Pariwisata Bali dan Travel Bubble, Siapkah?
Pandemi global COVID-19 diduga telah membawa dampak yang kurang menggemberikan pada capaian ekonomi Bali di awal tahun 2020.
Penulis : I Gede Heprin Prayasta
Statistisi di Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangli
Mahasiswa Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Udayana
Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik pada triwulan-I tahun 2020 tercatat bahwa perekonomian Bali mengalami pertumbuhan negatif sebesar 1,14 persen dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Ketika ditelusuri lebih lanjut ditemukan bahwa pertumbuhan negatif ini diakibatkan oleh kontraksi pada kategori penyedia akomodasi dan makan minum yang mencapai minus 9,11 persen. Pada bulan April 2020 bahkan dilaporkan bahwa jumlah wisatawan mancanegara yang datang langsung ke Provinsi Bali hanya sebanyak 327 kunjungan atau turun sedalam 99,79 persen dibandingkan dengan catatan bulan Maret 2020. Kondisi ini disinyalir akibat adanya kejadian penyebaran wabah penyakit virus korona di seluruh dunia yang mengakibatkan dibatasinya aktivitas penduduk dengan tujuan untuk meminimalisir sebaran jumlah kasus.
Dikutip dari CNN Indonesia, menurut Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali bahwa pandemi virus korona berpotensi menyebabkan kerugian pariwista Bali hingga 138,6 Trilyun rupiah atau US$9 miliar. Kondisi ini tentunya merupakan ancaman berat bagi pariwisata Bali. Bali segera perlu menyiapkan strategi khusus untuk menghidari kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Sebagai wilayah dengan basis perekonomian yang bertumpu pada sektor pariwisata, Bali perlu segera merumuskan pola pemulihan situasi perekenomian yang tepat. Momentum tatanan hidup era baru menjadi peluang sekaligus tantangan untuk menentukan arah dan strategi masa depan inudstri pariwisata Bali.
Salah satu rencana yang dicanangkan pemerintah Indonesia adalah penerapan travel bubble. Dikutip dari Kompas.com travel bubble dapat diartikan sebagai pembukaan terbatas suatu negara bagi beberapa negara lain yang masing-masing memiliki kasus virus korona yang rendah atau terkontrol. Akses ini memungkinkan orang bepergian dari suatu negara ke negara lainnya tanpa karantina dan aturan rumit sesuai dengan syarat protokol kesehatan. Indonesia sedang melakukan penjajakan penerapan kebijakan tersebut dengan beberapa negara seperti Tiongkok, Korea Selatan, Jepang dan Australia. Meskipun demikian, pada tahap percobaan ditargetkan bahwa kepentingan ini ditujukan untuk mereka yang sedang melaksanakan bisnis dengan harapan membantu menurunkan suhu panas tekanan perekonomian di Indonesia melalui investasi dan kerjasama. Dibutuhkan prototipe pelaksanaan yang jelas sehingga strategi ini nanti pada akhirnya dapat membawa dampak yang positif tidak hanya bagi geliat perekonomian namun tetap memprioritaskan jaminan keselamatan dan kesehatan rakyat Indonesia.
Meninjau kembali rencana penerapan kebijakan travel bubble dengan Tiongkok dan Australia dapat menjadi potensi pemulihan pangsa pasar bisnis pariwisata Bali. Fenomena ini tidak terlepas dari fakta bahwa wisatawan mancanegara yang paling banyak berkunjung ke Bali pada tahun 2019 berasal dari kedua negar tersebut. Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali jumlah wisatawan asing yang berasal dari Australia tercatat sebesar 1.241.128 orang dan Tiongkok sebesar 1.186.057 orang selama tahun 2019. Meskipun demikian rencana kebijakan tersebut masih sedang dirancang mengingat kekhawatiran penyebaran wabah virus korona masih sangat tinggi. Menurut pakar studi internasional Profesor Stephen Nagy dari Internasional Christian University di Tokyo, menuturkan bahwa negara-negara dalam travel bubble akan membutuhkan cara untuk membatasi kunujungan warga dari negara-negara ketiga atau negara berkembang. Tindakan ini diambil dengan pertimbangan bahwa ada kemungkinan warga dari negara negara tersebut lebih rentan terinfeksi virus korona. Sehingga dengan demikian aktivitas dan mobilitas lintas negara akan diprioritaskan dengan sangat berhati-hati untuk menghindari penciptaan gelombang kedua virus korona.
Mempertimbangkan perkembangan jumlah kasus di Bali pilihan untuk segera membuka industri pariwisata masih menyisakan tanda tanya. Berdasarkan siaran pers Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi Bali, Dewa Made Indra per tanggal 17 Juni 2020 tercatat angka penambahan kasus sebanyak 47 orang dengan 45 orang merupakan tansmisi lokal. Jumlah ini bahkan terus meningkat dimana laporan terbaru per 18 Juni 2020 dilaporkan tambahan sebanyak 66 kasus positif. Kecenderungan penambahan kasus positif di Bali diduga kebayakan diakibatkan oleh transimisi lokal. Indikasi perlu digarisbaswahi bahwa nanti pada saat tatanan hidup baru diterapkan seyogyanya kita harus menerima masa tersebut bukanlah masa terbebas dari pandemi tetapi bagaimana menerapkan pola hidup yang berbeda dengan berpedoman pada protokol kesehatan yang dianjurkan. Semakin meningkatnya jumlah kasus terpapar korona mungkin saja diakibatkan oleh frekuensi pengecekan yang semakin massif dengan bantuan sarana-prasarana medis yang cukup memadai. Sisi positifnya adalah bahwa semakin baiknya layanan fasilitas kesehatan di Bali. Dengan demikian tingkat kesembuhan pasien COVID-19 di Bali cukup tinggi secara nasional namun semua kabupaten dan kota di Bali tidak termasuk ke dalam daftar zona hijau. Menurut ketuga gugus nasional zona hijau hanya diperuntukkan untuk wilayah yang sama sekali tidak terpapar virus korona sedangkan di Bali ditemukan kasus di seluruh kabupaten kota. Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut maka kemungkinan Bali hingga saat ini dinyatakan belum layak untuk dibuka.
Saat ini Bali sedang mengalami pilihan situasi yang cukup dilema antara peluang untuk memulihkan kembali industri pariwisata sebagai denyut nadi perekonomian dan piroritas pengendalaian peningkatan jumlah kasus positif korona akibat transimisi lokal. Dinamika perkembangangan jumlah kasus tentu menjadi perhatian serius sebelum memutuskan untuk membuka kembali sector pariwisata. Menteri Pariwista dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio dalam kunjungannya ke Bali pada 16 Juni 2020 menyatakan bahwa dibuka atau tidaknya pariwisata tergantung pada kesiapan masing-masing daerah. Gubernur Bali, I Wayan Koster menyatakan bahwa tidak ingin terburu-buru untuk mengambil keputusan tersebut. Strategi dalam rangka menyambut reopening pariwisata Bali adalah prioritas utama yang terus dibahas. Berbagai pertimbangan harus direncanakan dengan matang.
Pemetaan potensi pangsa pasar baru harus tepat misalkan dengan menyasar pasar domestik dengan mengutamakan kearifan lokal. Pemberdayaan masyakarat terdampak yang kehilangan pekerjaan selama pandemi ini tentu harus dipertimbangkan sebagai salah satu kunci pemulihan ekonomi Bali. Pada tahun 2018 tercatat ada sebanyak 110 desa wisata di Bali yang tersebar di seluruh kabupaten kota. Pelaku bisnis pariwisata diharapkan untuk digandeng dengan bergelut di sektor informal jasa perorangan dalam kluster destinasi pariwisata sehingga mampu menggerakan perekonomian secra perlahan-lahan. Pemulihan panga pasar wisman mungkin membutuhkan waktu yang relatif lebih lama sehingga alternatif lain adalah pasar domestik. Melesatnya industri kreatif rumah tangga di sektor informal dapat menjadi potensi untuk menarik dikemas sebagai produk wisata lokal. Contoh misalnya produk wisata kuliner rumah tangga, wisata tirta, ataupun wisata lainnya yang potensial.
Diperlukan standar operasional protokol kesehatan yang jelas di industri pariwisata. Salah satu tujuan wisatawan melakukan aktivitas bepergian adalah selain memperoleh kenyamanan juga mendapatkan keamanan. Citra positif ini perlu dibangun dan direncanakan sebaik mungkin untuk menarik wisatawan berkunjung. Kajian ini penting dengan mengutamakan sanitasi akomodasi, keberadaan fasilitas cuci tangan, skema pelaksanaan rapid tes, SWAB yang mudah dan terjangkau, ketersediaan APD dan penunjang lainnya yang mampu menciptakan rasa aman dari virus korona bagi wisatawan selama melakukan kunjungan. Protokol kesehatan tetap menjadi prioritas utama.
Bali tidak dapat memungkiri bahwa perekonomiannya sangat bergantung pada industri pariwisata. Cepat atau lambat, kita harus bersiap. Strategi dan perumusan langkah strategis menentukan akan seperti apa masa depan perekonomian Bali. Meskipun guncangan akibat virus korona ini belum dapat diketahui secara pasti kapan akan berakhir ada keyakinan besar bahwa Bali akan mampu bertahan. Penerapan kebijakan travel bubble dapat menjadi tantangan sekaligus peluang untuk membawa pulang kejayaan pariwisata Bali. Tinggal menunggu momentum yang tepat, Bali bangkit!
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar