MUTIARA WEDA: Pemain vs Penyaksi
Dvau suparnā sayujā sakhāyā samānam vṛksam parisasvajāte, Tayor anyah pippalam svādvatty anasnan anyo abhicākasiti. (Mundaka Upanisad, III.1.1)
Ada dua ekor burung berteman sangat dekat, bertengger pada pohon (diri) yang sama. Salah satu burung sibuk memakan buah pohon itu dengan lahap, sementara yang satunya hanya menyaksikan, tidak ikut makan.
MANTRA Upanisad ini sangat terkenal dan sering dikutip untuk menggambarkan kondisi hakiki orang-orang. Pohon ibarat diri seseorang. Dua burung adalah representasi ego dan Realitas Absolut. Ego adalah sang diri dengan identitas tubuh, sementara Realitas Absolut merupakan Sang Diri Sejati. Sang Ego adalah burung yang menikmati buah pohon sementara Sang Diri Sejati adalah burung yang menyaksikan saja. Buah yang dinikmati oleh Sang Ego adalah buah karma yang terkungkung dalam dualitas (susah-senang, manis-pahit, dan seterusnya), sementara Sang Diri Sejati mengatasi dualitas tersebut dan hanya menjadi saksi atas segala realitas. Sang Ego oleh karena mengidentifikasi sebagai tubuh, maka ia terjebak dalam pengalaman duniawi, sementara Sang Diri Sejati mengatasi segala bentuk pengalaman duniawi tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, dua karakter burung ini (sang penikmat dan sang saksi atau sang pemain dan sang penyaksi) senantiasa diperankan di masyarakat. Ada yang sibuk dengan kenikmatan, ada juga yang melihat kesementaraan dari kenikmatan itu. Ada yang sibuk memainkan modal dan ada yang hanya menyaksikan saja modal itu dimainkan. Mereka yang ‘sibuk bermain’ senantiasa menghitung untung dan ruginya, menimbang berat dan susahnya, serta mengetes manis dan pahitnya secara terus-menerus. Sementara mereka yang ‘menyaksikan’ tetap tenang, bergeming, dan tidak ikut larut dengan semua konsekuensi-konsekuensi dari semua permainan itu. Bagi pemain yang keberaniannya super memilih untuk memainkan modal melintasi kampung halamannya. Sementara bagi pemain yang keberaniannya tanggung lebih memilih memainkan modal di wilayah kampungnya saja. Sementara bagi penyaksi, mereka hanya melihat pemain global dan pemain kampung itu, serta segala sesuatu lainnya dengan tetap tidak tersentuh oleh hitungan-hitungannya itu.
Menurut teks di atas, baik pemain global maupun pemain kampung adalah burung yang sedang lahap memakan buah pohon. Para penyaksi adalah burung yang satunya, bertengger dan bergeming. Dalam konteks kehidupan, manakah yang lebih bijak, apakah burung pelahap atau burung penyaksi? Sepertinya, pertanyaan ini tidak relevan, sebab ego memiliki nature-nya sendiri, dan Sang Diri Sejati juga memiliki nature-nya sendiri. Yang berbeda adalah konsekuensi yang ditimbulkannya. Untuk mengukur kadar nilai, eksisten tidak bisa diklasifikasikan karena masing-masing memiliki keunikan yang tidak bisa dibandingkan. Sementara itu, konsekuensi yang ditimbulkan dari eksisten itu bisa ditentukan nilainya karena ada standar yang dijadikan patokan. Seperti apa? Ego yang larut dalam dualitas kehidupan senantiasa melewati susah dan senang, manis dan pahit, dan yang lainnya. Saat ego memainkan modal yang ada, maka dua hal yang bertentangan itu senantiasa hadir, yakni ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan. Yang diuntungkan merasa menang, dan yang dirugikan mengumpulkan kekuatan untuk mengambil momentum baru dan balik memenangkannya kembali.
Situasi ini disebut dengan samsara, rantai penderitaan tanpa akhir. Yang menang bersifat sementara, yang kalah juga sementara. Yang menang akan menari di atas puing-puing kekalahan lawan, dan yang kalah akan mengumpulkan senjata yang lebih menghancurkan. Mungkinkah kemenangan tanpa menyisakan puing-puing? Tidak mungkin, sebab nature dari kemenangan memang demikian. Bagi pemain, sadar atau tidak, sebenarnya mereka akan mengalami dualitas itu apakah menginjak lebih dulu atau diinjak lebih dulu. Ada masanya menginjak, dan ada masanya diinjak, dan semua itu hanyalah puing-puing saja, tidak ada yang lain. Oleh karena itu, teks di atas menyatakan bahwa ada alternatif, yakni menjadi burung yang tidak ikut makan, hanya sebagai saksi. Jika yang disaksikan adalah para pemain itu, maka ia akan menyaksikan puing-puing yang ditimbulkannya dengan posisi tidak sebagai penginjak atau diinjak. Kalau penyaksi ini adalah seniman, bisa saja puing-puing itu dilihat sebagai karya seni. Sang pemain sibuk menginjak puing atau diinjak sebagai puing, sementara penyaksi hanya menikmati yang disaksikannya itu. Jadi penyaksilah sebenarnya penikmat sejati itu, bukan pemain. *
I Gede Suwantana
Komentar