MUTIARA WEDA: Format Sanatana Dharma Nusantara
Ye yathā mam prapadyante tams tathaiva bhajāmy aham, Mama vartmānuvartante manuśyah pārtha sarvaśah. (Bhagavad-gita, IV.11)
Jalan apapun orang tempuh ke arah-Ku, dengan jalan itu Aku memenuhinya, wahai Partha, karena semua jalan yang mereka tempuh adalah jalan-Ku.
TETUA kita telah mewariskan teladan dan ajaran luhur yang sebenarnya dapat kita terjemahkan dalam konteks kekinian. Satu hal dari warisan itu adalah ajarannya yang bersifat universal, moderat, dan desentralisasi. Universal maksudnya, mereka (para tetua) mengajarkan Dharma (yang tidak ditujukan hanya kepada ras, bangsa atau agama tertentu, melainkan seluruh umat manusia) untuk mengenal eksistensi diri dan tingkah laku manusia dalam kehidupan. Moderat maksudnya ajaran itu luwes, tidak kaku, memberikan kesadaran bahwa perbedaan dalam kehidupan adalah sebuah kepastian. Desentralisasi artinya, kebenaran itu berbeda-beda wujudnya di masing-masing tempat atau daerah sesuai dengan budaya yang berkembang di sana. Oleh karena inilah, ajaran tetua itu disebut dengan sanatana dharma (kebenaran abadi). Kemudian, jika berkaca dari warisan ini, maka siapa pun dari kita berniat untuk menyeragamkan praktik ajaran sanatana dharma sebenarnya telah salah secara fundamental. Dari akarnya telah melenceng.
Ajaran seperti teks di atas, yang terjemahannya bisa disepadankan dengan slogan ‘Bhineka Tunggal Ika tan hana Dharma mangrwa’ dalam Sutasoma merupakan mutiara warisan yang urgent dewasa ini. Terjemahan ajaran ini ke dalam ranah praktis perlu segera diterbitkan. Masalahnya, siapa yang menerbitkan? Jawabannya kembali mengacu pada teks di atas, bahwa setiap orang mesti menterjemahkannya untuk dirinya sendiri. Bagaimana caranya? Apa yang diperlukan untuk menterjemahkan? Caranya adalah dengan kesadaran dan kecerdasan. Hal pertama yang harus dikembangkan adalah meluaskan kesadaran diri dan menajamkan kecerdasan. Dengan piranti itu setiap orang akan mampu menerjemahkannya untuk dirinya sendiri. Jika terjemahan itu sukses, dipastikan warisan itu bisa dijalankan dengan cara-cara yang sesuai dengan ideologinya (universal, moderat, dan desentralisasi). Tentu, ini adalah kondisi yang paling ideal.
Sehingga dengan demikian, jika kita hendak menelusuri format sanatana dharma nusantara, ketiga ideologi di atas mesti bisa dijadikan kendaraan, atau dalam konteks researcher sebagai teori untuk membedahnya. Sementara itu, secara praktis, bagaimana teori tersebut bisa dituangkan ke dalam metodologi, tokoh-tokoh pendahulu kita telah memformat ajaran yang sangat applicable. Mereka memformatnya ke dalam Tripitama: ‘tattva, susila, acara’. Secara praktis metode ini bisa dijadikan sebagai rujukan untuk menelusuri format sanatana dharma tersebut. Dalam beberapa dasawarsa ini, formatnya masih terkesan Bali sentris, sehingga banyak yang mempertanyakan, dan bahkan tidak sedikit pula yang menolaknya.
Jika dipelajari secara netral, oleh karena orang Bali mewarisi dan menjalankan ajaran sanatana dharma secara utuh dalam format tradisi Bali, dan ketika itu mesti harus dijalankan di tempat lain, dimana pelaku, pemimpin, dan bahkan sarana dan prasarana pelaksanaan tradisi tersebut didatangkan dari Bali, tentu hal yang tampak adalah seperti Bali. Orang Bali hanya bisa mempraktikkan ke-Bali-annya, dan ketika diminta itu dilaksanakan di luar, tentu ke-Bali-annya itu akan dibawa. Tidak mungkin juga orang Bali diminta untuk melaksanakannya sesuai dengan budaya setempat yang berbeda dari kebiasaan-kebiasaannya. Mereka tentu benar. Namun, mempertanyakan tentang Bali sentris itu juga tidak salah, sebab secara ideologi mempertanyakan itu benar, dan bahkan akan salah jika itu tidak dipertanyakan.
Hal yang diperlukan saat ini, yang mungkin bisa diwujudkan dalam menterjemahkan ideologi di atas adalah, masing-masing daerah mesti menggali kembali tradisinya, merestrukturisasi itu, dan memasukkannya ke dalam kerangka tripitama. Jika hal itu telah terwujud dan berdiri utuh, tentu dibarengi dengan berbagai kriteria turunan lainnya, maka hal itu bisa dijalankan di bawah naungan sanatana dharma yang mungkin tampak berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Lembaga pengayom tentu harus menyetujui hal ini sebagai sebuah penjabaran dari ajaran tetua sebagaimana dinyatakan di atas. Mungkin, oleh karena hidup dalam sebuah negara yang beragam, tentu ada beberapa identitas yang bisa ditunjukkan seragam, seperti: masalah salam, satu organisasi pengayom karena berhubungan dengan pemerintah, dan sadhana formal (seperti tri sandhya dan panca sembah). Mengenai bagaimana pelaksanaan di luar ketiga hal ini bisa disesuaikan dengan tradisi setempat. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar