Forkom Taksu Bali Gelar Aksi Damai Tolak Hare Krishna
DENPASAR, NusaBali
Ribuan massa yang tergabung dalam Forum Komunikasi (Forkom) Taksu Bali menggelar aksi damai di pelataran Monumen Perjuangan Rakyat Bali ‘Bajra Sandhi’, Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala Denpasar bertepatan Purnamaning Karo pada Soma Umanis Tolu, Senin (3/8).
Aksi ini untuk menolak keberadaan kelompok serta ajaran Hare Krishna dan The International Society for Krishna Consciousness (ISKCON), yang kini justru diayomi oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PH-DI) Pusat.
Beberapa organisasi masayarakat yang ikut dalam aksi damai menolak Hare Krishna dan ISKCON, Senin siang mulai pukul 11.30 Wita, antara lain, Taksu Bali Dwipa, Amukti Palapa Nusantara, Yayasan Mandala Suci, dan Yayasan Sandhi Murthi. Aksi damai dimeriahkan dengan parade seni budaya Bali.
Pantauan NusaBali, aksi damai kemarin diawali dengan ritual Pecaruan Eka Sata dan Bangun Urip untuk mendoakan agar pandemi Covid-19 cepat berlalu. Kemudian, dilanjut dengan ritual Pengenteg Bayu, lalu Ida Bhatara Napak Ibu Pertiwi.
Bukan hanya itu, parade seni budaya Bali juga dimeriahkan dengan pementasan Calonarang, yang menampilkan atraksi metebekan dengan 30 watangan. Jug ada atraksi joged bumbung, fragmentari diiringi tabuh baleganjur, angklung, dan lawak bondres. Parade budaya berakhir dengan lancar, Senin sore sekitar pukul 15.00 Wita.
Kordinator Lapangan (Korlap) Aksi Damai, Putu Agus Yudiawan SH, menjelaskan unjukrasa menolak keberadaan Hare Krishna di Bali dilakukan karena ajarannya dinilai bertentangan dengan Hindu Bali. Disebut bertentangan, karena ada hal-hal yang tidak diakui oleh ajaran Hare Krishna, seperti ritual Caru, Panca Yadnya, dan penghormatan terhadap leluhur.
“Tahun 1984, ajaran HK (Hare Krishna) sudah dilarang dengan SK Kejaksaan Agung No Kep-107/JA/5/1984 yang telah menyatakan melarang ajaran yang memuat HK,” papar Yudiawan.
Yang mengejutkan, kata Yudiawan, saat ini kurikulum agama Hindu tingkat SD sudah mulai disisipi ajaran HK, yakni memakai dasar Bhagawad Gita versi Prabhupada. “Selama 36 tahun kita kaget dan baru ngeh kalau kurikulum ternyata sudah dimasuki oleh ajaran HK. Contohnya, kurikulum di SD. Mereka memakai dasar Bhagawad Gita versi Prabhupada,” jelasnya.
“Kita tahu di dunia ini ada 39 versi Bhagawad Gita. Versi Prabhupada ini paling lain, di mana Krishna adalah Tuhan. Sedangkan di Bali, Tuhan kita adalah Sang Hyang Acintya (Yang Tak Terpikirkan). HK tidak mengakui ritual seperti Caru, Panca Yadnya, dan penghormatan terhadap leluhur. Ini akan berpotensi sangat besar mengakibatkan perpecahan,” tandas Yudiawan.
Karena itu, Forkom Taksu Bali dalam aksi damai kemarin menuntut PHDI mencabut pengayoman terhadap HK. Termasuk menyampaikan pernyataan resmi bahwa HK bukan Hindu yang sesuai dengan Hindu yang ada di Nusantara. Mereka juga menuntut reformasi PHDI dan meminta Kejaksaan Agung untuk memberlakukan SK Jaksa Agung No Ke-107/JA/5/1984. “Tarik semua barang cetakan yang memuat ajaran Hare Krishna dan juga melarang seluruh kegiatan Hare Krishna di tanah Bali, karena bertentangan dengan Teologi Agama Hindu di Bali,” kata-nya.
Usai aksi damai kemarin, puluhan perwakilan kemudian mendatangi Kantor PHDI Bali di Jalan Ratna Denpasar untuk menyerahkan tuntutan. Ketua PHDI Bali, Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana MSi, menjelaskan aksi damai yang dilakukan Forum Komunikasi Taksu Bali merupakan sesuatu yang sah di negara Indonesia, sebagai jalan untuk menyampaikan aspirasi, sepanjang tidak melanggar UU.
Terkait polemik HK yang kian memanas, Prof Sudiana mengatakan PHDI Bali sudah melakukan berbagai upaya. Mulai dari rapat internal bersama pengurus harian, tim hukum, walaka, hingga rapat gabungan dengan PHDI Kabupaten/Kota se-Bali.
Menurut Prof Sudiana, rapat-rapat tersebut memunculkan sebuah tim mediasi, koordinasi, dan komunikasi berkaitan dengan polemik HK di Bali. Masukan-masukan dari berbagai elemen masyarakat telah dikumpulkan dan diserahkan ke PHDI Pusat, 30 Juli 2020 lalu. “Hingga saat ini belum ada jawaban resmi. Karena ada beberapa tahap yang harus dilakukan lagi, termasuk koordinasi dengan Sabha Walaka dan Sabha Pandita. Jadi, memerlukan waktu,” tegas Prof Sudiana.
“Karena jawaban belum ada, maka kami memutuskan untuk bergeser ke Dirjen Bimas Hindu Kemenag, menanyakan jawaban surat yang sudah kita kirim berkaitan dengan materi agama yang ada di pelajaran tingkat SD yang diduga tidak sesuai dengan konten agama Hindu. Sudah ditanyakan, tapi belum juga ada jawaban tertulis,” lanjut tokoh lembaga umat yang juga ungkap Rektor Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa ini.
Prof Sudiana menyebutkan, karena baik PHDI Pusat maupun Dirjen Bimas Hindu belum memberikan jawaban, maka PHDI Bali kembali menggelar rapat, 1 Agustus 2020. Dari hasil rapat tersebut, PHDI Bali atas izin dari Dharma Upapati membuat pernyataan yang memuat dua item penting. Pertama, mengusulkan agar PHDI Pusat tidak lagi memberikan pengayoman terhadap HK maupun ISKCON. Kedua, mela-rang kegiatan HK dan ISKCON di luar ashram dan pura-pura di seluruh Bali.
“Maksudnya, agar tidak berbenturan satu dengan yang lain. Kami memohon jawaban secepatnya dari PHDI Pusat dan Kementerian Agama, termasuk Kejaksaan Agung juga kami bersurat. Tapi, sampai sekarang belum juga ada jawaban yang pasti,” katanya. “PHDI Bali membuat pernyataan seperti ini agar masyarakat mengerti bahwa kami sudah bekerja sejak Maret 2020. Tapi, bukan dari PHDI Bali yang memutuskan ini, ada mekanisme organisasi atau lembaga,” imbuh tambah tokoh asal Desa/Kecamatan Selat, Karangasem ini.
Menurut Prof Sudiana, PHDI Bali juga telah coba mengundang antara yang menolak Hare Krishna dan penganut Hare Krishna serta ISKCON. “Dengan pihak ISKCON, mereka telah membuat pernyataan bahwa tidak akan menggelar kegiatan kepercayaannya di luar ashram.” *ind
Komentar