Terbuat dari Akar Kayu Majegau Diyakini Bisa Menetralisir Berbagai Masalah
Keris Pasupati Pangenteg Jagat Luk 21 Muncul di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng
Ketika ada orang yang nunas tamba atau memohon kelancaran rejeki dan karir akan diberikan sarana menyan majegau dan sepit semprong yang dapat dibakar dalam wadah di dalam rumah.
SINGARAJA, NusaBali
Tiga buah keris sakral dan unik menjalani ritual pasupati di Pura Penyarikan, Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng bertepatan dengan Rahina Tumpek Landep yang jatuh pada Saniscara Kliwon Landep, Sabtu (18/7) pagi. Benda keramat yang kini distanakan di Pasraman Pasir Ukir, Desa Pedawa ini juga sangat unik karena terbuat dari kayu dan akar majegau.
Ketiga benda keramat itu berukuran berbeda-beda. Mulai dari yang kecil dengan luk (liuk,red) 3 memiliki panjang sekitar 25 centimeter dan lebar lima centimeter. Keris kedua yang lebih besar memiliki jumlah luk 5 dengan panjang sekitar 40 centimeter dan lebar 5 centimeter. Sedangkan yang paling spesial adalah keris ketiga dengan ukuran paling besar dan panjang sekitar 1 meter dan lebar 20 centimeter.
Kemunculan keris keramat dan unik di desa Baliaga ini tidak terlepas dari keberadaan Jro Tapakan I Kadek Satria. Dia yang juga dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar ini sebelumnya memang ngiringang Ida Bhatara Sakti Wawu Rauh. Pria asal Banjar Dinas Bangkiang Sidem, Desa Pedawa ini mulai menekuni dunia spiritual sejak tahun 2014 silam. Hingga akhirnya dia mendirikan Pasraman Pasir Ukir di desa kelahirannya sebagai tempat generasi muda menambah wawasan keagamaan.
Nah, bertepatan dengan Hari Raya Siwaratri pada Januari 2020 lalu, anak keenam dari delapan bersaudara pasangan I Nyoman Resek dengan Ni Nengah Dendi ini melakukan pemujaan di hadapan sesuhunannya. Saat itulah salah satu Permas (sebutan pamangku di Desa Pedawa, red) kerauhan.
“Saat itu dalam bawos Ida di pasraman ini harus dibuatkan palinggih Pasupati yang langsung diupacarai saat Tumpek Landep dan dipasupati di Palinggih Bukit Anyar di Pura Penyarikan,” ujar Jro Tapakan I Kadek Satria saat ditemui di pasramannya di Banjar Dinas Bangkiang Sidem, Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Sabtu kemarin.
Saat mendapatkan bawos Ida Sanghyang Pasupati dia dan krama pasramannya juga mendapatkan petunjuk palinggih yang dimaksudkan berupa keris luk selikur (21) berbahan kayu majegau. Jika sudah jadi dan dipasupati dalam bawos itu keris luk 21 ini dinyatakan sebagai salah satu benda sakral pangenteg jagat Gunung Sari (sebutan baliaga dahulu, red) jagat Denbukit (Buleleng), pangenteg Bali dan Nusantara.
Jro Tapakan Satria saat menerima bawos itu pun sempat bingung, karena dalam ilmu agama yang dipahaminya bawos itu tak dapat diterjemahkan. Namun karena memiliki keyakinan kepada ida sesuhunannya saat dikaitkan dengan situasi grubug (Covid-19) saat ini sehingga pria kelahiran tahun 1987 itu menyanggupi akan merealisasikan bawos tersebut.
Bahan utama keris dari kayu majegau pun mulai dibeli oleh I Kadek Satria di berbagai tempat sejak bulan Mei-Juli lalu. Dia pun mendapatkan kayu yang akan dipakai dari petunjuk niskala sungsungannya. Bahan utama keris dari kayu majegau yang tak banyak digunakan dalam pembuatan keris pada umumnya, kembali ditelisik olehnya baik melalui filsafat ilmu agama maupun secara kimia.
“Saya sempat komunikasi denga teman yang ahli kimia, ternyata asap majegau itu disebut memiliki antioksidan yang sangat tinggi dan bisa membunuh bakteri dan virus secara sekala. Secara niskala panyapuh (pembakaran) menyan majegau pertemuan tri datu, Brahma dari api, Wisnu dari kayunya dan Iswara dari asapnya,” jelas dia.
Kombinasi analisa yang kemudian membuatnya menjadi masuk akal, sehingga dilakukan perburuan bahan baku majegau. Bahan keris pertama didapat dari petunjuk mengambil sebuah bongkahan kayu di tepi sungai sekitar sasih Jhiesta awal Mei 2020 lalu. Jro Tapakan Satria meminta seseorang membantunya mengambil bahan baku keris luk 3 dan luk 5 itu. Namun prosesnya cukup ajaib, saat pertama kali dibawa sekupak bongkahannya memnag tidak Nampak kayu majegau. Namun saat dikonfirmasi kembali kepada sesuhunannya di pasraman mendadak bongkahan kayu itu berubah menjadi bongkahan kayu majegau berwarna kemerahan.
Kemudian bahan baku keris luk 21, didapatkan juga dari petunjuk niskala. Pria yang bergelar SAg dan MPdH ini membeli sebuah kau majegau di wilayah Desa Sidetapa yang juga masuk dalam kawasan Desa Baliaga di Buleleng. Pohon majegau itu juga didapatkan sekitar bulan Juni lalu. Pohon majegau yang sudah berusia 46 tahun itu kemudian digunakan seluruhnya dari daun, ranting, dahan, batang hingga akar.
Pria 33 tahun ini pun kembali menemukan keanehan pada bentuk akar pohon majegau yang kemudian diputuskan menjadi bahan keris luk 21. Pembuatan keris yang mengharuskan sesuai dengan pawisik bawos sebelumnya, mulai dikerjakan oleh seorang tukang ukir asal Desa Pedawa yang dicari dari keturunan penyarikan desa (pamangku desa) yang bernama I Cubit.
Menurut penuturan Jro Tapakan Satria, awalnya Cubit tak mau mengerjakan keris sakral itu karena dia belum pernah mengerjakan ukiran keris. Namun setelah dimohonkan ke sesuhunan, tak berselang lama Cubit langsung bersedia. Tiga keris sakral itu pun hanya dikerjakan selama tiga hari-tiga malam. “Hari pertama mengerjakan habis bekerja tangannya tak bisa digerakkan. Kemudian esok harinya dikira sudah tidak bisa melanjutkan lagi, namun setelah dimintakan tirta kembali normal. Ketiga keris itu langsung jadi 3 hari saja, dari tanggal 10-12 Juli lalu.
Dalam badan keris luk 21 itu pun juga diisikan ukiran berupa barong dan kerep polos lambang Purusa dan Pradana (laki-perempuan) dan juga ukiran karakter Tualen yang dalam kepercayaan Bali Aga disebut dengan nama Dewa Bagus Manik Dalang sebagai penyudamala, penyapsap (memebersihkan penyakit), penyerut (membersihkan), penyudra (menyucikan) dan penyangling (menyucikan lebih suci).
Setelah dipasupati, tiga keris perlambangan Brahma (luk 3) wisnu (luk 3) dan Iswara (luk 21) difungsikan berbeda. Luk 3 dipakai untuk pengobatan berbagai macam penyakit, keris luk 5 sebagai lambang kesuburan dipakai untuk menyelesaikan masalah krama yang sedang kesusahan menata karir dan rejeki, serta Luk 21, merupakan senjata terakhir yang dikeluarkan jika dalam pengobatan atau penanganan tidak mempan menggunakan dua keris yang lebih kecil.
Jiwa spiritual Jro Tapakan Satria yang datang secara tiba-tiba pun sudah menjembatani banyak orang yang sakit dan kesusahan yang dimintakan berkah pada sungsungannya.
Dalam hal ini ketika ada orang yang nunas tamba atau memohon kelancaran rejeki dan karir akan diberikan sarana menyan majegau dan sepit semprong yang dapat dibakar dalam wadah di dalam rumah. Asap dari bakaran menyan majegau ini pun atas anugrah sesuhunan Sang Hyang Pasupati dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan kesusahan lainnya.
Terkait keberadaan keris luk 21 yang paling dikeramatkan, selain menyelesaikan berbagai masalah niskala, juga memiliki filosofi agama yang sangat dalam. Luk 21 dalam ilmu perkerisan menurut Jro Tapakan Satria merupakan luk keris tertinggi dengan konsep menyatukan tiga alam. Sapta Patala (tujuh lapisan alam bawah), Sapta Loka (tujuh lapisan alam atas) dan Sapta Cakra (tujuh bagian dalam tubuh manusia yang memiliki energi), untuk penyeimbang alam beserta isinya (pangenteg jagat).
“Harapan saya sudah dipasupati hari kedepanya bisa memberikan peneduh dan kebermanfaatan pada masyarakat,” ucap Jro Satria. Dia pun mengaku masih menunggu petunjuk ida sesuhunannya terkait upaya apa yang dapat dilakukan untuk membantu menuntaskan kebrebehan gumi dari Covid-19 saat ini dengan menggunakan keris luk 21 sungsungannya. *k23
Tiga buah keris sakral dan unik menjalani ritual pasupati di Pura Penyarikan, Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng bertepatan dengan Rahina Tumpek Landep yang jatuh pada Saniscara Kliwon Landep, Sabtu (18/7) pagi. Benda keramat yang kini distanakan di Pasraman Pasir Ukir, Desa Pedawa ini juga sangat unik karena terbuat dari kayu dan akar majegau.
Ketiga benda keramat itu berukuran berbeda-beda. Mulai dari yang kecil dengan luk (liuk,red) 3 memiliki panjang sekitar 25 centimeter dan lebar lima centimeter. Keris kedua yang lebih besar memiliki jumlah luk 5 dengan panjang sekitar 40 centimeter dan lebar 5 centimeter. Sedangkan yang paling spesial adalah keris ketiga dengan ukuran paling besar dan panjang sekitar 1 meter dan lebar 20 centimeter.
Kemunculan keris keramat dan unik di desa Baliaga ini tidak terlepas dari keberadaan Jro Tapakan I Kadek Satria. Dia yang juga dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar ini sebelumnya memang ngiringang Ida Bhatara Sakti Wawu Rauh. Pria asal Banjar Dinas Bangkiang Sidem, Desa Pedawa ini mulai menekuni dunia spiritual sejak tahun 2014 silam. Hingga akhirnya dia mendirikan Pasraman Pasir Ukir di desa kelahirannya sebagai tempat generasi muda menambah wawasan keagamaan.
Nah, bertepatan dengan Hari Raya Siwaratri pada Januari 2020 lalu, anak keenam dari delapan bersaudara pasangan I Nyoman Resek dengan Ni Nengah Dendi ini melakukan pemujaan di hadapan sesuhunannya. Saat itulah salah satu Permas (sebutan pamangku di Desa Pedawa, red) kerauhan.
“Saat itu dalam bawos Ida di pasraman ini harus dibuatkan palinggih Pasupati yang langsung diupacarai saat Tumpek Landep dan dipasupati di Palinggih Bukit Anyar di Pura Penyarikan,” ujar Jro Tapakan I Kadek Satria saat ditemui di pasramannya di Banjar Dinas Bangkiang Sidem, Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Sabtu kemarin.
Saat mendapatkan bawos Ida Sanghyang Pasupati dia dan krama pasramannya juga mendapatkan petunjuk palinggih yang dimaksudkan berupa keris luk selikur (21) berbahan kayu majegau. Jika sudah jadi dan dipasupati dalam bawos itu keris luk 21 ini dinyatakan sebagai salah satu benda sakral pangenteg jagat Gunung Sari (sebutan baliaga dahulu, red) jagat Denbukit (Buleleng), pangenteg Bali dan Nusantara.
Jro Tapakan Satria saat menerima bawos itu pun sempat bingung, karena dalam ilmu agama yang dipahaminya bawos itu tak dapat diterjemahkan. Namun karena memiliki keyakinan kepada ida sesuhunannya saat dikaitkan dengan situasi grubug (Covid-19) saat ini sehingga pria kelahiran tahun 1987 itu menyanggupi akan merealisasikan bawos tersebut.
Bahan utama keris dari kayu majegau pun mulai dibeli oleh I Kadek Satria di berbagai tempat sejak bulan Mei-Juli lalu. Dia pun mendapatkan kayu yang akan dipakai dari petunjuk niskala sungsungannya. Bahan utama keris dari kayu majegau yang tak banyak digunakan dalam pembuatan keris pada umumnya, kembali ditelisik olehnya baik melalui filsafat ilmu agama maupun secara kimia.
“Saya sempat komunikasi denga teman yang ahli kimia, ternyata asap majegau itu disebut memiliki antioksidan yang sangat tinggi dan bisa membunuh bakteri dan virus secara sekala. Secara niskala panyapuh (pembakaran) menyan majegau pertemuan tri datu, Brahma dari api, Wisnu dari kayunya dan Iswara dari asapnya,” jelas dia.
Kombinasi analisa yang kemudian membuatnya menjadi masuk akal, sehingga dilakukan perburuan bahan baku majegau. Bahan keris pertama didapat dari petunjuk mengambil sebuah bongkahan kayu di tepi sungai sekitar sasih Jhiesta awal Mei 2020 lalu. Jro Tapakan Satria meminta seseorang membantunya mengambil bahan baku keris luk 3 dan luk 5 itu. Namun prosesnya cukup ajaib, saat pertama kali dibawa sekupak bongkahannya memnag tidak Nampak kayu majegau. Namun saat dikonfirmasi kembali kepada sesuhunannya di pasraman mendadak bongkahan kayu itu berubah menjadi bongkahan kayu majegau berwarna kemerahan.
Kemudian bahan baku keris luk 21, didapatkan juga dari petunjuk niskala. Pria yang bergelar SAg dan MPdH ini membeli sebuah kau majegau di wilayah Desa Sidetapa yang juga masuk dalam kawasan Desa Baliaga di Buleleng. Pohon majegau itu juga didapatkan sekitar bulan Juni lalu. Pohon majegau yang sudah berusia 46 tahun itu kemudian digunakan seluruhnya dari daun, ranting, dahan, batang hingga akar.
Pria 33 tahun ini pun kembali menemukan keanehan pada bentuk akar pohon majegau yang kemudian diputuskan menjadi bahan keris luk 21. Pembuatan keris yang mengharuskan sesuai dengan pawisik bawos sebelumnya, mulai dikerjakan oleh seorang tukang ukir asal Desa Pedawa yang dicari dari keturunan penyarikan desa (pamangku desa) yang bernama I Cubit.
Menurut penuturan Jro Tapakan Satria, awalnya Cubit tak mau mengerjakan keris sakral itu karena dia belum pernah mengerjakan ukiran keris. Namun setelah dimohonkan ke sesuhunan, tak berselang lama Cubit langsung bersedia. Tiga keris sakral itu pun hanya dikerjakan selama tiga hari-tiga malam. “Hari pertama mengerjakan habis bekerja tangannya tak bisa digerakkan. Kemudian esok harinya dikira sudah tidak bisa melanjutkan lagi, namun setelah dimintakan tirta kembali normal. Ketiga keris itu langsung jadi 3 hari saja, dari tanggal 10-12 Juli lalu.
Dalam badan keris luk 21 itu pun juga diisikan ukiran berupa barong dan kerep polos lambang Purusa dan Pradana (laki-perempuan) dan juga ukiran karakter Tualen yang dalam kepercayaan Bali Aga disebut dengan nama Dewa Bagus Manik Dalang sebagai penyudamala, penyapsap (memebersihkan penyakit), penyerut (membersihkan), penyudra (menyucikan) dan penyangling (menyucikan lebih suci).
Setelah dipasupati, tiga keris perlambangan Brahma (luk 3) wisnu (luk 3) dan Iswara (luk 21) difungsikan berbeda. Luk 3 dipakai untuk pengobatan berbagai macam penyakit, keris luk 5 sebagai lambang kesuburan dipakai untuk menyelesaikan masalah krama yang sedang kesusahan menata karir dan rejeki, serta Luk 21, merupakan senjata terakhir yang dikeluarkan jika dalam pengobatan atau penanganan tidak mempan menggunakan dua keris yang lebih kecil.
Jiwa spiritual Jro Tapakan Satria yang datang secara tiba-tiba pun sudah menjembatani banyak orang yang sakit dan kesusahan yang dimintakan berkah pada sungsungannya.
Dalam hal ini ketika ada orang yang nunas tamba atau memohon kelancaran rejeki dan karir akan diberikan sarana menyan majegau dan sepit semprong yang dapat dibakar dalam wadah di dalam rumah. Asap dari bakaran menyan majegau ini pun atas anugrah sesuhunan Sang Hyang Pasupati dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan kesusahan lainnya.
Terkait keberadaan keris luk 21 yang paling dikeramatkan, selain menyelesaikan berbagai masalah niskala, juga memiliki filosofi agama yang sangat dalam. Luk 21 dalam ilmu perkerisan menurut Jro Tapakan Satria merupakan luk keris tertinggi dengan konsep menyatukan tiga alam. Sapta Patala (tujuh lapisan alam bawah), Sapta Loka (tujuh lapisan alam atas) dan Sapta Cakra (tujuh bagian dalam tubuh manusia yang memiliki energi), untuk penyeimbang alam beserta isinya (pangenteg jagat).
“Harapan saya sudah dipasupati hari kedepanya bisa memberikan peneduh dan kebermanfaatan pada masyarakat,” ucap Jro Satria. Dia pun mengaku masih menunggu petunjuk ida sesuhunannya terkait upaya apa yang dapat dilakukan untuk membantu menuntaskan kebrebehan gumi dari Covid-19 saat ini dengan menggunakan keris luk 21 sungsungannya. *k23
1
Komentar