nusabali

Tapakara, Gerakan Ketahanan Pangan dari Pekarangan Rumah

  • www.nusabali.com-tapakara-gerakan-ketahanan-pangan-dari-pekarangan-rumah

DENPASAR, NusaBali
Bukan melulu masalah ekonomi, namun isu ketahanan pangan menjadi hal penting di tengah pandemi Covid-19.

Karena itu risiko kebergantungan pada ketersediaan pangan dari luar Bali hingga ketidakmampuan membeli bahan pangan harus disikapi oleh tiap keluarga. “Caranya dengan menanam dan beternak di pekarangan rumah sendiri  sebagai wujud antisipasi bila ketersediaan pangan mulai langka di tengah pandemi Covid-19,” kata Putu Marmar Herayukti, pencetus gerakan Tapakara.

Gerakan ini awalnya dicanangkan untuk lingkungan kediamannya di Banjar Gemeh, Dauh Puri Kangin, Denpasar Barat pada Januari lalu. "Ketika musyawarah, saya menggagas supaya tiap rumah punya kebun dan ternak untuk penghuninya sendiri," kata pria yang menjabat Kelian Adat ini, Selasa (12/5).

Selanjutnya, gerakan ini dijadikan sebagai gerakan menyeluruh, bukan hanya di tempat tinggalnya saja. Pertimbangannya, Covid-19 mewabah di Indonesia, termasuk Bali dan mengguncang sendi-sendi perekonomian.  "Covid-19 membuat ekonomi sulit, sementara kebutuhan pangan mesti tetap terpenuhi. Kebutuhan akan pangan itu yang paling mutlak. Ketika pangan terpenuhi tinggal menunggu perekonomian bangkit kembali," sambung seniman ogoh-ogoh ini.

Marmar  mengkhawatirkan terjadinya kelaparan jika wabah tak kunjung selesai. Terlebih di kota-kota besar seperti Denpasar yang kesediaan pangannya banyak didatangkan dari daerah lain. "Jadi ajakan ini untuk menghindari kemungkinan terburuk kekurangan bahan pangan. Orang mesti tahu mereka bisa lho menyediakan bahan pangan dari rumahnya masing-masing," paparnya.  “Agar orang tidak hanya fokus menunggu bantuan, mereka harus bergerak sendiri. Saat ini bukan situasi yang tepat untuk bersantai, benar-benar harus survive. Tidak mesti bergantung kepada negara," sebut Marmar.

Baginya penting membesarkan gerakan ini meskipun di beberapa tempat sudah banyak orang yang memulai.  "Orang luar negeri bikin urban farming, kenapa kita nggak bikin aja dengan pola yang sama dan dinamakan dengan nama lokal sehingga orang merasa dekat dengan kebudayaan agraris leluhurnya," katanya.

Gerakan ini pun dinamakan 'Tapakara' yang berasal dari dua kata; ‘Tapa’ dan ‘Kara’. "Tapa artinya permulaan energi. Kara berarti benih, hidup, tangan, atau cahaya. Maknanya sesuai dengan gerakan ini. Menanam benih untuk kebutuhan energi hidup kita. Untuk menanam perlu cahaya. Dan tangan kita harus berkarya untuk memulihkan energi kita sendiri," papar Marmar.

Marmar sendiri mulai menanam sejumlah sayuran dan bumbu dapur sejak tiga minggu yang lalu di pekarangan rumahnya. Untuk mengakali keterbatasan lahan ia menanam secara vertikal. "Jadi disusun seperti rak dari botol dan jurigen bekas serta talang air," ucap pria yang juga tengah menyiapkan kolam untuk beternak ikan nila ini.

Aktivitas tersebut terus ia bagikan melakui Instagram miliknya untuk menginspirasi yang lain.  Rencananya, tutorial dalam laman YouTube juga sudah disiapkannya. "Menanam itu keren dan tidak sulit, bisa dimulai dengan yang ringan. Paling tidak akan ada yang tergerak. Ketika banyak yang tergerak akan menjadi tren. Anak muda kan suka ngikutin tren," sebut Marmar. "Di Tapakara, saya juga banyak belajar dengan teman-teman yang lebih paham soal ini. Selain gerakan kesadaran, ini juga wadah diskusi. Agar bisa saling bertukar informasi," pungkasnya. *cr75

Komentar