Empowering Pendidikan untuk Melawan Kemiskinan
Kenaikan tingkat kemiskinan pada Maret 2020 secara umum di Indonesia baik skala jumlah dan persentase, rupanya tak luput dari dampak luar biasa yang dihadirkan oleh pandemi Covid-19.
Penulis : Suprapto, S.Si., M.Si
ASN, Statistisi Muda di BPS Kabupaten Jembrana
Rilis data profil kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik terbaru pada tanggal 15 Juli 2020 yang merupakan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan pada bulan maret 2020 menginformasikan fenomena atas fakta tersebut. Naiknya tingkat kemiskinan akibat dampak pandemi Covid-19 pada pendataan tersebut sudah dapat terpotret, meskipun dalam telisik diketahui bahwa awal Maret 2020, baru merupakan waktu dimana pemerintah secara resmi menetapkan pandemi Covid-19. Namun demikian, memang sektor pariwisata dan pendukungnya sudah mulai terdampak sejak bulan Februari 2020. Penanganan problematika naiknya tingkat kemiskinan yang berefek langsung di tengah masyarakat pada umumnya menyasar pada upaya perbaikan upah buruh, nilai tukar petani (NTP), inflasi secara umum yang menyangkut daya beli masyarakat, kendali harga-harga komoditas pokok, dan yang aplikatif segera adalah tersedianya bantuan pangan. Sisi lain yang fundamental meskipun tidak instan dalam perwujudannya, dan bisa menjadi kekuatan dan ketahanan masyarakat secara implisit manakala ancaman kemiskinan datang menghadang adalah pendidikan masyarakat. Seberapa kuat masyarakat berpendidikan tinggi akan mampu terhindar dari ancaman kemiskinan? Jika hal ini menjadi esensi dari pokok permasalahan, maka pendidikan tentunya harus menjadi perhatian di tengah masyarakat agar kemiskinan tidak diwariskan secara turun temurun.
Dampak pandemi Covid-19 telah menghadirkan perubahan atas perilaku, aktivitas ekonomi, dan pendapatan penduduk yang pada saat ini berujung pada munculnya tambahan orang miskin baru. Berdasarkan rilis data dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami kenaikan dari 9,22 persen pada September 2019 menjadi 9,78 persen pada Maret 2020. Persentase penduduk miskin Maret 2020 ini setara dengan 26,42 juta penduduk miskin.Jika dibandingkan dengan penduduk miskin September 2019, naik sebesar 1,63 juta penduduk, sedangkan jika dibandingkan dengan penduduk miskin Maret 2019, naik sebesar 1,28 juta penduduk. Kenaikan kemiskinan ini juga terjadi di Provinsi Bali oleh karena sektor pariwisata yang menjadi andalan berikut pendukungnya seperti hotel, penginapan, rumah makan, pengrajin kriya, transportasi, dan sebagainya terdampak hebat karena pandemi Covid-19. Tercatat persentase penduduk miskin di Bali pada Maret 2020 sebesar 3,78 persen, naik 0,17 persen dibandingkan dengan posisi September 2019. Persentase penduduk miskin di Bali pada bulan Maret 2020 setara dengan 165,19 ribu penduduk atau bertambah sekitar 8,3 ribu penduduk dibandingkan jumlah penduduk miskin pada September 2019.
Pendidikan sangat krusial bagi tiap individu dan semestinya menjadi individu yang berpendidikan terwariskan dari generasi ke generasi sebagai investasi dalam memasuki dunia kerja dan perekonomian global yang semakin dinamis dari masa ke masa. Betapa tidak demikian, karena rendahnya kualitas pendidikan akan menyebabkan seseorang hanya mampu mengakses lapangan kerja dengan produktivitas dan upah (pendapatan) yang rendah sehingga kemampuan untuk meningkatkan standar hidup menjadi terhambat dan kecenderungan menjadi miskin meningkat. Menurut Jeffrey Sachs di dalam bukunya The End of Poverty, salah satu mekanisme dalam penuntasan kemiskinan ialah pengembangan human capital terutama pendidikan dan kesehatan (Sachs,2005). Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah pula mengemukakan bahwa hakikat pendidikan adalah sebagai usaha orang tua bagi anak-anaknya untuk menyokong kemajuan hidupnya, dalam arti memperbaiki tumbuhnya kekuatan ruhani dan jasmani yang ada pada anak-anaknya (Darmaningtyas,1999).
Dalam publikasi BPS, Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2019, yang bersumber pada hasil pendataan Susenas Maret 2019, menyebutkan bahwa tingkat pendidikan kepala rumah tangga miskin lebih rendah dibanding rumah tangga tidak miskin. Secara umum, fenomena ini serupa baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan persentase rumah tangga miskin di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Dilihat dari pendidikan kepala rumah tangga miskin di Indonesia, tercatat 36,92 persen tidak tamat SD; 36,62 persen tamat SD sederajat, 14,19 persen tamat SMP sederajat; 11,12 persen tamat SMA sederajat; dan hanya 1,15 persen tamat PT yang tergolong sebagai rumah tangga miskin. Dengan gambaran ini, upaya mendorong masyarakat agar meningkatkan pendidikan yang ditempuh ditambah kualitas pendidikan yang baik harus selalu digaungkan. Dengan pendidikan yang baik, setiap orang memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan, mempunyai pilihan untuk mendapat pekerjaan, ataupun mampu menjadi lebih produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Fakta lain yang perlu disadari bahwa karakteristik penduduk hampir miskin mayoritas bekerja di sektor informal yang rentan jatuh dan berkubang dalam kemiskinan. Sementara itu, untuk masuk dan bekerja di sektor formal yang mampu mengakses lapangan kerja dengan produktivitas dan upah (pendapatan) yang tinggi pada umumnya dibutuhkan pendidikan yang lebih tinggi. Perlu diyakini bahwa pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan untuk kemudian meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam perspektif kehidupan bernegara, negara mempunyai kewajiban untuk menyediakan layanan pendidikan bagi setiap warganya, setidaknya untuk jenjang pendidikan dasar. Dari 30 macam hak asasi manusia yang dicetuskan pada Deklarasi Universal HAM PBB 1948, salah satunya menyebutkan bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia yang wajib dipenuhi oleh setiap negara, tak terkecuali anak yang berkebutuhan khusus. Karena itu penyediaan akses pada pendidikan, khususnya pendidikan dasar sudah harus menjadi komitmen semua negara. Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang selama ini tidak bisa sekolah atau drop out karena berbagai alasan. Pemerintah Indonesia senantiasa menggulirkan berbagai program pendidikan guna menghadapi permasalahan ini sebagaimana dilansir dari laporan program bantuan pemerintah untuk individu, keluarga, dan kelompok tidak mampu menuju bantuan sosial terintegrasi oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Jenis program yang pemerintah gulirkan di bidang pendidikan diantaranya yaitu Program Indonesia Pintar (PIP), Program Beasiswa Pendidikan Bagi Masyarakat Miskin (Bidikmisi), Program Pendidikan Kecakapan Kerja Unggulan (PKKU), Program Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW), dan Program Pendidikan Kecakapan Wirausaha Unggulan (PKWU). Implementasi penerapan lapangan berbagai program tersebut yang tepat sasaran oleh pihak pelaksana yang bertanggung jawab, dalam hal ini seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan perpanjangannya di daerah menjadi kunci terwujudnya pemerataan pendidikan. Informasi berbagai program tersebut penting untuk dapat terinformasikan hingga masyarakat terbawah sehingga masyarakat tidak khawatir dan gamang untuk memutuskan anaknya agar sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Perlu disadari pula bahwa, di tengah penerapan tata kehidupan yang baru di masa pandemi Covid-19, guna mengerek pertumbuhan ekonomi, harus ditopang dan diperlukan pula tenaga kerja terdidik, yang punya pengetahuan dan keterampilan, serta menguasai teknologi untuk meningkatkan produktivitas. Untuk hal ini, negara harus benar-benar mampu menyediakan layanan pendidikan kepada setiap warganya secara merata dan adil. Jika tidak, bangsa Indonesia akan mengalami keterbelakangan yang membuat kehidupan masyarakat makin jauh dari sejahtera.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Komentar