Ancaman Kesenjangan Pendidikan di Masa Pandemi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan RI, Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 2 Juli 2020 menyatakan bawah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) nantinya akan diterapkan secara permanen, tidak hanya saat pandemi Covid-19 saja.
Penulis : Dewa Ayu Eka S.
Bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi Bali
Pro kontra pun terjadi atas pernyataan Mas Menteri tersebut. Namun, melalui kanal youtube Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Iwan Syahril, mempertegas bahwa yang akan permanen adalah tersedianya berbagai platform PJJ baik yang bersifat dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring), seperti Rumah Belajar, yang nantinya akan mendukung para siswa dan guru dalam proses belajar mengajar. Pernyataan Mendikbud di satu sisi memberi angin segar bagi dunia pendidikan di Indonesia, ada perubahan yang ditawarkan, ada adaptasi terhadap perkembangan jaman. Di sisi lain, bercermin dari “mendadak” PJJ pada semester 2 tahun ajaran 2019/2020 lalu, bahwa PJJ belum memberikan solusi terbaik untuk semua pelajar di Indonesia dalam proses pembelajaran di masa pandemi Covid-19, tidak terkecuali Bali.
Berbagai pro dan kontra mewarnai pelaksanaan PJJ kemarin. Salah satunya adalah tidak semua pelaku dunia pendidikan (pelajar maupun pengajar) dapat menjalankan PJJ dengan lancar. Berbagai hambatan yang ditemui dalam PJJ di masa pandemi Covid-19 dikhawatirkan akan semakin memperlebar ketimpangan pendidikan. Sebelum pandemi, Bali tergolong wilayah dengan capaian pendidikan yang cukup memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator pendidikan, yang salah satunya dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, ketimpangan pendidikan masih dijumpai. Sebagai gambaran di tahun 2019, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019 mencatat 97,04 persen penduduk berumur 15 tahun ke atas yang tinggal di perkotaan Bali sudah melek huruf, bandingkan dengan yang tinggal di perdesaan yang baru mencapai 89,01 persen.
Ketika pertama kali PJJ diterapkan, sepertinya belum ada kajian mendalam atas kebijakan ini. Belum ada mitigasi, sejauh mana PJJ dapat diterapkan. Hal ini dapat dimaklumi karena pandemi yang datang secara tiba-tiba dan langsung mempengaruhi semua sendi kehidupan. Terlihat pemerintah belum terlalu siap dalam menyikapi perubahan pelaksanaan pembelajaran, ketika anak-anak terpaksa belajar dari rumah atau school from home (SFH). Dari yang biasanya belajar di kelas fisik, tiba-tiba harus belajar di kelas virtual, serta ketika semua elemen pendidikan harus belajar teknologi dengan cepat.
Teknologi menjadi pendukung utama atau syarat penting proses belajar jarak jauh. Namun, sayangnya teknologi tidaklah inklusif. Teknologi belum dapat dinikmati oleh semua pelajar dan pengajar di Bali. Walau Bali termasuk 5 besar provinsi dengan Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) tertinggi di tahun 2018, namun jika dilihat di kedalaman, ketimpangan masih dijumpai. Berdasarkan hasil Susenas Maret 2019, walaupun tinggal di perkotaan Bali, baru sekitar sepertiga (34,97 persen) penduduk Bali berumur 5-24 tahun menggunakan komputer. Di perdesaan ternyata jauh lebih rendah, belum mencapai seperempat penduduk umur 5-24 tahum (24,11 persen). Penggunaan internet juga belum merata antara siswa di perkotaan dan perdesaan. Siswa umur 5-24 tahun yang menggunakan internet di perkotaan Bali telah mencapai 68,49 persen, sedangkan di perdesaan baru mencapai 54,83 persen. Bagi pelajar yang tinggal di wilayah perkotaan, akses internet mungkin tidak terlalu menjadi kendala karena infrastruktur pendukungnya sudah tersedia dan umumnya siswa di perkotaan sudah terbiasa menggunakan berbagai perangkat berteknologi, seperti telepon genggam, komputer dan laptop.
Kesenjangan teknologi juga terkait dengan generation gap. Pelajar yang sebagian besar merupakan generasi Z (generasi yang lahir di sekitar era 1990-an sampai akhir 2010-an) dan para guru yang berumur jauh lebih tua dari mereka, menjadikan gap teknologi ini nyata. Generasi Z adalah generasi yang hadir dan tumbuh dalam jaman dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, sehingga tidak mengherankan mereka sangat cepat belajar teknologi. Ketika terjadi transisi ke proses pembelajaran jarak jauh secara daring, generasi ini pun dengan mudah beradaptasi. Namun, dalam pembelajaran daring, kedua pihak yang terlibat di dalamnya idealnya memiliki literasi teknologi yang tidak jauh berbeda. Jika tenaga pendidik yang bertugas untuk membimbing mereka ini gagap teknologi, maka dapat dibayangkan bagaimana sulitnya mentransfer ilmu ke para murid dalam situasi belajar jarak jauh ini.
