Frederika Mbitu Kay, Perajin Tenun Khas Sumba
DENPASAR, NusaBali
Pandemi Covid-19 memang memberikan dampak berupa penurunan ekonomi secara drastis. Dengan turunnya pariwisata di Bali, para pengrajin yang awalnya mendapatkan pasar dari para wisatawan pun kehilangan penghasilan.
Begitu pula yang dirasakan Frederika Mbitu Kay, perajin tenun ikat khas Sumba yang tinggal di kawasan Renon, Denpasar.
Kisahnya yang mengalami kesulitan ekonomi sempat dibagikan melalui akun Instagram milik Tim Anti Lapar Denpasar, sebuah komunitas yang secara rutin memberikan bantuan berupa makanan siap saji atau sembako kepada yang membutuhkan. Kesulitan yang dialaminya diakibatkan oleh Covid-19 yang membuat kain tenun Sumba yang ditenunnya kehilangan pembeli.
Selasa (30/6), kepada NusaBali, dirinya menceritakan bahwa awal kedatangannya ke Bali pada tahun 1998 yaitu sebagai seorang pekerja rumah tangga. Namun, di tahun 1999, dirinya dipekerjakan di sebuah usaha pertenunan di Ubud. Dari sanalah, dirinya mengunakan kemampuan menenun kain Sumba yang telah dipelajarinya sejak berusia 15 tahun.
Bahkan setelah dirinya tidak bekerja di usaha pertenunan tersebut sejak tahun 2016, dirinya masih menenun kain Sumba secara mandiri. Namun, sejak saat itulah dirinya juga mengalami penurunan penghasilan, meski masih mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Akhirnya tahun 2015 atau 2016, di situlah mama mulai agak kurang. Tapi agak kurangnya itu karena memang saya punya anak tujuh orang,” ujarnya saat ditemui di kediamannya di jalan Tukad Badung, Renon, Denpasar. Sebutan mama yang disebutkannya merujuk pada dirinya sendiri dalam dialek Sumba.
Karena mengalami keterbatasan dana untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang kuliah, maka Frederika mengirim dua anak-anaknya yang tertua untuk mengenyam bangku kuliah di dearah asalnya di Sumba agar dibiayai oleh pemerintah. Sementara, anak-anaknya yang lain masih bersekolah di Bali.
Namun kini sebagai akibat dari wabah Covid-19, dirinya kehilangan penghasilan. Memang, di situasi saat ini, dengan tidak adanya wisatawan dan lemahnya daya beli masyarakat, barang kerajinan menjadi kurang laku. “Sebenarnya untuk kain-kain Sumba ini sangat luar biasa. Tapi di saat-saat kondisi seperti ini, Covid, kain-kain tenun itu siapa yang mau beli? Sebelum Covid kemarin saya bisa jualan di Batu Jimbar, adalah uang makan nggak mungkin nggak ada,” lanjutnya.
Kini, dirinya tetap menenun, dengan harapan saat pandemi berakhir, dirinya bisa kembali menjual kain-kainnya. Juga dirinya kini membantu kerabatnya berjualan sayur di depan rumahnya. “Tenun, tetap saya tenun, daripada saya diam. Apabila Covid ini sudah selesai bisa dijual lagi,” harapnya.
Kain-kain tenun karya Frederika ini dijual dengan berbagai variasi harga, tergantung bahan, dan lebar kainnya, dimulai dari kain yang dijual seharga Rp 400.000 hingga Rp 8.000.000. Semua kain-kain tenunnya menggunakan warna-warna yang alami, seperti akar mengkudu untuk warna kuning kecoklatan, atau akar nila untuk warna kebiruan. Cara perawatan kain-kain khas Sumba dengan berbagai motif inipun termasuk mudah, cukup dicuci tanpa menggunakan sabun atau detergen. Justru, warnanya disebut akan lebih keluar jika dicuci dengan air garam.*cr74
1
Komentar