MUTIARA WEDA: Eksistensi Diri
Krtā-krte ca dvandvāni kadā sāntāni kasya vā, Evam jñātveha nirvedād-bhava tyāga-paro ‘vrati. (Astāvakra gita, IX.1)
Kepada siapa konflik antara kewajiban yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan ditujukan? Kepada siapa hal yang bertentangan itu ditujukan? Kapan ia berakhir? Berakhir untuk siapa? Selidiki itu melalui indifference kepada dunia, tanpa keinginan dan penyerahan diri.
KEBUTUHAN puncak menurut Maslow adalah aktualisasi diri. Kalau boleh diterjemahkan, atau bicara secara jujur kebutuhan ini mengarah pada eksistensi diri. Mengapa? Karena yang mendasarinya (menurut Samkhya) adalah ahamkara (kesadaran aku). Oleh karena piranti tubuh ini mampu melihat dirinya berbeda dengan yang lain, maka pemadatan identitas pada ‘aku’ itu terjadi secara alami. Pemadatan identitas ini dalam Yoga Sutra Patanjali disebut asmita. Produk dari asmita adalah eksistensi diri. Kebutuhan ini sepenuhnya psikis. Ketika kebutuhan dasar untuk survival dan rasa aman terpenuhi, kebutuhan ini segera menghantui. Seperti apa bentuknya? Harapan atau keinginan akan persepsi tertentu dari orang lain kepada kita adalah bentuknya. Sehingga eksistensi diri ini lebih mengarah kepada prestise, posisi diri di lingkungan sosial.
Eksistensi diri ini sebenarnya adalah bentukan sosial. Semakin tinggi peradaban suatu bangsa, kebutuhan akan eksistensi diri menjadi semakin besar. Bahkan, semakin mendesaknya kebutuhan ini, seseorang terkadang melakukan apa saja agar dirinya dipandang di lingkungannya. Oleh karena itu, ‘aku orang hebat’, ‘aku orang berpendidikan’, ‘aku kaya’, ‘aku boss’, ‘aku berpengaruh’, ‘aku berkuasa’, ‘aku cantik’, ‘aku cakep’, ‘aku bertitel’, dan sejenisnya menjadi sangat penting. Tidak heran jika kita melihat orang-orang sekitar bergumul untuk itu, dan mungkin kita ikut di dalamnya. Orang memerlukan sesuatu yang disandangkan atau disematkan pada dirinya agar merasa sejajar atau bahkan lebih tinggi dari yang lainnya. Sebagian besar pemicu penderitaan orang-orang yang berada dalam wilayah atau negara damai adalah masalah eksistensi ini. Mereka berjuang untuk itu, cemburu untuk itu, merasa tersisih untuk itu, dan merasa bangga juga untuk itu.
Tidak heran juga jika ada orang punya uang 10-an juta membeli mobil ratusan juta, tidak heran orang berani makan di tempat mahal puluhan kali lipat yang kualitasnya sama dengan makanan di warung biasa, tidak heran melihat orang melakukan ini dan itu, hanya untuk tampak sesuatu bagi yang lain. Konsekuensinya, ‘eksistensi diri’ ini secara langsung maupun tidak langsung membangun kelas-kelas di masyarakat. Orang merasa nyaman ketika berada di kelasnya. Sandangan itulah yang membuat kelas-kelas di masyarakat, apakah vertikal maupun horizontal. Vertikal artinya terbagi ke dalam kelas tinggi dan kelas rendah (biasanya masalah kekayaan, kedudukan sosial, dan pendidikan). Kelas horizontal, artinya klaster-klaster yang posisinya setara antara kelas satu dengan yang lainnya, seperti kelas politikus, kelas akademisi, kelas pebisnis, dan yang lainnya. Mereka beda kelas, tetapi merasa posisinya sederajat.
Secara naluri, setiap orang berjuang untuk itu, apapun alat yang digunakan (pendidikan, kekayaan, kedudukan, agama, budaya, dan yang lainnya). Apakah itu salah? Tidak ada salah dan benar, sebab ini bukan masalah moral. Ini murni masalah ‘kebutuhan’. Namun, teks seperti di atas hanya mengingatkan, bahwa hal itu adalah pemicu penderitaan, menderita saat berjuang, menderita saat gagal berjuang, menderita saat sukses, menderita saat ada pesaing, menderita saat berupaya mengamankan kedudukan itu, dan yang paling fatal seluruh waktu dilalui dengan rasa derita dan gagal menjadikan hidup bahagia.
Teks di atas mempertanyakan, kepada siapa semua tindakan itu ditujukan? Kapan itu berakhir? Dan kalau berakhir, untuk siapa? Jika akhirnya kita menyadari bahwa hal itu adalah kesia-siaan, maka jalan ketidakterikatan, penyerahan diri, dan tiada keinginan adalah kunci. Bagaimana kita bisa memperbaiki diri jika tidak ada keterikatan dan tidak ada keinginan, sebab untuk bisa maju, orang harus terikat untuk berjuang dan memiliki keinginan untuk maju? Menurut teks di atas, justru dengan ketiadakeinginan, ketiadaterikatan, dan penyerahan diri, kemajuan itu bisa terjadi. Kemajuan jenis apa? Semua jenis. Kesejahteraan berkembang, kekayaan berkembang, dan yang terpenting kesadaran orang akan berkembang. Tidak terikat bukan berarti menjauhi, tetapi mengerjakannya dengan penuh dedikasi dan rasa bahagia, tidak berpegang pada konsekuensi, tetapi pada prosesnya. *
I Gede Suwantana
1
Komentar