Isu ketidakmampuan mengikuti PJJ karena tidak mampu membeli pulsa dan paket internet pun menyeruak di tengah-tengah pelaksanaan PJJ. Beberapa kali kita mendengar, anak-anak sampai harus menunda menyetor tugas karena ketiadaan paket internet, tidak bisa ikut WhatsApp Group kelas karena paket internet yang jarang terisi, dan sebagainya. Bagi pelajar yang berasal dari keluarga tidak mampu, untuk makan saja masih berjuang, kini ditambah lagi untuk memenuhi kebutuhan pulsa atau paket internet. Susenas Maret 2019 kembali memperlihatkan bagaimana internet belum dinikmati secara merata oleh masyarakat Bali. Kelompok masyarakat kaya cenderung memiliki akses yang lebih besar. Pada kelompok 10 persen penduduk berpendapatan terendah (bisa dikatakan termiskin), baru 25,25 persen yang menggunakan internet. Berbeda jauh dengan kelompok 10 persen berpendapatan tertinggi. Pada kelompok penduduk terkaya ini, internet telah digunakan oleh 84,68 persen penduduk. Lebarnya kesenjangan ini, patut menjadi pertimbangan dalam memutuskan metode pembelajaran yang akan digunakan dalam tahun ajaran baru nanti. Kesenjangan yang ditunjukan oleh data tersebut bukan berarti bahwa proses pembelajaran daring tidak bisa dilakukan. Namun, perlu ada diversifikasi metode pembelajaran agar kesenjangan pendidikan tidak semakin melebar.
Sebenarnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak tinggal diam dengan pro kontra yang muncul di masyarakat. Kemendikbud telah meluncurkan program belajar di rumah bekerja sama dengan TVRI. Jangkauan TVRI yang luas dan tidak memerlukan biaya mahal sepertinya menjadi salah satu pertimbangannya. Di Bali sendiri, memang jangkauan TVRI sudah meluas, masyarakat Bali Utara yang sebelumnya mengalami kesulitan, sejak akhir tahun 2018 sudah dapat menikmati siaran TVRI. Langkah lain yang diambil oleh Kemendikbud adalah memberikan fleksibilitas penggunaan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) di tengah pandemi Covid-19 melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 19 Tahun 2020. Dalam salah satu pasal disebutkan bahwa dana BOS dapat digunakan untuk pembelian pulsa, paket data, dan/atau pendidikan daring berbayar bagi pendidik dalam rangka pelaksanaan pembelajaran dari rumah. Namun di lapangan, belum semua sekolah dapat menerapkan hal ini. Keterbatasan besaran BOS untuk alokasi penyediaan infrastrutur Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau bahkan tidak bisa dilakukan karena dana BOS sudah digunakan untuk keperluan lain pun menjadi salah satu alasannya.
Kemendikbud juga telah menjadwalkan bahwa tahun ajaran baru, TA 2020/2021 akan dimulai tanggal 13 Juli 2020. Pemerintah memutuskan akan membuka kembali sekolah-sekolah di kabupaten/kota zona hijau Covid-19. Mengutip dari laman https://covid19.go.id/ semua kabupaten/kota di Bali masih masuk zona risiko sedang dan tinggi Covid-19. Jika status ini tidak berubah, maka pelajar di Bali masih wajib mengikuti pembelajaran jarak jauh. Apa yang terjadi pada paruh waktu semester 2 tahun ajaran 2019/2020 seyogyanya menjadi referensi untuk tahun ajaran yang baru. Kemendikbud juga telah meluncurkan program merdeka dalam kegiatan belajar mengajar saat pandemi corona. Guru bisa memberikan variasi dan inovasi saat PJJ lantaran telah diberikan keleluasaan, serta kemungkinan ada penyederhanaan kurikulum yang disertai modulnya.
Kajian dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) – Indonesia, organisasi non profit yang menghasilkan penelitian kebijakan dan rekomendasi untuk Pemerintah Indonesia dapat dijadikan pijakan dalam menghadapi tahun ajaran baru. Kajian tersebut diantaranya merekomendasikan untuk melengkapi guru dengan keterampilan teknis dan non teknis untuk pembelajaran jarak jauh demi menjamin kesuksesan adopsi pembelajaran jarak jauh; melengkapi program TVRI dengan radio, seperti yang telah dilakukan daerah luar Bali serta negara lain seperti Argentina dan Fiji; serta membentuk gugus kerja di daerah yang dapat membantu sekolah-sekolah swasta murah yang berperan penting dalam menyediakan pendidikan kepada kalangan pra sejahtera yang memiliki sumber lebih sedikit dibandingkan sekolah negeri dan sekolah swasta yang lebih mapan.
Pandemi Covid-19 memang telah merubah pola dan kebiasaan dalam dunia pendidikan. Perubahan dalam bentuk pembelajaran jarak jauh memang masih akan menjadi pilihan utama di tengah kesenjangan yang ada. Namun diversifikasi PJJ yang tidak bergantung pada internet tetap diperlukan agar merdeka belajar dapat dicapai oleh semua siswa. Diharapkan kesenjangan yang ada, tidak semakin memperlebar capaian pendidikan antar pelajar dan antar wilayah di Bali dan Indonesia pada umumnya.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar