MUTIARA WEDA: New Normal
Uddhared ātmanātmānam nātmānam avasādayet, ātmaiva hy ātmano bandhur ātmaiva ripur ātmanah. (Bhagavad-gita, 6.5)
Setiap orang hendaknya menyelamatkan dirinya oleh dirinya sendiri dan tidak menyebabkan dirinya jatuh. Diri sendiri adalah musuh paling berbahaya sekaligus teman terbaik.
JIKA orang dibuat berlama-lama tinggal di rumah selama pandemi, tentu banyak hal yang akan terganggu, terutama masalah ekonomi. Meskipun banyak hal saat ini bisa dikerjakan dari rumah, tetapi sebagian besar yang berhubungan dengan itu masih tetap membutuhkan kehadiran langsung tubuh manusia. Seperti misalnya, orang bisa membeli beras dari rumah, membayarnya dari rumah dan diterima di rumah. Tetapi, hal-hal yang berhubungan dengan beras itu sampai di rumah masih memerlukan kehadiran langsung tubuh manusia. Awalnya dari pemilihan bibit padi, penyemaian bibit, penanaman, pengairan, penggemburan lahan, pemupukan, panen sampai penggilingan belum sepenuhnya dikerjakan oleh mesin. Setelah menjadi beras masih perlu pengepakan, transportasi, tempat penyimpanan, dan distribusi ke toko-toko. Setelah dipesan lewat online, diperlukan orang yang melayani penjualan, perlu lagi transportasi sampai di tempat tujuan. Jadi, proses beras agar sampai di rumah memerlukan banyak sekali tenaga manusia. Demikian juga hal lainnya. Jika ini tiba-tiba dihentikan, maka putus pula rantainya, yang berarti rantai ekonomi juga mengalami kekacauan.
Lockdown adalah metode untuk memutus rantai penyebaran virus sampai batas waktu tertentu. Hanya saja tidak semua orang bisa taat, atau lebih tepatnya mustahil itu bisa ditaati semua orang oleh karena berbagai faktor, internal dan eksternal. Oleh karena dianggap tidak mungkin memutus penyebaran virus dengan cara itu, dicobakan teknik lain seperti PSBB maupun PKM. Bahkan itupun disinyalir mustahil bisa sukses, karena itu adalah sejenis lockdown mini. Kemudian, dalam rangka menyelamatkan banyak aspek kehidupan, ada tendensi untuk secara bertahap mengembalikan segala aktivitas supaya normal seperti semula. Ini adalah normal baru (new normal), normal dengan disiplin tinggi. Di satu sisi beraktivitas biasa, sementara di sisi lain mesti ketat dengan protokol kesehatan. Aturan tidak lagi dipegang oleh kendali pemerintah, melainkan oleh diri sendiri. Siapa yang taat dengan aturan, dia kemungkinan besar selamat, tetapi siapa yang abai kemungkinan besar bisa terjangkit virus. Mereka yang kuat imunitasnya akan selamat, sementara yang lemah sebaliknya bisa terjadi.
Jika itu diserahkan sepenuhnya kepada individu-individu, maka teks di atas bisa dijadikan pegangan. Ini tentu tidak mudah, sebab sahabat dan musuh tidak lagi ada di dalam diri, melainkan diri sendiri adalah musuh dan sahabat sekaligus. Kalau vaksin ditemukan dalam waktu dekat, tentu itu adalah kabar baik, tetapi jika tidak, maka konsep somia bhuta sebagai mana orang Bali laksanakan akan bertransformasi dan dunia akan mengikutinya. Mungkin mereka akan belajar ke Bali bagaimana mestinya hidup berdampingan dengan virus yang setiap saat mengintipnya. Apa yang diperlukan adalah kekebalan tubuh. Herd immunity adalah alatnya, disiplin diri landasan pacunya, serta norma seperti teks di atas adalah kekang kendalinya.
Teks seperti di atas jika dilihat secara metodologis sepertinya sebuah hasil research berkepanjangan sehingga kesimpulannya hampir mendekati kebenaran (atau secara teologis mungkin seratus persen benar, karena ini diyakini sebagai teks wahyu). Pada prinsipnya semua orang tidak bisa diganggu kebebasannya, tidak bisa dikekang ekspresinya, dan tidak bisa diajak berdamai dengan laparnya. Ini telah dilihat secara jelas oleh teks di atas, sehingga kesimpulannya bisa langsung dijadikan pegangan sebagai sebuah kebenaran. Orang hendaknya menyelamatkan dirinya oleh dirinya sendiri. Meskipun virus menghantui, pemerintah sepertinya tidak bisa mengatur orang untuk ini dan itu agar selamat atas nama kemanusiaan, sebab sesuatu yang laten ada di dalam dirinya yang bebas, yakni ‘hanya dirinya yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri’. Jika dirinya bisa disiplin, mampu memanfaatkan alat dan mengikuti teknisnya, kemungkinan dirinya tidak jatuh. Tetapi, jika abai, kejatuhan adalah pasti. Jika dirinya bisa menjadi kawan, maka selamatlah dirinya itu, tetapi jika dirinya menjadi lawan, jatuhlah dirinya itu. Selamat atau jatuh sepenuhnya dari dan untuk dirinya. Inilah kebebasan, dan inilah new normal. Katanya, ‘generasi baru’ akan lahir dari new normal ini. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar