Dihantui Sanksi Adat, Krama Pejeng Tetap Tolak Sertifikasi Teba
GIANYAR, NusaBali
Polemik kasus tanah teba (pekarangen belakang,Red) yang disertifikatkan atas nama Desa Adat Jero Kuta Pejeng dan Desa Adat Penglan, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, masih bergulir.
Meski dihantui sanksi adat, puluhan krama tetap menolak pensertifikatan teba jadi PKD dan menginginkan teba bisa disertifikatkan menjadi hak milik.
Sekitar 10 perwakilan krama yang keberatan tanah teba dijadikan PKD itu inta petunjuk sekaligus mediasi ke Kantor Desa Pejeng, Senin (27/7). Awalnya krama dari Desa Adat Jero Kuta Pejeng dan Desa Adat Panglan datang bersamaan. Namun oleh Perbekel Tjokorda Gede Agung Kusuma Yuda, menerima pertama krama Desa Adat Jero Kuta Pejeng. Mediasi pukul 10.00 - 11.00 Wita. Perbekel Cok Kusuma Yuda mengakui proses pensertifikatan PKD di Desa Pejeng, sesuai program nasional. Sertifikat sudah selesai empat bulan lalu, sebelum wabah Covid-19. "Kemarin saya diundang oleh Kantor Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Gianyar. Intinya, 570 sertifikat sudah jadi dan siap dibagikan. Tapi bagi yang keberatan, didiamkan. Kami juga sedang membuat laporan ke Gubernur Basli terkait kasus ini agar dapat penjelasan," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Perbekel Cok Kusuma Yuda juga mendengar bahwa Desa Adat Jero Kuta Pejeng akan memberlakukan sanksi adat. "Kami selaku perbekel tentu taat dengan awig-awig. Empat hari yang lalu, diputuskan kena saksi adat. Tiang hanya memperkuat, karena perbekel tidak punya kuasa," ujarnya.
Perwakilan krama, I Made Wisna SPd berharap tanah teba yang dikuasai selama lebih dari 20 tahun bisa dimohonkan hak milik. Bukan menjadi tanah PKD atas nama desa adat. Terlebih dalam sertifikat yang telah terbit, berisi catatan bahwa hak milik tersebut tidak bisa dijadikan jaminan hutang dan tidak boleh dapat dialihkan baik sebagian maupun seluruhnya tanpa izin dari pejabat yang berwenang, kecuali diperlukan pemerintah untuk kepentingan umum. "Saya punya teba 20 are di luar PKD. Tidak ada penjelasan yang disampaikan atas perubahan status tanah itu. Tiba-tiba saja diumumkan di banjar bahwa sertifikat sudah selesai," ungkapnya.
Made Wisna khawatir karena tanahnya dijadikan PKD, maka dirinya tidak punya hak lagi. "Kalau ada keperluan desa adat mau dijadikan supermarket, kan tidak tahu kita. Saya juga tidak melaporkan oknum, melainkan hanya melapor kenapa ada perubahan status tanah. Masalah nanti ada saksi atau tersangka, itu ranah kepolisian," jelasnya.
Terkait sanksi adat, krama mengaku sudah mendengar. "Silahkan kalau mau diperpanjang, kami juga akan perpanjang. Mungkin saya akan bongkar lebih dalam lagi. Lapor lebih jauh lagi. Mumpung basah, basah sekalian," imbuh krama lain I Ketut Sudiarta. Sebab diketahui dalam pembuatan awig-awig desa Adat Jero Kuta Pejeng didasari UUD 1945 juga Pancasila. "Maka dari itu kami berhak memperjuangkan keadilan dan itu semua dilindungi negara RI," tegasnya. Sebelumnya, puluhan krama dari dua desa adat itu mendatangi Kantor BPN Gianyar. Meraka menolak pensertifikatan tanah tebanya menjadi PKD. *nvi
Sekitar 10 perwakilan krama yang keberatan tanah teba dijadikan PKD itu inta petunjuk sekaligus mediasi ke Kantor Desa Pejeng, Senin (27/7). Awalnya krama dari Desa Adat Jero Kuta Pejeng dan Desa Adat Panglan datang bersamaan. Namun oleh Perbekel Tjokorda Gede Agung Kusuma Yuda, menerima pertama krama Desa Adat Jero Kuta Pejeng. Mediasi pukul 10.00 - 11.00 Wita. Perbekel Cok Kusuma Yuda mengakui proses pensertifikatan PKD di Desa Pejeng, sesuai program nasional. Sertifikat sudah selesai empat bulan lalu, sebelum wabah Covid-19. "Kemarin saya diundang oleh Kantor Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Gianyar. Intinya, 570 sertifikat sudah jadi dan siap dibagikan. Tapi bagi yang keberatan, didiamkan. Kami juga sedang membuat laporan ke Gubernur Basli terkait kasus ini agar dapat penjelasan," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Perbekel Cok Kusuma Yuda juga mendengar bahwa Desa Adat Jero Kuta Pejeng akan memberlakukan sanksi adat. "Kami selaku perbekel tentu taat dengan awig-awig. Empat hari yang lalu, diputuskan kena saksi adat. Tiang hanya memperkuat, karena perbekel tidak punya kuasa," ujarnya.
Perwakilan krama, I Made Wisna SPd berharap tanah teba yang dikuasai selama lebih dari 20 tahun bisa dimohonkan hak milik. Bukan menjadi tanah PKD atas nama desa adat. Terlebih dalam sertifikat yang telah terbit, berisi catatan bahwa hak milik tersebut tidak bisa dijadikan jaminan hutang dan tidak boleh dapat dialihkan baik sebagian maupun seluruhnya tanpa izin dari pejabat yang berwenang, kecuali diperlukan pemerintah untuk kepentingan umum. "Saya punya teba 20 are di luar PKD. Tidak ada penjelasan yang disampaikan atas perubahan status tanah itu. Tiba-tiba saja diumumkan di banjar bahwa sertifikat sudah selesai," ungkapnya.
Made Wisna khawatir karena tanahnya dijadikan PKD, maka dirinya tidak punya hak lagi. "Kalau ada keperluan desa adat mau dijadikan supermarket, kan tidak tahu kita. Saya juga tidak melaporkan oknum, melainkan hanya melapor kenapa ada perubahan status tanah. Masalah nanti ada saksi atau tersangka, itu ranah kepolisian," jelasnya.
Terkait sanksi adat, krama mengaku sudah mendengar. "Silahkan kalau mau diperpanjang, kami juga akan perpanjang. Mungkin saya akan bongkar lebih dalam lagi. Lapor lebih jauh lagi. Mumpung basah, basah sekalian," imbuh krama lain I Ketut Sudiarta. Sebab diketahui dalam pembuatan awig-awig desa Adat Jero Kuta Pejeng didasari UUD 1945 juga Pancasila. "Maka dari itu kami berhak memperjuangkan keadilan dan itu semua dilindungi negara RI," tegasnya. Sebelumnya, puluhan krama dari dua desa adat itu mendatangi Kantor BPN Gianyar. Meraka menolak pensertifikatan tanah tebanya menjadi PKD. *nvi
Komentar