'Pancasila Jangan Diotak-atik Lagi'
Gus Marhaen, Ketua Umum Yayasan Kepustakaan Bung Karno
DENPASAR, NusaBali
Ketua Umum Yayasan Kepustakaan Bung Karno, Gus Marhaen, angkat bicara terkait polemik Rancangan Undang-undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang terus bergulir, bahkan sempat memicu aksi massa berujung pembakaran bendera PDIP.
Gus Marhaen menegaskan Pancasila sudah final, tak usah diotak-atik lagi. Menurut Gus Marhaen, Pancasila yang merupakan Dasar Negara Republik Indonesia sejatinya sudah final and binding (tuntas dan mengikat). Maka, sebaiknya jangan diotak atik lagi, karena sudah menjadi kesepakatan para tokoh bangsa. Namun, jika ada perbedaan pandangan dalam tatanan proses demokrasi Indonesia, hal yang wajar.
“Pancasila merupakan kesepakatan yang dibuat oleh para pendiri bangsa yang dipimpin langsung Presiden RI pertama, Ir Soekarno. Oleh karena terlahir dari kesepakatan para tokoh bangsa, maka Pancasila sebaiknya jangan diotak-atik lagi,” tandas Gus Marhaen di Museum Agung Bung Karno, Niti Mamndala Denpasar, Jumat (3/7).
Gus Marhaen menyebutkan, Pancasila ibaratnya sebagai wanita cantik yang menarik perhatian banyak pihak, sehingga menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Namun demikian, dasar negara ini tidak mesti dipakai sebagai ajang untuk memuluskan kepentingan pihak tertentu. “Entah mereka dari pihak kiri, kanan, atau tengah. Menurut saya, mereka seharusnya sudah selesai membicarakan soal Pancasila, apalagi sampai bikin gaduh di saat bangsa ini tengah fokus menghadapi masalah pandemi Covid-19,” kata Gus Marhaen.
Bahwa terjadi pergolakan atau perbedaan pandangan tentang Pancasila, kata Gus Marhaen, pemerintah harus mempertimbangkan aspirasi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir atau kelompok tertentu saja. “Jangan hanya bercuap-cuap Pancasila, tapi prakteknya tidak terjadi,” sindirnya.
Dikatakan, salah satu pihak yang harus merujuk kepada ideologi Pancasila adalah partai politik. Menurut Gus Marhaen, dalam rangka menuju kekuasaan, parpol harus merujuk kepada ideologi Pancasila dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Kalau seluruh rakyat sepakat, partai politik apa pun seyogyanya sepakat juga memakai ideologi Pancasila, jangan hanya di mulut,” ujarnya.
Bagi Gus Marhaen, melihat dari catatan sejarah, nilai yang dituangkan Bung Karno dalam Pancasila sangat luar biasa. Sebab, nilai-nilainya telah mencakup kepentingan masyarakat luas. Karena itu, dia mengajak agar seluruh elemen kembali menyadari hal mendasar ini. “Pendiri Indonesia adalah Soekarno, suka dan tidak suka, ini harus dipahami,” tegasnya.
Sementara itu, serangkaian dengan hari lahirnya Partai Nasional Indonesia (PNI), 4 Juli 1927 yang merupakan partai politik tertua di Indonesia, Sabtu (4/7) ini, Gus Marhaen sebagai pekerja sejarah mengajak masyarakat melakukan napak tilas tentang sejarah bangsa ini, terutama terkait Pancasila. Bagi Gus Marhaen, Bung Karno merupakan sosok yang berperan penting dalam lahirnya Pancasila.
“Berbicara sosok Soekarno, beliau merupakan tokoh kebangsaan dan sosok yang sempurna. Saya bisa pertanggungjawabkan ini baik secara historis maupun akademis,” kata Gus Marhaen.
Secara panjang lebar, pengagum berat Bung Karno ini pun menceritakan historis Soekarno yang sudah mulai belajar dari rahim seorang ibu yang berasal dari Bali, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben dan ayahnya dari Jawa, Raden Soekemi Sosrodihardjo. “Kalau dia tidak diutus oleh alam, ya kita percaya Indonesia tak akan lahir.”
Sementara, dari aspek akademis, dengan konsep dan ide-ide kebangsaan Bung Karno, maka lahirlah PNI pada 4 Juli 1927. “Itu ada prosesnya. Di sana ada penggemblengan dengan ide-ide ilmiah bercampur jadi pemikiran yang sangat kuat, sehingga lahir ideologi bernama Marhaenisme,” jelas pendiri Museum Agung Bung Karno dan Taman Agung Proklamasi ini.
Menurut Gus Marhaen, pada 1 Juni rakyat Indonesia sudah sepakat sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Itu seperti yang disampaikan Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. “Dalam pidato inilah konsep dan rumusan awal Pancasila pertama kali dikemukakan oleh Soekarno sebagai dasar negara Indonesia merdeka,” katanya.
Dalam perjalanannya, kata Gus Marhaen, terbentuklah Panitia Sembilan untuk memberikan rumusan Pancasila. Dalam Panitia Sembilan ini, Bung Karno juga bertindak sebagai ketuanya. Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta. “Salah satunya berisi tentang sila; 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya',” sebut Gus Marhaen.
Nah, pada 18 Agustus 1945 setelah Proklamasi 17 Agustus, Piagam Jakarta yang dijadikan Pembukaan UUD 45 dan rumusan Pancasila berubah, yaitu sila pertama. Dalam Piagam Jakarta sila pertama dari dasar negara berbunyi, ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’. Namun, berubah menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’
Gus Marhaen menilai bahwa dengan berbagai kesepakatan yang telah disetujui oleh para tokoh bangsa ini, maka persoalan tentang Pancasila sejatinya telah selesai alias final and binding. “Sebagai bangsa yang besar, apalagi sudah sesuai dengan catatan sejarah dan telah menjadi kesepakatan para tokoh bangsa ini, mari kita stempel dan sudahi semuanya. Tidak perlu (Pancasila) ini diotak-atik lagi,” tegas Gus Marhaen yang sedang sibuk merampungkan Museum Agung Pancasila yang dibangun di atas lahan seluas 25 are di kaswasan Niti Mandala Denpasar. *isu
Komentar