Penyuluh Bahasa Bali Temukan 8.366 Cakep Lontar
Penyuluh Bahasa Bali mulai menunjukkan kinerjanya. Selama 2 bulan bekerja sejak ditugaskan 1 Juli 2016 lalu, Penyuluh Bahasa Bali berhasil kumpulkan lebih dari 8.300 cakep lontar.
Sebagian Sudah Kondisi Rusak, karena Dianggap Sakral dan Tenget
DENPASAR, NusaBali
Dari jumlah itu, sebanyak 2.562 cakep lontar di antaranya sudah dalam keadaan rusak dan tidak utuh lagi, baik dari sisi fisik maupun dari kontennya.
Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali, Nyoman Suka Ardiyasa, mengungkapkan ada total 8.366 cakep lontar yang telah terkumpul selama 2 bulan terakhir. Ribuan cakep lontar tersebut dihimpun dari berbagai kawasan di seluruh 9 kabupaten/kota se-Bali. Terbanyak ditemukan di kawasan Kabupaten Klungkung.
Rinciannya, di Klungkung ditemukan 2.103 cakep lontar, disusul dari Tabanan (1.921 cakep lontar), dari Gianyar (1.513 cakep lontar), dari Denpasar (819 cakep lontar), dari Buleleng (611 cakep lontar), dari Bangli (555 cakep lontar), dari Badung (326 cakep lontar), dari Karangasem (284 cakep lontar), dan palings edikit dari Jembrana (terkumpul 238 cakep lontar).
“Ada lebih dari 8.300 cakep lontar yang sudah kita peroleh. Lontar-lontar tersebut selama ini kebanyakan tersimpan di puri, griya, dan juga milik masyarakat awam,” ungkap Suka Ardiyasa di Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Niti Mandala Denpasar, Rabu (14/9).
Menurut Suka Ardiyasa, dari jumlah tersebut, sebanyak 5.804 cakep lontar di antaranya masih terawat dengan baik. Sedangkan sisanya, sebanyak 2.562 cakep lontar sudah dalam kondisi rusak. Biasanya, lontar-lontar yang sudah dalam kondisi rusak itu adalah milik masyarakat awam.
“Penyebab kerusakannya, ya karena masyarakat awam masih menganggap lontar ini barang tenget (keramat, Red), sehingga tidak boleh kita sembarangan membacanya. Karena lama tidak dibaca, patinya tidak terawat, akhirnya dimakan nget-nget (rayap), lalu menjadi rusak,” tandas Suka Ardiyasa.
Sebaliknya, lontar-lontar yang ditemukan di lingkungan puri dan griya, kata dia, kondisinya masih terawat dengan baik. Hanya saja, di beberapa puri di Bali, generasi selanjutnya tidak mampu untuk ‘ngeh’ mempelajari dan merawat lontar-lontar warisan leluhur tersebut.
“Kalau di lingkungan griya, mengapa lontar itu bertahan, karena biasanya lontar tersebut sering dijadikan pedoman ketika memohon petunjuk upakara atau dewasa ayu (hari baik). Sebaliknya, kalau di masyarakat awam tidak ada kepentingan begitu. Lontar hanya dibanteni (diupakarai) saja, itu pun dalam waktu-waktu tertentu. Ya, karena itu tadi, lontar dianggap tenget. Parahnya, generasi selanjutnya tidak tahu cara merawat lontar,” kata Suka Ardiyasa yang juga menjabat Ketua Aliansi Peduli Bahasa Bali.
Suka Ardiyasa menyebutkan, memasuki bulan kedua bertugas, Penyuluh Bahasa Bali di seluruh kabupaten/kota se-Bali tiada henti blusukan mendata lontar yang berada di desa tempat tugas masing-masing. Sedangkan pada bulan pertama tugas, sepenuhnya digunakan untuk pemetaan wilayah di masing-masing tempat tugas.
Dalam proses blusukan tersebut, tidak sedikit Penyuluh Bahasa Bali menemui kendala. Misalnya, pemilik lontar menolak serahkan benda pusakanya. Hal ini masih membutuhkan pendekatan yang baik dan persuasif. Maklum, krama Bali juga memiliki trauma atas ulah beberapa oknum yang dulu sempat meminjam lontar mereka, tapi tidak dikembalikan.
