Ketangguhan Desa Menghindari Jurang Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu indikator utama dalam menjelaskan capaian tingkat kesejahteraan. Menurut pendekatan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan menggambarkan perkembangan kondisi kaum “terbawah” dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.
Penulis : Ketut Ksama Putra
Statistisi Pertama BPS Provinsi Bali
Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Udayana
Pada tanggal 15 Juli 2020, Badan Pusat Statistik Provinsi Bali secara resmi merilis tingkat kemiskinan periode Maret 2020 sebesar 3,78 persen. Capaian tersebut lebih tinggi 0,17 persen dibandingkan dengan kemiskinan periode pengukuran September 2019 yang tercatat 3,61 persen. Dari sisi jumlah, penduduk miskin di Provinsi Bali diperkirakan bertambah sekitar 9,3 ribu orang. Dari kisaran 100,38 ribu orang pada september 2019 menjadi 165,19 ribu orang pada maret 2020. Secara umum, perkembangan kemiskinan Bali menunjukkan ke arah yang tidak lebih baik.
Mengutip dari laman BPS, pengukuran kemiskinan menggunakan konsep pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Pengukuran kemiskinan BPS dilakukan secara makro dengan menggunakan threshold garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Garis kemiskinan Bali pada periode Maret 2020 tercatat sebesar Rp. 429.834,00 dan sebagian besar dipengaruhi oleh pengeluaran makanan. Tercatat 69,55 persen komponen makanan mendominasi garis kemiskinan sedangkan komponen non makanan berkontribusi 30,45 persen. Dengan demikian terlihat bahwa penduduk miskin masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan dasar makanan dibandingkan non makanan. Fenomena ini menjadi indikasi bahwa untuk menarik mereka keluar dari garis kemiskinan dapat diupayakan dengan memberikan keringanan pada pemenuhan kebutuhan dasar makanan baik berupa sembako dan bahan makanan lainnya. Selama ini durasi dan jumlah program bantuan social mungkin belum terlalu signifikan berpengaruh. Bayangkan saja dari dari BLT Desa mereka hanya memperoleh 600.000,00 untuk 1 keluarga sedangkan minimum pengeluaran mereka adalah 429.834 rupiah per orang selama sebulan. Baik dari segi makanan maupun non-makanan, seluruhnya mengalami peningkatan dibandingkan dengan komponen sejenis dalam garis kemiskinan september 2019. Besaran peningkatan masing-masing tercatat sebesar 4,56 persen dan 3,07 persen.
Menurut kewilayahan, kemiskinan bisa dilihat dari sisi perkotaan dan perdesaan. Maret 2020, persentase penduduk miskin perkotaan tercatat 3,33 persen. Besaran tersebut lebih rendah jika dibanding persentase penduduk miskin perdesaan yang tercatat sebesar 4,78 persen. Namun jika dilihat dari keterbandingan dengan September 2019, rapor kemiskinan di wilayah perdesaan terbilang lebih baik dibandingkan dengan perkotaan. Angka kemiskinan perdesaan mengalami penurunan sebaliknya angka kemiskinan perkotaan mengalami peningkatan. Persentase kemiskinan perkotaan dan perdesaan september 2019 masing-masing tercatat 3,04 persen dan 4,86 persen.
Hal yang perlu ditekankan dan disadari pada rilis kemiskinan terbaru ini adalah catatan periode waktunya. Indikator kemiskinan yang dirilis pada bulan Maret 2020 nampaknya belum begitu merasakan dampak guncangan pandemi COVID-19. Berdasarkan Surat Edaran Gubernur Bali nomor 7194 tahun 2020, Gubernur Bali menetapkan status darurat bencana pada pertengahan bulan maret. Dampak parah mulai terasa pada akhir maret yang ketika itu banyak hotel dan sarana pariwisata ditutup. Merujuk ke rilis BPS Provinsi Bali lainnya, laporan ekonomi Bali pada kuartal pertama tahun 2020 juga menunjukkan hasil yang kurang baik. Pertumbuhan perekonomian tercatat tumbuh negati, yaitu -1,14 persen secara year on year. Gejala penurunan perekonomian rasanya juga masih terus berlanjut. Pariwisata sebagai motor pengerak utama perekonomian bali masih berada dalam titik nadir yang “kurang baik”. Kunjungan wisatawan mancanegara pada Mei 2020 mencapai kunjungan yang sangat rendah, hanya 36 kunjungan. Catatan tersebut lebih rendah dibandingkan kondisi krisis 98, bom bali I dan II serta saat bencana erupsi gunung agung terjadi. Selain itu, hasil Survei Sosial Demograi Dampak COVID-19 BPS RI mengatakan bahwa 70,53 persen responden dalam kelompok berpendapatan rendah (kurang atau sama dengan 1,8 juta sebulan) mengalami kondisi penurunan pendapatan. Semua indikator tersebut merujuk dan memprediksikan bahwa kemiskinan Bali sedang menuju arah yang memburuk.
Meski kesejahteraan masyarakat pada kondisi saat ini dirasakan masih kurang baik, hal menarik yang perlu dilihat adalah keberhasilan penurunan angka kemiskinan tingkat perdesaan. Tidak hanya pada periode september 2019-maret 2020, ternyata kemiskinan perdesaan selalu mengalami penurunan semenjak tahun 2017. Peran BUMDes dan BLT desa diperkirakan mampu menjadi salah satu penyangga finansial bagi kelompok penduduk miskin perdesaan. BUMDes yang merupakan lembaga kewirausahaan milik desa memiliki peran lansung terhadap perekonomian lokal. Beberapa BUMDes di Bali terbilang sukses dalam pengelolaannya sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Sebagai contoh Bumdes Desa kutuh Badung yang bisa meraih omset milyaran rupiah dan menjadi desa percontohan Nasional pada tahun 2018. Bumdes di Tabanan yang mampu memasarkan produk kopi sampai ke 395 toko modern, serta beberapa bumdes di Buleleng (Bumdes Tajun dan Bumdes Tunjung) yang juga memiliki omset milyaran rupiah. Peran BLT-Desa juga memegang penting bagi penduduk desa yang kurang mampu untuk mencukupi kebutuhan dasarnya. Bersumber dari dana desa, administrasi BLT Desa sebagian besarnya berkutat pada pemerintahan desa sehingga dengan lingkungan yang lebih kecil proses penyaluran menjadi lebih cepat. Selain itu, anggaran dana desa juga selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Terakhir, total dana desa yang disalurkan untuk Bali pada 2020 meningkat 4,38 persen menjadi Rp657,8 miliar dari periode tahun sebelumnya Rp630,19 miliar. Apalagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2019 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID 19, Dana Desa semakin diutamakan peruntukannya untuk BLT Desa.
Dalam kondisi yang semakin tidak menentu akibat pandemi ini, peran pemerintah desa semakin diperlukan. Peran BUMDes dalam membangkitkan jiwa kewirausahaan penduduk desa juga dirasa semakin penting. BLT Desa sebagai sentuhan lansung bagi penduduk miskin juga dirasa semakin vital kegunaannya. Selain itu, kebijakan Gubernur Bali terkait pembentukan satgas gotong royong berbasis desa adat juga dirasa tepat. Dalam lingkup lebih kecil, protokol kesehatan dalam mencegah penularan COVID-19 menjadi lebih terkontrol. Dengan kondisi kesehatan yang lebih terjamin, kegiatan perekonomian masih bisa berlanjut dalam kondisi pandemi. Selain itu, kesemua potensi desa di bali sekiranya masih mampu menghindari jurang kemiskinan yang lebih dalam. Niscaya Desa Bangkit!
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar