Krama Desa Adat Jero Kuta Kasepekang
Gara-gara Polisikan Pensertifikatan Tanah Teba
Sejak Sabtu (1/8), dua krama berikut keluarganya dilarang melakukan kegiatan ngayah di desa adat.
GIANYAR, NusaBali
Sejumlah krama Desa Adat Jero Kuta, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, mendatangi Kantor Bupati Gianyar, Selasa (4/8) sekitar pukul 07.00 Wita. Mereka datang untuk minta solusi dengan Bupati Gianyar Made ‘Agus’ Mahayastra, terkait dua krama kanorayang atau kasepekang (dikucilkan) oleh desa adat.
Kesepekang itu karena krama melaporkan kasus pensertifikatan tanah teba (halaman belakang) yang ditempati krama oleh desa adat menjadi tanah PKD (pekarangan desa). Perwakilan krama, I Ketut Wisna mengakui, kedatangan krama tersebut untuk menyampaikan masalah tanah teba krama yang dijadikan PKD (pekarangan desa) oleh desa adat. Selain itu, krama juga mengadukan pengenaan sanksi adat kanorayang untuk dua krama yang membuat laporan polisi terkait polemik tanah teba tersebut. Dua krama tersebut yakni I Made Wisna, krama Banjar Guliang dan I Ketut Suteja warga Banjar Intaran. Keduanya sudah dinonaktifkan sebagai krama Desa Adat Jero Kuta Pejeng, sejak Sabtu (1/8). Sejak saat itu, dua krama berikut keluarganya dilarang melakukan kegiatan ngayah di desa adat.
Dua krama ini dikenakan saksi adat kanorayang sebagai buntut pasca aksi puluhan warga Desa Pejeng yang mengajukan keberatan tanah tebanya dijadikan PKD (pekarangan desa) ke Kantor BPN Gianyar, beberapa waktu lalu.
Usai bertemu Bupati Mahayastra, I Ketut Wisna mengaku dirinya dikenakan kanorayang lantaran sebagai pelapor kasus tersebut ke pihak berwajib. "Kami berdua disisihkan dari lingkungan masyarakat. Dilarang ngayah di pura, tidak dapat hak lagi selaku krama adat. Tidak dapat pelayanan apa pun baik dalam kondisi ala (duka) maupun ayu (suka)," jelasnya.
Sanksi adat tersebut diterimanya melalui surat tertulis dan langsung berlaku saat itu juga. "1 Agustus kami dapat surat, langsung berlaku saat itu juga. Hak kami selaku anggota adat sudah dicabut. Besoknya anak saya saat ngayah disuruh pulang sama prajuru adat. Pokoknya kegiatan adat kami tidak boleh ikut. Kalau mati pun, tidak dapat kuburan," ungkap Made Wisna.
Sedangkan untuk kewajiban di adat, dikatakan, belum ada penjelasan lebih lanjut. "Kalau kewajiban itu belum ada pembahasan, dan sampai kapan dikenakan sanksi ini juga belum ada penjelasan," imbuhnya. Selain Wisna, Ketut Suteja yang sama-sama pelapor juga dikenakan sanksi adat yang sama. “Untuk dicabut itu kapan, belum ada kejelasan, pokoknya dibilang kena kenoroyang. Kami ke sini (menghadap bupati,Red) agar bisa dibantu memediasi terkait hak milik terkait tanah pekarangan desa adat dan terkait kenorayang ini,” imbuhnya.
Dikonfirmasi terpisah, Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng Tjokorda Gde Putra Pemayun menyampaikan terdapat 44 krama yang tercatat keberatan terkait PKD tersebut. Namun tidak seluruhnya dikenakan sanksi adat. Hanya dua orang yang dikenakan kanorayang karena melanggar awig-awig.
“Itu kan jumlahnya 40an orang, dan belum semua kena sanksi adat. Hanya ada dua orang kena sanksi dari sekian banyak itu. Yang dua itu dasarnya melaporkan prajuru tanpa mengikuti awig-awig yang ada. Sementara yang membangkang lainnya belum ada kena sanksi, itu tergantung dari hasil lanjutan di pengadilan nanti, siapa menang dan siapa kalah,” imbuhnya.
Disinggung sampai kapan dua warganya tersebut kena sanksi, mantan anggota DPRD Gianyar itu menyampaikan saat ini masih menunggu hasil rapat desa. “Kemungkinan akan ditindaklanjuti, kan tidak boleh sendiri memutuskan harus diputuskan dalam paruman desa,” tandasnya.
Terkait kedatangan krama itu, Bupati Mahayastra belum bisa dikonfirmasi. Usai menerima krama Desa Pejeng, Bupati Mahayastra masih di dalam ruang kerjanya dan langsung menerima tamu lain. Saat dikonfirmasi via Whatsapps, hanya dibaca namun tidak dibalas.*nvi
Kesepekang itu karena krama melaporkan kasus pensertifikatan tanah teba (halaman belakang) yang ditempati krama oleh desa adat menjadi tanah PKD (pekarangan desa). Perwakilan krama, I Ketut Wisna mengakui, kedatangan krama tersebut untuk menyampaikan masalah tanah teba krama yang dijadikan PKD (pekarangan desa) oleh desa adat. Selain itu, krama juga mengadukan pengenaan sanksi adat kanorayang untuk dua krama yang membuat laporan polisi terkait polemik tanah teba tersebut. Dua krama tersebut yakni I Made Wisna, krama Banjar Guliang dan I Ketut Suteja warga Banjar Intaran. Keduanya sudah dinonaktifkan sebagai krama Desa Adat Jero Kuta Pejeng, sejak Sabtu (1/8). Sejak saat itu, dua krama berikut keluarganya dilarang melakukan kegiatan ngayah di desa adat.
Dua krama ini dikenakan saksi adat kanorayang sebagai buntut pasca aksi puluhan warga Desa Pejeng yang mengajukan keberatan tanah tebanya dijadikan PKD (pekarangan desa) ke Kantor BPN Gianyar, beberapa waktu lalu.
Usai bertemu Bupati Mahayastra, I Ketut Wisna mengaku dirinya dikenakan kanorayang lantaran sebagai pelapor kasus tersebut ke pihak berwajib. "Kami berdua disisihkan dari lingkungan masyarakat. Dilarang ngayah di pura, tidak dapat hak lagi selaku krama adat. Tidak dapat pelayanan apa pun baik dalam kondisi ala (duka) maupun ayu (suka)," jelasnya.
Sanksi adat tersebut diterimanya melalui surat tertulis dan langsung berlaku saat itu juga. "1 Agustus kami dapat surat, langsung berlaku saat itu juga. Hak kami selaku anggota adat sudah dicabut. Besoknya anak saya saat ngayah disuruh pulang sama prajuru adat. Pokoknya kegiatan adat kami tidak boleh ikut. Kalau mati pun, tidak dapat kuburan," ungkap Made Wisna.
Sedangkan untuk kewajiban di adat, dikatakan, belum ada penjelasan lebih lanjut. "Kalau kewajiban itu belum ada pembahasan, dan sampai kapan dikenakan sanksi ini juga belum ada penjelasan," imbuhnya. Selain Wisna, Ketut Suteja yang sama-sama pelapor juga dikenakan sanksi adat yang sama. “Untuk dicabut itu kapan, belum ada kejelasan, pokoknya dibilang kena kenoroyang. Kami ke sini (menghadap bupati,Red) agar bisa dibantu memediasi terkait hak milik terkait tanah pekarangan desa adat dan terkait kenorayang ini,” imbuhnya.
Dikonfirmasi terpisah, Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng Tjokorda Gde Putra Pemayun menyampaikan terdapat 44 krama yang tercatat keberatan terkait PKD tersebut. Namun tidak seluruhnya dikenakan sanksi adat. Hanya dua orang yang dikenakan kanorayang karena melanggar awig-awig.
“Itu kan jumlahnya 40an orang, dan belum semua kena sanksi adat. Hanya ada dua orang kena sanksi dari sekian banyak itu. Yang dua itu dasarnya melaporkan prajuru tanpa mengikuti awig-awig yang ada. Sementara yang membangkang lainnya belum ada kena sanksi, itu tergantung dari hasil lanjutan di pengadilan nanti, siapa menang dan siapa kalah,” imbuhnya.
Disinggung sampai kapan dua warganya tersebut kena sanksi, mantan anggota DPRD Gianyar itu menyampaikan saat ini masih menunggu hasil rapat desa. “Kemungkinan akan ditindaklanjuti, kan tidak boleh sendiri memutuskan harus diputuskan dalam paruman desa,” tandasnya.
Terkait kedatangan krama itu, Bupati Mahayastra belum bisa dikonfirmasi. Usai menerima krama Desa Pejeng, Bupati Mahayastra masih di dalam ruang kerjanya dan langsung menerima tamu lain. Saat dikonfirmasi via Whatsapps, hanya dibaca namun tidak dibalas.*nvi
Komentar