Kemiskinan Belajar dan Pendampingan
Tahun ajaran baru telah dimulai saat Covid-19 belum mereda. Anak usia dini, sekolah dasar, dan menengah menyesuaikan diri dengan perubahan. Perubahan terjadi pada kebiasan, lingkungan dan cara belajar.
Di masa normal, jalanan padat disesaki berbagai moda transportasi, pagi-siang-sore hari, saat ke dan pulang sekolah. Tidak jarang terjadi kemacetan! Kerumunan pengantarpun tidak terlihat, lengang dan sepi.
Rutinitas pembelajaran berubah pula. Sebelum Covid-19, kehadiran anak sudah dicek pada pukul 07.30 dan pembelajaran dimulai pukul 08.00. Saat ini, anak tidak menggendong tas punggung sarat dengan buku dan alat tulis. Semuanya diganti ‘gadget’, laptop atau handphone dengan kuota pulsa. Anak dan orangtua atau pengganti sibuk mendampingi pembelajaran.
Tidak ada hiruk pikuk yang terdengar, tidak ada canda interaktif antaranak. Tidak ada tekanan guru, hanya dorongan, omelan, atau bahkan, kekesalan orangtua atau pendamping. Anak kelihatan santai karena orangtua tidak/kurang ‘berwibawa atau ditakuti’. Ditengarai banyak orangtua atau pendamping tidak/belum siap mengganti peran guru!
Menurut hasil survei Bank Dunia, Indonesia belum siap menghadapi Revolusi Industri 2.0 apalagi 4.0! Ketidaksiapan itu disebabkan oleh kemiskinan dalam belajar (learning poverty). Artinya, anak tidak memiliki kebiasaan, motivasi, kemampuan membaca. Anak kurang paham dengan apa yang sedang dibaca. Dengan kata lain, literasi membaca anak relatif rendah. Ketika ditelusur pada orangtua atau pendampingnya, situasi dan kondisi demikian serupa. Kemiskinan belajar yang disertai kemiskinan pendampingan (guidance poverty) akan mendistorsi tujuan, proses, dan evaluasi hasil pembelajaran. Inilah rangkaian kemiskinan yang harus diwaspadai oleh ‘co-agent’, anak, orangtua, pemangku kepentingan lainnya.
Disrupsi teknologi akan berdampak pada pembelajaran. Seperti misalnya, penerapan otomatisasi, Artificial Intelligence, big data, konektivitas 5G yang memungkinkan teknologi saling terhubung, pencetakan 3 dimensi, dan realitas maya.
Pegeseran orientasi pada siswa-guru ke anak-orangtua-pendamping kurang menekankan kebutuhan anak dalam belajar mencari dan menemukan arah mereka sendiri. Anak tidak berupaya menemukan cara bermakna dan bertanggung jawab dalam belajar. Pembelajaran yang tidak dilengkapi dengan interaksi dan bimbingan dari teman sebaya, serta guru akan melahirkan kemiskinan belajar!
Orangtua atau pendamping tidak mustahil tidak bertumpu pada kompetensi inti. Orangtua belum tentu mampu mentransformasi melalui identifikasi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai dan kemampuan inti tersebut. Orangtua juga belum tentu mampu melakukan perubahan dari pembangunan pengetahuan menuju pembangunan keterampilan, sikap, nilai, dan kompetensi yang lebih luas.
Kemiskinan dapat merambah pada pembelajaran sebagai proses berulang. Artinya, pembelajaran di rumah tidak meningkatkan pemikiran dan sikap bertanggung jawab secara berkelanjutan.
Negara-negara di dunia telah mengadaptasi sistem pendidikan mereka untuk memenuhi kebutuhan perubahan agar dapat maju pada masa depan. Seperti misalnya, Australia membuat pendidikan anak usia dini makin mudah diakses dan inklusif. Kanada menyesuaikan pembelajaran dengan ketertarikan/kebutuhan siswa; melibatkan pembelajaran berbasis pengalaman melalui proyek masyarakat di samping meningkatkan perangkat digital. Singapura berfokus pada pembelajaran berbasis pengalaman, kursus khusus industri, perguruan tinggi otonomi, perangkat berbasis teknologi dan inovasi, pedagogi fleksibel. Dan, Finlandia menyusun kurikulum inti berdasarkan bekerja dan interaksi secara kolaboratif, aktivitas kreatif, pengalaman emosional positif, dengan guru sebagai pengajar aktif dan fasilitator pembelajaran.
Tantangan yang dihadapi orangtua di rumah, antara lain, menjadikan belajar di rumah sebagai kegiatan yang menyenangkan. Orangtua dapat memberikan pelayanan yang mendidik secara optimal. Infrastruktur pembelajaran tersedia di rumah dengan memadai dan mendukung pembelajaran. Manajemen pembelajaran di rumah terselenggara secara kolaboratif dan kompeten. Dan, orangtua sungguh terlibat dalam pendidikan dan pembelajaran anak. Semoga. *
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.
(Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)
Komentar