Ekspor Bali Menunjukkan Peningkatan
Lonjakan tertinggi terjadi pada nilai ekspor ke Thailand yang mencapai 406,2 persen, sebaliknya impor tertinggi dilakukan Bali dari Singapura yang melonjak 1.000 persen.
DENPASAR, NusaBali
Di tengah pandemi Covid-19, kinerja ekspor Bali menunjukkan tren positif. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai ekspor Bali pada bulan Juni sebesar 32.257.489 dollar AS atau naik 25,24 persen dari bulan Mei. Karena nilai ekspor Bali pada Mei 25.756.676 dollar. Namun demikian masih kurang atau turun 0,96 persen dari data periode sama tahun 2019.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Adi Nugroho menyatakan kenaikan tersebut tentu positif, meski di tengah belum meredanya tekanan pandemi Covid-19. Dikatakan Adi Nugroho, ekspor ke Thailand mengalami peningkatan paling tinggi yakni 406,12 persen. “Untuk ekspor ke Thailand didominasi ekspor produk perhiasan,” jelas Adi Nugroho, Senin (3/8).
Selain Thailand, ada tiga negara tujuan yang nilai ekspor produknya meningkat di atas 100 persen. Ketiga negara tersebut adalah Taiwan sebesar 167,24 persen dengan dominasi komoditas ikan dan udang. Kemudian ekspor ke Inggris naik 108,17 dengan dominasi ekspor pakaian jadi bukan rajutan. Dari 10 negara tujuan ekspor Bali, ada dua negara mengalami penurunan ekspor yakni ke Australia turun 30,64 persen, dan ekspor ke Tiongkok minus 21,07 persen.
Sebaliknya impor Bali pada periode Juni, juga naik 21,94 persen dari impor pada Mei. Impor Bali pada Juni senilai 3.038.178 dollar AS. Sedang pada Mei impor Bali 2.491.448 dollar. Kenaikan impor di antaranya dari Singapura sampai ribuan persen (1.131,34 persen), karena naiknya impor bahan produk mineral, selanjutnya dari Jerman terkait impor produk perhiasan permata, dan impor dari Taiwan sebesar 149,28 persen untuk produk kimia.
Terpisah terkait kondisi Uni Eropa yang dilanda resesi, ekonom sekaligus Analis Keuangan Valbury Asia Futures, Lukman Leong, memprediksi bahwa gelombang resesi yang melanda benua biru tersebut akan berdampak buruk bagi ekonomi Indonesia. Mengingat dampak dari resesi akan memukul kerja sama ekonomi antara Uni Eropa dan Indonesia.
Ekonomi benua biru ini minus 11,9 persen pada kuartal II 2020. Sedangkan pada kuartal I 2020 juga telah mengalami minus 3,2 persen. Negara penyumbang ekonomi terbesar di Eropa yaitu Jerman juga telah masuk jurang resesi dengan minus 10,1 persen pada kuartal II. Untuk kuartal sebelumnya, ekonomi Jerman minus 2,2 persen. Untuk Prancis, Italia, dan Spanyol mengalami tingkat resesi yang lebih dalam. Rinciannya Prancis minus 13,8 persen, Italia minus 12,4 persen, dan Spanyol minus 18,5 persen. "Saya kira kalau resesi itu pasti dampak buruknya akan menjalar ke segala sektor. Khususnya sektor ekonomi termasuk kerjasamanya," ujar Lukman Leong dikutip Merdeka.com, Senin (3/8).
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Adi Nugroho menyatakan kenaikan tersebut tentu positif, meski di tengah belum meredanya tekanan pandemi Covid-19. Dikatakan Adi Nugroho, ekspor ke Thailand mengalami peningkatan paling tinggi yakni 406,12 persen. “Untuk ekspor ke Thailand didominasi ekspor produk perhiasan,” jelas Adi Nugroho, Senin (3/8).
Selain Thailand, ada tiga negara tujuan yang nilai ekspor produknya meningkat di atas 100 persen. Ketiga negara tersebut adalah Taiwan sebesar 167,24 persen dengan dominasi komoditas ikan dan udang. Kemudian ekspor ke Inggris naik 108,17 dengan dominasi ekspor pakaian jadi bukan rajutan. Dari 10 negara tujuan ekspor Bali, ada dua negara mengalami penurunan ekspor yakni ke Australia turun 30,64 persen, dan ekspor ke Tiongkok minus 21,07 persen.
Sebaliknya impor Bali pada periode Juni, juga naik 21,94 persen dari impor pada Mei. Impor Bali pada Juni senilai 3.038.178 dollar AS. Sedang pada Mei impor Bali 2.491.448 dollar. Kenaikan impor di antaranya dari Singapura sampai ribuan persen (1.131,34 persen), karena naiknya impor bahan produk mineral, selanjutnya dari Jerman terkait impor produk perhiasan permata, dan impor dari Taiwan sebesar 149,28 persen untuk produk kimia.
Terpisah terkait kondisi Uni Eropa yang dilanda resesi, ekonom sekaligus Analis Keuangan Valbury Asia Futures, Lukman Leong, memprediksi bahwa gelombang resesi yang melanda benua biru tersebut akan berdampak buruk bagi ekonomi Indonesia. Mengingat dampak dari resesi akan memukul kerja sama ekonomi antara Uni Eropa dan Indonesia.
Ekonomi benua biru ini minus 11,9 persen pada kuartal II 2020. Sedangkan pada kuartal I 2020 juga telah mengalami minus 3,2 persen. Negara penyumbang ekonomi terbesar di Eropa yaitu Jerman juga telah masuk jurang resesi dengan minus 10,1 persen pada kuartal II. Untuk kuartal sebelumnya, ekonomi Jerman minus 2,2 persen. Untuk Prancis, Italia, dan Spanyol mengalami tingkat resesi yang lebih dalam. Rinciannya Prancis minus 13,8 persen, Italia minus 12,4 persen, dan Spanyol minus 18,5 persen. "Saya kira kalau resesi itu pasti dampak buruknya akan menjalar ke segala sektor. Khususnya sektor ekonomi termasuk kerjasamanya," ujar Lukman Leong dikutip Merdeka.com, Senin (3/8).
Terlebih, sambung Lukman, Eropa bagian penting dari mitra dagang Indonesia selama ini, karena banyak negara di benua Eropa masih mempercayakan Indonesia sebagai mitra yang mampu memenuhi standar sejumlah produk yang ditetapkan. Tentu saja resesi Eropa ini akan menganggu ekspor nasional.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah lebih tanggap dalam menyikapi resesi yang marak di sejumlah negara, khususnya mitra. Antara lain dengan memetakan sejumlah negara mitra yang berpotensi mengalami kondisi ekonomi sulit. Namun, menurutnya prioritas pemerintah kini lebih baik diarahkan terhadap peningkatan serapan program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Sehingga lebih banyak menyelamatkan masyarakat dan pelaku usaha dari dampak resesi. "Hemat saya, yang paling penting untuk bisa meningkatkan serapan stimulus PEN. Karena ekonomi tidak akan bangkit tanpa aktivitas," tukasnya.*k17
1
Komentar