Pariwisata Pantai Bali, antara Pembangunan dan Potensi Pelanggaran Tata Ruang
Tidak dapat dipungkiri lagi, Bali selain mengandalkan budaya, juga mengandalkan alam sebagai spot wisatanya.
Penulis : I Wayan Bhayu Eka Pratama
Direktur Hubungan Masyarakat dan Kerjasama, Panca Pradipta Law Associates
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Pantai merupakan salah satu spot alam yang paling digemari wisatawan kala berkunjung ke Pulau Dewata ini. Selaras dengan semakin tingginya jumlah wisatawan, pariwisata pantai kian berkembang. Sehingga, marak adanya pembangunan hotel, villa, ataupun restoran di areal pantai. Di sisi lain, pantai merupakan areal publik yang menjadi milik bagi semua orang. Terkait hal ini, muncul kontroversi maupun konflik sosial yang berkembang di masyarakat, masalah privatisasi kawasan pantai misalnya. Maraknya pembangunan di kawasan pantai di Bali tentu berpotensi menimbulkan konflik sosial dan hukum. Sehingga, pariwisata pantai di Bali dipertanyakan batasannya.
Menyoal Privatisasi Kawasan Pantai di Bali
Praktik privatisasi kawasan pantai merupakan salah satu permasalahan terkait dengan hukum penataan ruang atau zoning law. Praktik ini membatasi akses masyarakat umum untuk memanfaatkan kawasan pesisir, termasuk sempadan pantai. Sempadan pantai diartikan sebagai daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Penetapan sempadan pantai ditujukan untuk melindungi dan menjaga kelestarian fungsi ekosistem, mencegah dari ancaman bencana alam, alokasi ruang publik dan juga saluran air.
Oktober 2019 dikutip dari NusaBali (https://www.nusabali.com/berita/61109/viral-iklan-menjual-pantai-di-tabanan), terdapat sebuah iklan di Kediri, Tabanan terkait penawaran pantai pribadi bagi calon pembelinya. Masih di tahun yang sama, tepatnya Juli 2019 berdasarkan berita dari DetikNews (https://news.detik.com/berita/d-4636078/heboh-turis-usir-warga-yang-main-di-pantai-buleleng-bali), pernah terjadi pengusiran masyarakat setempat oleh warga asing yang sedang melintasi pandai di depan villanya di Teumukus, Buleleng. Dua kasus di atas merupakan contoh nyata adanya potensi privatisasi kawasan pantai. Padahal, kawasan pesisir merupakan kawasan yang seharusnya dimanfaatkan oleh publik, termasuk sempadan pantai. Praktik seperti ini tentu mengancam fungsi pantai sebagai areal publik. Usaha masyarakat yang sangat bergantung pada pantai juga terancam, nelayan misalnya. Selain itu, terdapat juga kawasan pesisir yang memang telah lama diekspansi pengusaha pariwisata, seperti di daerah Sanur dan juga Nusa Dua (khususnya kawasan ITDC dan Tanjung Benoa). Hal seperti ini tentu memerlukan kontrol dan pengawasan pemerintah agar tidak terjadi ekspansi bahkan privatisasi di kawasan-kawasan publik.
Perspektif Hukum Penataan Ruang
Pembangunan wisata pantai harus kita pahami dalam konsep penataan ruang. Penataan ruang di Indonesia merupakan bagian dari Hak Menguasai Negara yang diberikan oleh UUPA, tepatnya Pasal 2 ayat (2) huruf a dan diatur dalam UU Penataan Ruang. Selanjutnya, UU ini mengamanatkan dibentuknya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional dan Daerah. Hubungan masing-masing RTRW tersebut bersifat hierarkis dan komplementer (saling melengkapi).
Peraturan terkait penataan ruang juga mencangkup wilayah pesisir, termasuk pantai. Hal ini diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 1 Tahun 2014. Disebutkan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Awalnya, pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur menggunakan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). HP-3 adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Dalam perkembangannya, BPHN dalam Laporan Analisis dan Evaluasi Hukum PWP3K Tahun 2015 menyatakan skema ini dianggap tidak dapat memberikan kontribusi yang optimal dan malah memberikan penguasaan sumber daya pesisir pada investor, utamanya investor asing. Sehingga, pada UU perubahannya skema HP-3 diganti menjadi perizinan, yakni melalui izin lokasi dan izin pengelolaan. Menariknya, konsep izin ini tidak juga menjawab permasalahan HP-3.
Kedua izin tersebut tetap menimbulkan potensi privatisasi dan pengkaplingan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini dikarenakan konsep izin tersebut tidak memastikan hak persetujuan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sumber daya pesisir. Nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang didefinisikan sebagai Pemangku Kepentingan Utama dalam Pasal 17 UU perubahan, hanya dilibatkan sebagai pihak pemberi pertimbangan dalam memberikan izin lokasi. Tentu ini sangat mengancam keberlangsungan nelayan tradisional. Selain iu, peraturan-peraturan tersebut tidak memiliki sanksi tegas untuk menanggulangi praktik privatisasi yang ada. Padahal, adanya sanksi tegas menjadi poin penting dalam menerapkan zoning law. Tanpa adanya sanksi yang tegas, maka “pembiaran” oleh pemerintah akan terus terjadi.
Jika dikaitkan antara kondisi pariwisata pantai yang ada di Bali dengan pengaturan kawasan pesisir yang tidak memberikan kepastian hukum, maka potensi privatisasi pantai akan selalu ada. Privatisasi pantai tidak hanya merugikan alam dan masyarakat setempat, namun juga tidak sejalan dengan kerangka pengaturan sebagaimana diamanatkan oleh UUPA. Pengaturan dalam UUPA seharusnya dimaknai dengan hadirnya negara dalam rangka mengatur ruang publik yang bertujuan untuk tercapainya kemanfaatan publik.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar