MUTIARA WEDA: Teori Api
Krodhāt bhavati sammohah sammohāt āsmṛti vibhramah, Smṛti bhramsād buddhi nāso buddhi nāsāt pranaśyati. (Bhagavad-gita, II. 63)
Dari kemarahan muncul delusi, dari delusi memori lenyap, dari lenyapnya memori diskriminasi hancur, kehilangan diskriminasi, kemusnahan menanti.
Krishna mengkronologikan kehancuran (bisa karakter atau keberadaan manusia, budaya atau peradaban) dengan sangat menarik. Kontak antara indriya dan objek-objeknya adalah awalnya. Dari kontak tersebut melahirkan keterikatan. Keterikatan inilah yang membuat raga (suka) dan dvesa (tidak suka) menghantui silih berganti. Kemarahan biasanya muncul dari raga dvesa ini. Jika kemarahan terus-menerus meletup dan menghiasi setiap kejadian dalam hidup, maka hal-hal negatif yang lebih besar akan terjadi, dan berakhir pada kehancuran. Inilah yang senantiasa kita amati dalam kehidupan sosial sehari-hari. Karakter orang bisa hancur karena kemarahan, bahkan keberadaannya sendiri bisa tiada. Demikian juga kebudayaan atau peradaban bisa hancur jika para pendukungnya diliputi oleh kemarahan. Kemarahan itu merusak ke dalam dan keluar. Kesadaran diri tertutup gara-gara kemarahan ini dan orang-orang sekitar juga akan menjauhinya.
Cara kerja kemarahan itu seperti api, membakar apapun yang dilaluinya, dan setelah semuanya habis, ia membakar dirinya sendiri. Benda-benda sekitar hangus tak tersisa, dan dirinya sendiri juga lenyap. Oleh karena itu perlu kiranya memikirkan berulang kali sebelum membela atau menolak sesuatu (apakah ideologi, keyakinan, atau bahkan harta benda) dengan kemarahan, sebab bisa saja orang yang kita lawan hangus terbakar, tetapi kita yang membakarnya juga ikut habis. Tidak ada satu pun yang diuntungkan. Kita tidak bisa bangga menjadi api karena telah membakar, sebab setelah bahan bakar itu habis, api tidak bisa bertahan, ia memakan dirinya sampai habis. Inilah yang dimaksudkan kemusnahan oleh Krishna. Kisah perang Bharata Yudha mungkin contoh yang menarik untuk disimak. Kemarahan yang disulut terus menerus akhirnya menghancurkan wangsa Bharata. Atau bisa lihat Perang Dunia I dan II, bagaimana kehancuran itu terjadi.
Bagaimana caranya agar kita tidak terjebak oleh kemarahan seperti ini? Satu hal yang harus dimengerti tentang kerja pikiran adalah delusi yang ditimbulkannya. Sekali kita tidak menyukai sesuatu (apakah karena alasan ideologi, lebih-lebih keyakinan), maka apapun yang tampak pada sesuatu yang tidak disukai itu akan salah. Kebencian kemudian timbul. Jika sudah benci, satu-satunya yang pikiran adalah bagaimana cara memusnahkan sesuatu itu. Pikiran kemudian mencari justifikasi bahwa sesuatu yang dibenci itu layak untuk dimusnahkan dan tampak bahwa itu adalah satu-satunya kebenaran. Jika pikiran sudah merasa percaya diri bahwa ia berada pada pihak yang benar, dapat dibayangkan bagaimana dahsyatnya daya hancur kebencian dan kemarahan itu.
Oleh karena itu, agar terhindar dari kemarahan yang menjadi pemicu kemusnahan, seni mengantisipasi cara kerja pikiran seperti ini harus dikuasai. Pikiran yang tidak disiplin dan terlatih akan cenderung demikian, tanpa kecuali. Oleh karena itu, umpamanya, jika kita ingin menolak sebuah keyakinan baru tertentu karena menganggap mengganggu eksistensi keyakinan yang sudah mapan adanya sejak dulu, jika tidak awas, maka pikiran akan terdorong secara otomatis untuk berpikir bagaimana melenyapkan gangguan itu. Ragam justifikasi pun hadir berbarengan karena pikiran memiliki kemampuan untuk membela apa yang diyakininya benar. Tidak salah menolak atau menerima sebuah kejadian, sebab itu adalah sebuah dinamika sosial yang selalu berjalan demikian. Namun, agar tindakan kita tepat, pesan Krishna pada sloka lainnya penting direnungkan: “sesuatu yang ada tidak akan pernah berhenti ada dan sesuatu yang tidak ada tidak akan pernah menjadi ada.”
Jika kita ingin mengagungkan sesuatu dan menolak sesuatu yang lain, maka, agar tabiat pikiran tidak langsung terjun sebagaimana di atas, rasanya penting melewati pesan Krishna ini. Krishna dalam konteks ini menjelaskan tentang determinasi absolut, yakni apapun yang adanya demikian adalah demikian, dan apapun yang tidak ada demikian juga tidak adanya demikian. Mengapa Krishna di satu sisi menasihati Arjuna dengan pernyataan seperti ini dan kemudian di sisi lain meyakinkannya agar tetap berperang? Karena Krishna tahu, bahwa tradisi yang didukung dengan kemarahan tidak pernah ada, sehingga dengan kemarahan yang terpelihara dalam dinasti Kuru itu mesti digunakan untuk meniadakan semuanya. Apakah sejarah berulang? *
I Gede Suwantana
1
Komentar