juga ketika gagal, usahanya tidak sepenuhnya sia-sia, karena takdirnya belum lagi bersinar. Kategori yang ketiga inilah yang memunculkan sub kategori, tergantung bagaimana mereka memberikan proporsi antara takdir dan usaha itu. Orang dengan kategori satu dan dua sangat determinan, semuanya telah final, tetapi kategori ketiga ini masih ada perbedaan.
Sub-subnya dapat dilihat seperti ini. Pertama, ada yang mempercayai bahwa takdir itu berhubungan dengan kelahiran. Artinya, di mana lahir (apakah pada orang kaya atau miskin, dan sejenisnya) dan seperti apa lahir (apakah cerdas atau bodoh, normal atau cacat dan sejenisnya) itu sudah ditentukan atau sudah ditakdirkan demikian. Tetapi, seperti apa jadinya nanti setelah dilahirkan ditentukan oleh usahanya. Orang tidak pernah mampu meminta supaya dilahirkan di tempat orang kaya, orang yang baik, orang suci, orang terpelajar, dan yang sejenisnya. Orang tidak bisa menentukan dalam kondisi apa dilahirkan karena itu sudah takdir yang terbentuk dari karma masa lalu. Tetapi, apa jadinya ke depan, apakah sukses atau tidak ditentukan oleh usahanya. Ringkasnya, orang ini percaya bahwa di mana dirinya memulai hidup adalah takdir, sementara apa yang dia kerjakan untuk membuat hidupnya sukses ditentukan sepenuhnya oleh usaha.
Kedua, ada varian lain dari kategori ketiga ini, yakni dirinya percaya pada usaha, tetapi setiap usaha yang dilakukan selalu dibayangi oleh takdirnya. Artinya, orang ini terus berusaha, tetapi dia tidak sepenuhnya percaya diri karena merasa bahwa bisa saja takdir menggagalkan usahanya itu. Orang ini biasanya sering konsultasi tentang keberuntungan apakah dengan tarot, baca garis tangan, dan sejenisnya untuk menunjang bahwa usahanya itu telah sesuai dengan yang diharapkan dan terhindar dari takdir buruk. Dengan prediksi atas segala kemungkinan itu, dirinya lebih percaya diri untuk melakukan usahanya. Ketiga, ada varian yang sebaliknya, yakni mereka berusaha dengan penuh percaya diri dan tidak dibayangi oleh kegagalan, meskipun percaya takdir. Baginya takdir adalah bagian dari kelemahan yang harus diperbaiki terus-menerus. Jika usaha itu belum sukses, itu artinya sudah ditakdirkan. Tetapi, takdir itu muncul dari kelemahan dalam strateginya, sehingga berkaca dengan kegagalan itu, mereka memperbarui strateginya.
Keempat, ada juga yang lainnya, yakni, orang berusaha memang telah ditakdirkan demikian. Artinya, orang yang lahir memang ditakdirkan untuk berusaha, sekecil apapun usaha itu. Orang ini percaya bahwa tidak ada orang yang tidak berusaha. Ini hanya masalah degree saja. Bahkan orang ini melihat bahwa orang yang sedang menyembah takdir pun sebenarnya adalah usaha manusia untuk mengatasi kelemahannya guna meraih kesuksesan. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar