MUTIARA WEDA: Makna Alternatif Tumpek Landep
Sedengnging latri tan wenang anambut karya, meneng juga pwa ya, heningakna juga ikang adnyana malilian, umengetaken Sanghyang Dharma, mwang kawyadnyana sastra kabeh. (Sundarigama)
(Saat perayaan Tumpek Landep) malam hari hendaknya jangan melakukan kegiatan apapun, diam saja, mengheningkan pikiran, merenungkan Sang Hyang Dharma dan berbagai ajaran sastra.
SECARA tradisi, hari Raya Tumpek Landep dirayakan dengan menghaturkan sesajen yang ditujukan kehadapan Siva dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pasupati. Pada hari ini, semua perkakas seperti keris, tombak, peralatan pertanian, dan alat tajam lainnya dibersihkan dan dikumpulkan untuk diberikan sesajen. Dalam perkembangannya, pada hari Tumpek Landep ini, segala jenis peralatan yang terbuat dari metal juga seperti mobil, sepeda motor, mesin, dan alat sejenisnya dihaturkan sesajen dengan harapan Hyang Pasupati memberikan rahmat dan keselamatan. Sementara itu bagi mereka yang mengambil jalan Jnana, Hari Tumpek Landep dinyatakan sebagai simbol ketajaman pikiran. Mereka merayakan Tumpek Landep sebagai bentuk rasa syukur ke hadapan Hyang Pasupati atas ketajaman pikiran yang diberikan selama ini.
Namun jika menyimak teks di atas, sepertinya maksud perayaan Tumpek Landep tidak saja berhubungan dengan rasa syukur ke hadapan Hyang Pasupati atas tuah dari benda-benda tajam yang ada, baik perkakas yang terbuat dari bahan-bahan metal atau pikiran itu sendiri, namun ada maksud lain. Ada makna alternatif yang mungkin bisa disajikan, dan itu lebih mengarah langsung atas arti simbolik yang ada di dalam perayaan itu. Logikanya seperti ini: Mengapa mesti benda-benda tajam? Mengapa mesti pikiran yang tajam? Benda tajam memiliki dua sisi atau fungsi ganda yang saling bertentangan. Pertama, jika benar peruntukannya, benda-benda tersebut sangat berguna dalam kehidupan. Tetapi, jika tidak berada pada jalurnya, benda-benda itu justru membahayakan. Pisau yang tajam bisa digunakan untuk memotong sayur dan sejenisnya yang sangat membantu pekerjaan dapur, tetapi benda yang sama bisa digunakan untuk menikam orang. Pikiran yang tajam juga demikian, bisa membantu dan mempermudah kehidupan, tetapi bisa juga menghancurkan. Piki
ran yang tajam itu bisa membuat rencana cemerlang untuk kebermanfaatan dan sekaligus bisa untuk menghancurkan peradaban. Pikiran bisa menyatukan dan bisa juga memecah. Coba saja diperhatikan berbagai kekacauan yang terjadi di berbagai belahan dunia, bahwa itu dibuat oleh pikiran-pikiran yang tajam ini. Demikian juga kemajuan yang demikian pesat disebabkan pula olehnya.
Oleh karena itu, teks di atas secara simbolik menyiratkan bahwa perayaan Tumpek Landep adalah momentum untuk refleksi diri atas benda-benda yang tajam (baik perkakas maupun pikiran) yang pernah dipergunakan, apakah itu telah bermanfaat atau merugikan. Siang hari dilaksanakan untuk memuja Sang Hyang Pasupati sebagai wujud syukur karena kita telah memiliki ketajaman itu, sementara malamnya, melakukan refleksi dengan merenungkan Dharma dan Sang Hyang Sastra. Apa arti siang dan malam di sini? Ini menandakan dua aspek dari benda tajam itu, yakni aspek kebermanfaatan dan aspek berbahayanya. Sisi malam bisa berarti aspek gelapnya di mana benda tajam itu bisa digunakan untuk hal-hal negatif yang membahayakan, sehingga pada sisi inilah pentingnya merenungkan Dharma itu baik melalui perenungan mendalam maupun melalui ajaran yang tertuang di dalam sastra.
Rasanya, secara praktis, makna langsung dari Tumpek Landep, yakni, ‘hati-hati dengan benda tajam, baik peralatan tajam maupun pikiran tajam, sebab jika digunakan secara salah, benda itu bisa membahayakan’. Peralatan pertanian yang tajam hendaknya digunakan untuk bertani dan jangan sampai merusak (melukai) pertiwi. Pusaka yang dimiliki hendaknya digunakan untuk melindungi diri dan tidak digunakan untuk membahayakan kehidupan orang lain. Pikiran yang tajam diharapkan memiliki visi dan misi kemanusiaan yang jelas dan tidak mengandung rencana yang membahayakan umat manusia. Diharapkan tidak hanya berbangga saja memiliki benda dan pikiran yang tajam, melainkan yang lebih penting adalah kebijaksanaan. Pikiran yang tajam harus diikuti dengan kebijaksanaan, sebab jika tidak, ia bisa memotong apapun yang ada di depannya, apakah itu menguntungkan atau membahayakan. Hendaknya perayaan Tumpek Landep itu mampu menghadirkan Sang Hyang Pasupati itu sendiri pada benda maupun pikiran yang tajam, sehingga ketajamannya tersebut memiliki mata kebijaksanaan. *
I Gede Suwantana
Komentar