“Ketika kita menemui beberapa tokoh masyarakat, mereka banyak yang menyodorkan lontar dan berharap bisa dibantu untuk menyelamatkannya. Namun, ada juga yang tidak mengizinkan untuk melihat lontar miliknya, jika bukan dewasa ayu. Misalnya, saat Hari Raya Saraswati, barulah kita diizinkan datang ke sana,” jelas Suka Ardiyasa. “Pendataan ini baru dilakukan sebulan. Data ini akan terus berkembang seiring banyaknya masyarakat yang membuka pintu untuk diberikan mendata lontar mereka,” imbuhnya.
Menurut Suka Ardiyasa, sembari mengadakan blusukan, pihakya terus melakukan pendekatan kepada masayarakat untuk memberikan pemahaman bahwa lontar itu adalah buku suci di masa lalu. Sebagai media tulis, lontar menjadi semacam buku yang digunakan menumpahkan berbagai hal di masa silam, oleh sebagian besar tetua Bali. Isi lontar banyak mengandung ajaran spritual, filsafat, pengobatan, perhitungan hari (wariga), bahkan hingga catatan utang piutang.
“Dalam kegiatan di lapangan, kami terus mensosialisasikan bahwa lontar sama dengan buku. Jadi istilahnya, menyadarkan masyarakat bahwa lontar memang bisa disakralkan, namun sebelum disakralkan harus dibaca dulu. Data yang diperoleh saat ini adalah data awal. Akan dilakukan pendataan lebih intensif lagi, sebab pasti banyak masyarakat yang ingin membuka ‘pintunya’ untuk kami mendata lontar,” papar Suka Ardiyasa.
Untuk saat ini, lanjut dia, Penyuluh Bahasa Bali masih dalam tahap menyampaikan data ke Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. “Kita akan sampaikan ini ke Dinas Kebudayaan (Disbud), selanjutnya dari Disbud nanti memprogram bagaimana langkah selanjutnya. Apa kita dari penyuluh dilibatkan lagi, ya kita akan mendukung.”
Suka Ardiyasa menegaskan, selain mendata lontar, program prioritas yang akan dilakukan Penyuluh Bahasa Bali selama 6 bulan ke depan adalah membentuk kelompok-kelompok belajar untuk anak-anak. Pertimbangannya, karena kalangan anak-anak sendiri belum begitu kuat menggunakan bahasa aksara dan sastra Bali.
“Ketika kita tanya bendesa (kelian desa pakraman, Rdd) apakah menggunakan bahasa Bali dalam paruman, nyatanya masih menggunakan bahasa Ibu, sehingga kami anggap masih aman. Demikian pula Sekaa Teruna, masih menggunakan bahasa Bali saat rapat. Tapi, kalangan anak-anak ini belum kuat, sehingga dalam waktu 4 bulan yang tersisa ini, kita fokus bikin kelompok belajar untuk anak-anak. * in
Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali, Nyoman Suka Ardiyasa, mengungkapkan ada total 8.366 cakep lontar yang telah terkumpul selama 2 bulan terakhir. Ribuan cakep lontar tersebut dihimpun dari berbagai kawasan di seluruh 9 kabupaten/kota se-Bali. Terbanyak ditemukan di kawasan Kabupaten Klungkung.
Rinciannya, di Klungkung ditemukan 2.103 cakep lontar, disusul dari Tabanan (1.921 cakep lontar), dari Gianyar (1.513 cakep lontar), dari Denpasar (819 cakep lontar), dari Buleleng (611 cakep lontar), dari Bangli (555 cakep lontar), dari Badung (326 cakep lontar), dari Karangasem (284 cakep lontar), dan palings edikit dari Jembrana (terkumpul 238 cakep lontar).
“Ada lebih dari 8.300 cakep lontar yang sudah kita peroleh. Lontar-lontar tersebut selama ini kebanyakan tersimpan di puri, griya, dan juga milik masyarakat awam,” ungkap Suka Ardiyasa di Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Niti Mandala Denpasar, Rabu (14/9).
Menurut Suka Ardiyasa, dari jumlah tersebut, sebanyak 5.804 cakep lontar di antaranya masih terawat dengan baik. Sedangkan sisanya, sebanyak 2.562 cakep lontar sudah dalam kondisi rusak. Biasanya, lontar-lontar yang sudah dalam kondisi rusak itu adalah milik masyarakat awam.
“Penyebab kerusakannya, ya karena masyarakat awam masih menganggap lontar ini barang tenget (keramat, Red), sehingga tidak boleh kita sembarangan membacanya. Karena lama tidak dibaca, patinya tidak terawat, akhirnya dimakan nget-nget (rayap), lalu menjadi rusak,” tandas Suka Ardiyasa.
