Pembuat Lengis Tanusan Terus Berkurang
Pembuat lengis tanusan (minyak kelapa diolah secara tradisional) di Banjar Munduk Pakel, Desa Gadung Sari, Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan terus berkurang.
TABANAN, NusaBali
Penyebabnya, mereka kesulitan memasarkan hasil produksinya. Sehingga mereka pun pilih jual kepala langsung ke pembeli.
Salah seorang warga Banjar Munduk Pakel, Ni Ketut Srinadi, 40, masih bertahan membuat lengis tanusan meski terkendala pemasaran. Ia menduga jumlah pembuat lengis tanusan terus berkurang karena proses pembuatannya yang rumit. Ia masih bertahan membuat lengis tanusan karena memerlukan ampas untuk pakan babi. Setiap hari, ia mengupas kelapa sebanyak 10 butir. Dari 10 butir itu mendapatkan minyak kelapa sebanyak dua botol minuman tanggung (600 ml). Minyak kelapa itu kemudian ia jual ke langganan. “Saya kalah di tenaga kalau buat banyak,” ungkapnya, Minggu (26/9).
Minyak kelapa satu botol ukuran tanggung dijual Rp 15.000. Sementara harga kelapa Rp 3.000 per butir. “Kalau ditinggikan lagi harganya pelanggan tak mau beli,” tutur Srinadi. Dikatakan, ia membuat lengis tanusan selama 3 jam mulai dari mengupas kelapa, mencari daging kelapa, parut, hingga menggoreng. Proses yang paling sulit ia rasakan saat ngengesang (mengupas) kelapa. Akibat pekerjaan yang rumit, banyak yang meninggalkan pekerjaan nanusin ini. “Hanya ada dua orang yang menekuni produksi minyak kelapa ini,” imbuhnya.
Perbekel Desa Gadung Sari, I Wayan Sukadana Cepaka membenarkan minyak kelapa sulit dipasarkan. Pihaknya sudah membuat kelompok membuat minyak kelapa agar Desa Gadung Sari mempunyai ciri khas, namun terkendala pemasaran. “Kalau dibawa ke pasar maupun ke pelanggan pasti laku, cuma lama perputarannya,” ungkap Sukanada. Mengingat lengis tanusan tanpa pengawet, maka tak bertahan dalam waktu lama.
Sukanada berharap pasar segera terbuka dengan adanya BUMDes. Termasuk ada keinginan menjalin kerjasama dengan BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Universitas Udayana agar produk yang dihasilkan memiliki label serta pemasarannya lebih mudah. “Saat ini kami lagi menunggu pesanan mesin untuk pembuatan minyak kepala,” jelasnya. * cr61
Salah seorang warga Banjar Munduk Pakel, Ni Ketut Srinadi, 40, masih bertahan membuat lengis tanusan meski terkendala pemasaran. Ia menduga jumlah pembuat lengis tanusan terus berkurang karena proses pembuatannya yang rumit. Ia masih bertahan membuat lengis tanusan karena memerlukan ampas untuk pakan babi. Setiap hari, ia mengupas kelapa sebanyak 10 butir. Dari 10 butir itu mendapatkan minyak kelapa sebanyak dua botol minuman tanggung (600 ml). Minyak kelapa itu kemudian ia jual ke langganan. “Saya kalah di tenaga kalau buat banyak,” ungkapnya, Minggu (26/9).
Minyak kelapa satu botol ukuran tanggung dijual Rp 15.000. Sementara harga kelapa Rp 3.000 per butir. “Kalau ditinggikan lagi harganya pelanggan tak mau beli,” tutur Srinadi. Dikatakan, ia membuat lengis tanusan selama 3 jam mulai dari mengupas kelapa, mencari daging kelapa, parut, hingga menggoreng. Proses yang paling sulit ia rasakan saat ngengesang (mengupas) kelapa. Akibat pekerjaan yang rumit, banyak yang meninggalkan pekerjaan nanusin ini. “Hanya ada dua orang yang menekuni produksi minyak kelapa ini,” imbuhnya.
Perbekel Desa Gadung Sari, I Wayan Sukadana Cepaka membenarkan minyak kelapa sulit dipasarkan. Pihaknya sudah membuat kelompok membuat minyak kelapa agar Desa Gadung Sari mempunyai ciri khas, namun terkendala pemasaran. “Kalau dibawa ke pasar maupun ke pelanggan pasti laku, cuma lama perputarannya,” ungkap Sukanada. Mengingat lengis tanusan tanpa pengawet, maka tak bertahan dalam waktu lama.
Sukanada berharap pasar segera terbuka dengan adanya BUMDes. Termasuk ada keinginan menjalin kerjasama dengan BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Universitas Udayana agar produk yang dihasilkan memiliki label serta pemasarannya lebih mudah. “Saat ini kami lagi menunggu pesanan mesin untuk pembuatan minyak kepala,” jelasnya. * cr61
Komentar