Ortu Siswa Keluhkan Belajar Daring
Komisi IV Tawarkan Solusi Tatap Muka Bergilir
“Kalau anak-anak SD atau SMP mungkin akan sulit dikendalikan untuk tidak berkerumun. Maka bertahap saja dulu untuk sekolah menengah. Mereka bisa tatap muka secara bergilir. Walaupun hanya 2 jam belajar misalnya. Yang lain tetap secara daring” (Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Wayan Disel Astawa)
DENPASAR, NusaBali
Belajar secara daring (online) saat pandemi Covid-19 ini mulai dikeluhkan orangtua siswa. Komisi IV DPRD Bali yang menerima keluhan dari orangtua siswa mendorong Disdikpora mencarikan solusi pola pembelajaran yang tidak membebani orangtua siswa.
Ketua Komisi IV DPRD Bali membidangi pendidikan dan kesehatan, I Gusti Putu Budiarta alias Gung De di Denpasar, Selasa (28/7), mengatakan beberapa orangtua siswa di kabupaten dan kota mulai merasakan ketidakcocokan dengan pola pembelajaran dengan pola daring (online). "Berbagai masalah muncul di lapangan. Mungkin ini karena lamanya pola daring akhirnya muncul persoalan. Kita wakil rakyat sebagai penyambung aspirasi masyarakat ya mendesak agar Disdikpora memikirkan solusi, melakukan evaluasi pola pembelajaran siswa," ujar Gung De.
Menurut Gung De, dalam aspirasinya ada orangtua yang sanggup dengan pola belajar tatap muka secara bergilir. Walaupun hanya 2-3 jam belajar. "Misalnya kalau dalam satu kelas ada 40 siswa, itu diatur pola tatap mukanya. Supaya tidak setiap hari belajar daring. Ini aspirasi, kami berharap Disdikpora mengkaji. Apakah aturan memungkinkan," ujar politisi PDI Perjuangan asal Desa Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan ini.
Gung De menyebutkan, saat ini dengan belajar secara daring, anak-anak Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama terkendala berbagai persoalan. Mulai orang tua yang susah memantau anaknya karena mereka harus bekerja serabutan ditengah pandemi, karena bekerja di hotel atau perusahaan sudah kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Ada juga yang terkendala dengan layanan internet. "Orangtua siswa yang tempat tinggalnya blankspot tidak kena layanan internet mereka susah. Ada juga orang tua mencari balai banjar untuk mendapatkan akses internet. Tapi di daerah terpencil tidak semua wilayah diakses internet. Di Kecamatan Kintamani Bangli tidak semua ada akses internet. Nah ini membuat kita juga miris," ujar tokoh yang juga Bendesa Adat Pedungan ini.
Sementara Wakil Ketua Komisi IV DPRD dari Fraksi Gerindra, I Wayan Disel Astawa menawarkan solusi agar pola tatap muka untuk pembelajaran dilakukan uji coba dulu. Misalnya secara bertahap, karena kondisi masih dalam masa pandemi. "Kalau anak-anak SD atau SMP mungkin akan sulit dikendalikan untuk tidak berkerumun. Maka bertahap saja dulu untuk sekolah menengah. Mereka bisa tatap muka secara bergilir. Walaupun hanya 2 jam belajar misalnya. Yang lain tetap secara daring," beber Disel Astawa.
Politisi asal Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan Badung ini melihat pola tatap muka untuk pembelajaran ini juga harus diantisipasi dengan ketat. "Kalaupun pola tatap muka memungkinkan tidak bisa dilepas leluasa begitu saja. Makanya untuk jenjang SD dan SMP jangan dulu. Kalau SMA dan universitas mungkin masih bisa tatap muka terbatas dengan protoo kesehatan yang diatur dan diawasi ketat," ujar Disel Astawa.
Pihaknya berharap pemerintah memenuhi kebutuhan layanan akses internet untuk masyarakat. Terutama di wilayah yang mengalami blankspot. "Kalau masalah layanan internet itu sudah harus dicarikan solusi. Kami juga banyak dapat keluhan orangtua dengan pola daring ini. Jangankan beli pulsa, beli beras saja mereka masih sulit di tengah pandemi," tandas Bendesa Adat Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan Badung ini.
Atas kondisi ini, Kadisdikpora Provinsi Bali I Ketut Ngurah Boy Jaya Wibawa secara terpisah dikonfirmasi NusaBali Selasa kemarin, mengakui saat ini orangtua mengeluhkan belajar secara daring, karena hadapi masalah di lapangan. Ada yang susah mengontrol anaknya karena harus bekerja. Ada yang susah soal fasilitas internet. "Kami di Disdikpora harus mengikuti aturan pusat. Kalau pemerintah pusat sudah kebijakan baru kami baru bisa jalan," ujar Ngurah Boy.
Saat ini kata Ngurah Boy, dimasa pandemi ada keputusan bersama empat menteri terkait dengan pelaksanaan pendidikan di masa pandemi pada Tahun Ajaran 2020/2021. "Keputusan Menteri Pendidikan, Menteri Kesehatan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Jadi SKB 4 menteri belum dicabut. Jadi pembelajaran dengan pola daring ini belum berubah. Kalau SKB 4 menteri dicabut barulah bisa kita siapkan masa transisi," ujar Ngurah Boy.
Menurut Ngurah Boy, suasana pandemi Covid-19 ini harus diwaspadai, sementara pendidikan harus jalan. "Daerah yang boleh melakukan belajar dengan tatap muka itu adalah daerah zona hijau dari pandemi Covid-19. Itupun harus ada izin pemerintah setempat. Kalau di Bali masih zona kuning," beber mantan Inspektur Pembantu Inspektorat Pemprov Bali ini. "Jangan sampai melanggar keputusan pusat. Kalau memang diberikan pola tatap muka dengan pengaturan protokol kesehatan, itu konteksnya pada masa transisi. Kalau Bali sudah zona hijau," ujar Ngurah Boy. *nat
Ketua Komisi IV DPRD Bali membidangi pendidikan dan kesehatan, I Gusti Putu Budiarta alias Gung De di Denpasar, Selasa (28/7), mengatakan beberapa orangtua siswa di kabupaten dan kota mulai merasakan ketidakcocokan dengan pola pembelajaran dengan pola daring (online). "Berbagai masalah muncul di lapangan. Mungkin ini karena lamanya pola daring akhirnya muncul persoalan. Kita wakil rakyat sebagai penyambung aspirasi masyarakat ya mendesak agar Disdikpora memikirkan solusi, melakukan evaluasi pola pembelajaran siswa," ujar Gung De.
Menurut Gung De, dalam aspirasinya ada orangtua yang sanggup dengan pola belajar tatap muka secara bergilir. Walaupun hanya 2-3 jam belajar. "Misalnya kalau dalam satu kelas ada 40 siswa, itu diatur pola tatap mukanya. Supaya tidak setiap hari belajar daring. Ini aspirasi, kami berharap Disdikpora mengkaji. Apakah aturan memungkinkan," ujar politisi PDI Perjuangan asal Desa Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan ini.
Gung De menyebutkan, saat ini dengan belajar secara daring, anak-anak Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama terkendala berbagai persoalan. Mulai orang tua yang susah memantau anaknya karena mereka harus bekerja serabutan ditengah pandemi, karena bekerja di hotel atau perusahaan sudah kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Ada juga yang terkendala dengan layanan internet. "Orangtua siswa yang tempat tinggalnya blankspot tidak kena layanan internet mereka susah. Ada juga orang tua mencari balai banjar untuk mendapatkan akses internet. Tapi di daerah terpencil tidak semua wilayah diakses internet. Di Kecamatan Kintamani Bangli tidak semua ada akses internet. Nah ini membuat kita juga miris," ujar tokoh yang juga Bendesa Adat Pedungan ini.
Sementara Wakil Ketua Komisi IV DPRD dari Fraksi Gerindra, I Wayan Disel Astawa menawarkan solusi agar pola tatap muka untuk pembelajaran dilakukan uji coba dulu. Misalnya secara bertahap, karena kondisi masih dalam masa pandemi. "Kalau anak-anak SD atau SMP mungkin akan sulit dikendalikan untuk tidak berkerumun. Maka bertahap saja dulu untuk sekolah menengah. Mereka bisa tatap muka secara bergilir. Walaupun hanya 2 jam belajar misalnya. Yang lain tetap secara daring," beber Disel Astawa.
Politisi asal Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan Badung ini melihat pola tatap muka untuk pembelajaran ini juga harus diantisipasi dengan ketat. "Kalaupun pola tatap muka memungkinkan tidak bisa dilepas leluasa begitu saja. Makanya untuk jenjang SD dan SMP jangan dulu. Kalau SMA dan universitas mungkin masih bisa tatap muka terbatas dengan protoo kesehatan yang diatur dan diawasi ketat," ujar Disel Astawa.
Pihaknya berharap pemerintah memenuhi kebutuhan layanan akses internet untuk masyarakat. Terutama di wilayah yang mengalami blankspot. "Kalau masalah layanan internet itu sudah harus dicarikan solusi. Kami juga banyak dapat keluhan orangtua dengan pola daring ini. Jangankan beli pulsa, beli beras saja mereka masih sulit di tengah pandemi," tandas Bendesa Adat Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan Badung ini.
Atas kondisi ini, Kadisdikpora Provinsi Bali I Ketut Ngurah Boy Jaya Wibawa secara terpisah dikonfirmasi NusaBali Selasa kemarin, mengakui saat ini orangtua mengeluhkan belajar secara daring, karena hadapi masalah di lapangan. Ada yang susah mengontrol anaknya karena harus bekerja. Ada yang susah soal fasilitas internet. "Kami di Disdikpora harus mengikuti aturan pusat. Kalau pemerintah pusat sudah kebijakan baru kami baru bisa jalan," ujar Ngurah Boy.
Saat ini kata Ngurah Boy, dimasa pandemi ada keputusan bersama empat menteri terkait dengan pelaksanaan pendidikan di masa pandemi pada Tahun Ajaran 2020/2021. "Keputusan Menteri Pendidikan, Menteri Kesehatan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Jadi SKB 4 menteri belum dicabut. Jadi pembelajaran dengan pola daring ini belum berubah. Kalau SKB 4 menteri dicabut barulah bisa kita siapkan masa transisi," ujar Ngurah Boy.
Menurut Ngurah Boy, suasana pandemi Covid-19 ini harus diwaspadai, sementara pendidikan harus jalan. "Daerah yang boleh melakukan belajar dengan tatap muka itu adalah daerah zona hijau dari pandemi Covid-19. Itupun harus ada izin pemerintah setempat. Kalau di Bali masih zona kuning," beber mantan Inspektur Pembantu Inspektorat Pemprov Bali ini. "Jangan sampai melanggar keputusan pusat. Kalau memang diberikan pola tatap muka dengan pengaturan protokol kesehatan, itu konteksnya pada masa transisi. Kalau Bali sudah zona hijau," ujar Ngurah Boy. *nat
1
Komentar