'Sunrise Art Project' Bakal Digelar di Kuta
Putrayasa: Ayo, Bersiap Melihat Sunrise di Pantai Kuta!
Event ‘Sunrise Art Project’ dipastikan spektakuler, karena akan melibatkan ratusan artisan dengan background yang berbeda.
DENPASAR, NusaBali
Ketut Putrayasa, seorang perupa asal Badung tengah merancang event spektakuler bertajuk ‘Sunrise Art Project’ di Kuta. Rencananya, event ini digelar awal tahun 2021. Sunrise Art Project merupakan sebuah pergelaran seni rupa yang dikemas dalam event pameran visual art.
Event ‘Sunrise Art Project’ ini akan menjadi menarik, karena tak hanya merepresentasikan nilai estetika formal, namun publik diajak menalarkan kembali kesadarannya mengenai makna Kuta di luar dari yang formal ‘common sense’.
“Setiap perjalanan peristiwa, baik itu masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang merupakan sebuah kompleksitas yang tak terpisakan menjadi suatu rangkaian yang direduksi menjadi ‘new being culuture’,” ujarnya, Senin (28/7).
Daya kreatif Putrayasa sudah dibuktikannya ketika dia mengagas ‘Berawa Beach Arts Festival’ dengan karya ‘Giant Octopus ‘ yang sempat heboh dan dibicarakan oleh banyak penikmat seni. Sementara dalam ‘Sunrise Art Project’ ini, Putrayasa bukan memindahkan matahari untuk terbit di Kuta, tetapi dia mempresentasikan kata ‘sunrise’ atau morning spirit untuk bisa hadir di pantai bagian barat, yakni Kuta. Dengan begitu, Kuta memiliki harapan baru (new spirit) dari ambang-ambang batas kenormalan.
“Saya rasa, ini akan menjadi sebuah keunikan tersendiri serta tantangan dalam mensublimasi ruang dan waktu menjadi sebuah metafora makna baru (new definition) dalam karya visual art dengan format kekinian, (kontemporer),” katanya.
Sebagai seorang seniman yang biasa menjelajahi negara-negara di dunia lewat seni rupa ini, Putrayasa melihat Kuta, dari perspektif seni, adalah daerah yang unik. Di luar Kuta, masyarakatnya diterjemahkan atau dikondisikan oleh ruang, namun di Kuta menjadi sebaliknya, kosmologi ruang sebagai presentasi dari masyarakatnya, Kuta mewakili dari global city (metropolis) value. “Jika dianalogikan birunya air laut Kuta sebagai instrument dalam menulis perkembangan sejarahnya, tintanya tidak akan pernah habis untuk ditulis dalam sebuah peradaban umat manusia. Dengan keunikan semacam itu, Kuta selalu memberikan kanvas kosong untuk dilukis setiap saat,” ujar seniman asal Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara ini.
Menurut Putrayasa, event ‘Sunrise Art Project’ dipastikan spektakuler, karena akan melibatkan ratusan artisan dengan background yang berbeda. Event kolosal yang akan digelar di pusat kota internasional (global city ) ini tujuan utamanya bukan untuk tourism, melainkan untuk memulihkan rasa percaya dimasa pasca pandemik.
“Kalau toh mampu membangkitkam tourism, hal itu merupakan bagian dari multi player effect kesenian itu sendiri,” katanya. Sunrise Art project ini, kata dia, juga untuk memberikan kontribusi pada masyarakat yaitu sebuah energi yang positif serta menstimulan kepekaan akan rasa keindahaan (estetik ). Dan, yang terpenting adalah sebagai psikologi terapi, karena seni itu dapat menghaluskan jiwa dan budi pakerti. “Karena itu, saya tidak menggelar event ini secara virtual (online) namun pada pergelaran secara langsung, apalagi karya seni tiga dimensi, si penikmatnya harus melihat secara lansung sebagai pengalaman imperis . Intinya, even ini bukan saja sebagai even visual semata namun sebagai peristiwa penanda jaman ‘global cultural’,” pungkasnya. *isu
Event ‘Sunrise Art Project’ ini akan menjadi menarik, karena tak hanya merepresentasikan nilai estetika formal, namun publik diajak menalarkan kembali kesadarannya mengenai makna Kuta di luar dari yang formal ‘common sense’.
“Setiap perjalanan peristiwa, baik itu masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang merupakan sebuah kompleksitas yang tak terpisakan menjadi suatu rangkaian yang direduksi menjadi ‘new being culuture’,” ujarnya, Senin (28/7).
Daya kreatif Putrayasa sudah dibuktikannya ketika dia mengagas ‘Berawa Beach Arts Festival’ dengan karya ‘Giant Octopus ‘ yang sempat heboh dan dibicarakan oleh banyak penikmat seni. Sementara dalam ‘Sunrise Art Project’ ini, Putrayasa bukan memindahkan matahari untuk terbit di Kuta, tetapi dia mempresentasikan kata ‘sunrise’ atau morning spirit untuk bisa hadir di pantai bagian barat, yakni Kuta. Dengan begitu, Kuta memiliki harapan baru (new spirit) dari ambang-ambang batas kenormalan.
“Saya rasa, ini akan menjadi sebuah keunikan tersendiri serta tantangan dalam mensublimasi ruang dan waktu menjadi sebuah metafora makna baru (new definition) dalam karya visual art dengan format kekinian, (kontemporer),” katanya.
Sebagai seorang seniman yang biasa menjelajahi negara-negara di dunia lewat seni rupa ini, Putrayasa melihat Kuta, dari perspektif seni, adalah daerah yang unik. Di luar Kuta, masyarakatnya diterjemahkan atau dikondisikan oleh ruang, namun di Kuta menjadi sebaliknya, kosmologi ruang sebagai presentasi dari masyarakatnya, Kuta mewakili dari global city (metropolis) value. “Jika dianalogikan birunya air laut Kuta sebagai instrument dalam menulis perkembangan sejarahnya, tintanya tidak akan pernah habis untuk ditulis dalam sebuah peradaban umat manusia. Dengan keunikan semacam itu, Kuta selalu memberikan kanvas kosong untuk dilukis setiap saat,” ujar seniman asal Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara ini.
Menurut Putrayasa, event ‘Sunrise Art Project’ dipastikan spektakuler, karena akan melibatkan ratusan artisan dengan background yang berbeda. Event kolosal yang akan digelar di pusat kota internasional (global city ) ini tujuan utamanya bukan untuk tourism, melainkan untuk memulihkan rasa percaya dimasa pasca pandemik.
“Kalau toh mampu membangkitkam tourism, hal itu merupakan bagian dari multi player effect kesenian itu sendiri,” katanya. Sunrise Art project ini, kata dia, juga untuk memberikan kontribusi pada masyarakat yaitu sebuah energi yang positif serta menstimulan kepekaan akan rasa keindahaan (estetik ). Dan, yang terpenting adalah sebagai psikologi terapi, karena seni itu dapat menghaluskan jiwa dan budi pakerti. “Karena itu, saya tidak menggelar event ini secara virtual (online) namun pada pergelaran secara langsung, apalagi karya seni tiga dimensi, si penikmatnya harus melihat secara lansung sebagai pengalaman imperis . Intinya, even ini bukan saja sebagai even visual semata namun sebagai peristiwa penanda jaman ‘global cultural’,” pungkasnya. *isu
Komentar