Rangkaian Upacara Ngenteg Linggih, Tak Harus Dipaksakan
Sebagaimana pelaksanaan yadnya yang dilaksanakan menyesuaikan dengan kemampuan umat, demikian pula halnya dengan Ngenteg Linggih.
GIANYAR, NusaBali.com
Dalam pelaksanaannya, upacara Ngenteg Linggih dilakukan dengan serangkaian upakara, yang bervariasi menurut kemampuan yang melaksanakan upacara ini. Mulai dari satu hari saja, hingga upacara yang mencapai tujuh hari pelaksanaan dan menggunakan beragam kurban.
Terlepas beragam rangkaian upacara yang ada, beberapa daerah mungkin melaksanakannya secara berbeda tergantung adat di masing-masing daerah. Namun, tentu hal yang pertama dilakukan umat sebelum membangun sebuah tempat suci yaitu menyampaikan niat umat kepada Ida Bhatara yang akan distanakan dalam proses Ngenteg Linggih ini. Ini terdapat dalam upacara yang disebut dengan Nuwasen.
Upacara ini dilakukan minimal sebelum Ngenteg Linggih dilaksanakan. Lalu, ada upacara Maguru Piduka. Tujuannya agar Bhatara yang akan dilinggihkan tidak ‘kaget’ dengan rangkaian upacara yanga akan dilaksanakan. Selanjutnya, ada upacara Nancep Tetaring beserta kelengkapannya.
Rangkaian selanjutnya ada upacara Masesepuh, dan Mapepade yang terdiri dari dua jenis, yakni Mapepade Tawur dan Mapepade Piodalan. Di sinilah, umat menghaturkan hewan kurban. Setelah itu, terdapat upacara Tawur, dan dilanjutkan dengan Melaspas, Mapedagingan, dan Ngelinggihan.
Mapedagingan, atau Mendem Pedagingan dalam upacara ini, dipendam simbol Ida Bhatara yang akan berstana berupa Panca Datu. “Satu bangunan suci tanpa mendem pedagingan itu tidak akan komplit. Tidak ada roh yang akan memasuki, tidak ada taksu satu bangunan itu,” terang Ida Pandita Mpu Eka Sandhi Dhaksa Dharmita Manuaba.
Semua rangkaian upacara ini diakhiri denga Nyegara Gunung. Yang unik, di beberapa desa tertentu terdapat rangkaian upacara selanjutnya seperti Nyepiang Karya, di mana warga akan melakukan brata penyepian di desa tersebut untuk meresapi kembali apa yang telah dilaksanakan.
Pasca upacara Ngenteg Linggih diadakan, akan terdapat upacara-upacara untuk pura tersebut di kemudian hari, seperti piodalan. Namun, ada satu upacara lagi yang perlu dilakukan setelah 30 tahun, yang bertujuan untuk kembali memberikan kekuatan pada pura tersebut. Upacara inilah yang disebut dengan Mupuk Pedagingan.
Seperti namanya, upacara ini memupuk atau kembali memberikan kekuatan pada pura, sekiranya jika kekuatan para pura tersebut melemah. “Panca Datu, lima unsure logam itu dalam upacara Mupuk Pedagingan harus ada. Jadi unsur panas, dan yang lainnya itu agar kuat. Kemudian itu dimasukkan dalam salah satu bangunan kemudian dilinggihkan,” lanjut Widya Candra Prawartana.
Namun upacara ini tidak saklek harus dilakukan saat pura tersebut mencapai 30 tahun. Kembali lagi pada kemampuan umatnya untuk melaksanakan upacara tersebut. Jika tak mampu, umat boleh menunda niatnya untuk melaksanakan upacara ini dengan memohon ijin pada Ida Bhatara.
Demikian pula dengan Ngenteg Linggih itu sendiri. Memang, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, upacara Ngenteg Linggih ini sendiri bervariasi pelaksanaan waktunya, mulai dari upacara tingkat Nista yang sederhana dan bisa dilakukan dalam sehari, hingga upacara yang memakan waktu hingga tujuh atau sembilan hari dan menggunakan berbagai macam kurban dalam prosesnya.
“Kalau yang kecil, satu hari juga bisa. Semua inti-intinya kita ambil. Tentu rangkaian pembuatan upakaranya lumayan lama, minimal 7 hari. Tapi sekarang hari-H kita ambil dalam satu hari. Dari upacara Tawur, Caru, sampai melaspas, Mapedagingan, Masupati, Ngelinggihang, dalam satu hari. Tetapi untuk seorang sulinggih, ini merupakan pekerjaan yang berat,” papar Ida Pandita Mpu Eka Sandhi Dhaksa Dharmita Manuaba.
Namun, bukan berarti esensi dari pelaksanaan Ngenteg Linggih tersebut berubah karena pelaksanaan yang lebih singkat. Sebagaimana pelaksanaan yadnya yang dilaksanakan menyesuaikan dengan kemampuan umat, demikian pula halnya dengan Ngenteg Linggih.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa kesederhanaan pelaksanaan upacara (apapun itu) di tingkat Nista bukan berarti upacara tersebut dilaksanakan oleh umat yang tidak mampu, melainkan memberikan pesan bahwa upacara dalam agama Hindu tidak memiliki unsur paksaan.
Adapun pelaksanaan upacara yang saat ini seolah berlomba-lomba menunjukkan kemewahan, tak lain adalah pengaruh dari mindset masyarakat. Padahal, jelas dalam ajaran Tri Kaya Parisudha, umat diajarkan untuk tidak memiliki pikiran yang buruk, yang dalam konteksnya yang luas dapat juga diartikan memiliki pikiran untuk memamerkan kepemilikannya.
“Kesimpulan dari semuanya, yaitu bahwa yadnya itu tidak memberatkan, itu yang pertama. Yang kedua, yaitu yadnya bukanlah ajang untuk mengadu gengsi. Yang ketiga, yadnya itu walau sederhana tapi bermakna, dan tepat guna. Dan yang terakhir adalah yadnya itu bersumber dari tulus ikhlas, atmastuti,” Widya Candra Prawartana menyimpulkan.*cr74
1
Komentar