Sebaliknya, lontar-lontar yang ditemukan di lingkungan puri dan griya, kata dia, kondisinya masih terawat dengan baik. Hanya saja, di beberapa puri di Bali, generasi selanjutnya tidak mampu untuk ‘ngeh’ mempelajari dan merawat lontar-lontar warisan leluhur tersebut.
“Kalau di lingkungan griya, mengapa lontar itu bertahan, karena biasanya lontar tersebut sering dijadikan pedoman ketika memohon petunjuk upakara atau dewasa ayu (hari baik). Sebaliknya, kalau di masyarakat awam tidak ada kepentingan begitu. Lontar hanya dibanteni (diupakarai) saja, itu pun dalam waktu-waktu tertentu. Ya, karena itu tadi, lontar dianggap tenget. Parahnya, generasi selanjutnya tidak tahu cara merawat lontar,” kata Suka Ardiyasa yang juga menjabat Ketua Aliansi Peduli Bahasa Bali.
Suka Ardiyasa menyebutkan, memasuki bulan kedua bertugas, Penyuluh Bahasa Bali di seluruh kabupaten/kota se-Bali tiada henti blusukan mendata lontar yang berada di desa tempat tugas masing-masing. Sedangkan pada bulan pertama tugas, sepenuhnya digunakan untuk pemetaan wilayah di masing-masing tempat tugas.
Dalam proses blusukan tersebut, tidak sedikit Penyuluh Bahasa Bali menemui kendala. Misalnya, pemilik lontar menolak serahkan benda pusakanya. Hal ini masih membutuhkan pendekatan yang baik dan persuasif. Maklum, krama Bali juga memiliki trauma atas ulah beberapa oknum yang dulu sempat meminjam lontar mereka, tapi tidak dikembalikan.
“Ketika kita menemui beberapa tokoh masyarakat, mereka banyak yang menyodorkan lontar dan berharap bisa dibantu untuk menyelamatkannya. Namun, ada juga yang tidak mengizinkan untuk melihat lontar miliknya, jika bukan dewasa ayu. Misalnya, saat Hari Raya Saraswati, barulah kita diizinkan datang ke sana,” jelas Suka Ardiyasa. “Pendataan ini baru dilakukan sebulan. Data ini akan terus berkembang seiring banyaknya masyarakat yang membuka pintu untuk diberikan mendata lontar mereka,” imbuhnya.
Menurut Suka Ardiyasa, sembari mengadakan blusukan, pihakya terus melakukan pendekatan kepada masayarakat untuk memberikan pemahaman bahwa lontar itu adalah buku suci di masa lalu. Sebagai media tulis, lontar menjadi semacam buku yang digunakan menumpahkan berbagai hal di masa silam, oleh sebagian besar tetua Bali. Isi lontar banyak mengandung ajaran spritual, filsafat, pengobatan, perhitungan hari (wariga), bahkan hingga catatan utang piutang.
“Dalam kegiatan di lapangan, kami terus mensosialisasikan bahwa lontar sama dengan buku. Jadi istilahnya, menyadarkan masyarakat bahwa lontar memang bisa disakralkan, namun sebelum disakralkan harus dibaca dulu. Data yang diperoleh saat ini adalah data awal. Akan dilakukan pendataan lebih intensif lagi, sebab pasti banyak masyarakat yang ingin membuka ‘pintunya’ untuk kami mendata lontar,” papar Suka Ardiyasa.
Untuk saat ini, lanjut dia, Penyuluh Bahasa Bali masih dalam tahap menyampaikan data ke Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. “Kita akan sampaikan ini ke Dinas Kebudayaan (Disbud), selanjutnya dari Disbud nanti memprogram bagaimana langkah selanjutnya. Apa kita dari penyuluh dilibatkan lagi, ya kita akan mendukung.”
Suka Ardiyasa menegaskan, selain mendata lontar, program prioritas yang akan dilakukan Penyuluh Bahasa Bali selama 6 bulan ke depan adalah membentuk kelompok-kelompok belajar untuk anak-anak. Pertimbangannya, karena kalangan anak-anak sendiri belum begitu kuat menggunakan bahasa aksara dan sastra Bali.
“Ketika kita tanya bendesa (kelian desa pakraman, Rdd) apakah menggunakan bahasa Bali dalam paruman, nyatanya masih menggunakan bahasa Ibu, sehingga kami anggap masih aman. Demikian pula Sekaa Teruna, masih menggunakan bahasa Bali saat rapat. Tapi, kalangan anak-anak ini belum kuat, sehingga dalam waktu 4 bulan yang tersisa ini, kita fokus bikin kelompok belajar untuk anak-anak. * in
1
Komentar