Edisi Pertama, Masalah Terpinggirnya Bahasa Bali Jadi Sorotan
Berbeda dengan ‘Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja’ gelaran Pemprov Bali, ‘Mimbar Bebas De Koh Ngomong Sameton Karangasem’ akan dilaksanakan sebulan sekali, pada hari Minggu pertama
Sedangkan Wabup Wayan Arta Dipa menyambut positif digelarnya Mimbar Bebas ‘De Koh Ngomong’ ini. Dari mimbar bebas ini, diharapkan muncul kirtik yang konstruktif dan masukan dari masyarakat untuk pembangunan di Kabupaten Karangasem. “Semua masukan bernilai positif untuk diperjuangkan demi lestarinya budaya lokal Karangasem,” kata Wabup Arta Dipa.
Sementara itu, sejumlah tokoh sempat berorasi dalam acara perdana ‘Mimbar Bebas De Koh Ngomong Sameton Karangasem’ di Stadion Gunung Agung Amlapura, Minggu kemarin. Salah satunya, I Wayan Jatiyasa, tokoh masyarakat asal Banjar Tuminggal, Desa Tiyingtali, Kecamatan Abang, Karangasem.
Dalam orasinya kemarin, Wayan Jatiyasa langsung menyoroti penggunaan Bahasa Bali di Karangasem mulai ditinggalkan generasi muda. Hal ini piperparah dengan tidak adanya pelajaran bahasa Bali di lembaga pendidikan sekolah TK dan PAUD. ”Sedapat mungkin Pemerintah Kabupaten Karangasem harua mengeluarkan kebijakan, agar nanti ada hari spesial ‘Berbahasa Bali’. Luangkan waktu satu hari untuk berbahasa Bali, sesuai sor singgih yang benar,” harap Wayan Jatiyasa.
Sedangkan I Komang Badra, seorang dosen STKIP Agama Hindu Amlapura, kemarin menyoroti penggunaan bahasa Bali yang mulai mengalami degredasi sejak 10 tahun terakhir. Karangasem yang semula terkenal fanatik menggunakan bahasa Bali sor singgih, belakangan mulai berkurang.
“Masalahnya, bahasa pengantar di TK, PAUD, dan SD menggunakan bahasa Indonesia, tidak ada pelajaran khusus bahasa Bali,” katanya. “Saya sendiri kecewa buku-buku panduan bahasa Bali disusun orang luar Karangasem, sor singgih (tata bahasa) tidak sesuai,” imbuh Komang Badra.
Menurut Badra, Karangasem telah ditetapkan sebagai ‘Kota Pusaka’, sehingga sedapat mungkin juga dikukuhkan jadi ‘Kota Sastra’. Apalagi, banyak penyair sastra Bali.
Sementara, Cokorda Istri Rumpi, tokoh dari Puri Batuaya, Kecamatan Karangasem juga merasa prihatin atas nasib bahasa Bali yang kian memudar. “Bahasa Bali merupakan budaya lokal yang mesti dilestarikan,” pinta Cok Istri Rumpi.
Sekadar dicatat, sejauh ini baru Pemkab Karangasem yang menggelar mimbar bebas. Sedangkan di 8 kabupaten/kota lainnya di Bali, belum ada acara seperti ini. Sebelumnya, Pemprov Bali telah mengawali bikin program ‘Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja’ yang dilauncing Gubernur Made Mangku Pastika, 2 November 2014, di pojok barat daya Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala Denpasar. Podium bebas bicara ini kemudian dilaksanakan rutin sepekan sekali setiap Minggu pagi.
“Podium ini dibuka adalah rangka memberikan kebebasan kepada masyarakat Bali untuk menyampaikan unek-unek mereka, tentang apa saja. Bicara itu hak asasi, silakan bicara, gantian nanti pemerintah provinsi yang mencatat. Bebas bicara apa saja, asalkan miknya jangan dirusak,” ujar Gubernur Pastika saat itu.
Satu hal yang digarisbawahi Pastika, siapa pun yang naik podium dan berorasi, materi yang disampaikan tidak boleh berbau SARA. Jadi, masalah dan masukan yang disampaikan di atas podium dapat dipertanggungjawabkan. “Siapa saja yang mungkin kebetulan lewat dan ingin ngomong, langsung saja naik ke podium ini, tinggal gantian saja, tidak ada yang mengatur. Saya harap apa yang disampaikan di podium ini dapat dipertanggungjawabkan dan tidak berbau SARA.” * k16
Sementara itu, sejumlah tokoh sempat berorasi dalam acara perdana ‘Mimbar Bebas De Koh Ngomong Sameton Karangasem’ di Stadion Gunung Agung Amlapura, Minggu kemarin. Salah satunya, I Wayan Jatiyasa, tokoh masyarakat asal Banjar Tuminggal, Desa Tiyingtali, Kecamatan Abang, Karangasem.
Dalam orasinya kemarin, Wayan Jatiyasa langsung menyoroti penggunaan Bahasa Bali di Karangasem mulai ditinggalkan generasi muda. Hal ini piperparah dengan tidak adanya pelajaran bahasa Bali di lembaga pendidikan sekolah TK dan PAUD. ”Sedapat mungkin Pemerintah Kabupaten Karangasem harua mengeluarkan kebijakan, agar nanti ada hari spesial ‘Berbahasa Bali’. Luangkan waktu satu hari untuk berbahasa Bali, sesuai sor singgih yang benar,” harap Wayan Jatiyasa.
Sedangkan I Komang Badra, seorang dosen STKIP Agama Hindu Amlapura, kemarin menyoroti penggunaan bahasa Bali yang mulai mengalami degredasi sejak 10 tahun terakhir. Karangasem yang semula terkenal fanatik menggunakan bahasa Bali sor singgih, belakangan mulai berkurang.
“Masalahnya, bahasa pengantar di TK, PAUD, dan SD menggunakan bahasa Indonesia, tidak ada pelajaran khusus bahasa Bali,” katanya. “Saya sendiri kecewa buku-buku panduan bahasa Bali disusun orang luar Karangasem, sor singgih (tata bahasa) tidak sesuai,” imbuh Komang Badra.
Menurut Badra, Karangasem telah ditetapkan sebagai ‘Kota Pusaka’, sehingga sedapat mungkin juga dikukuhkan jadi ‘Kota Sastra’. Apalagi, banyak penyair sastra Bali.
Sementara, Cokorda Istri Rumpi, tokoh dari Puri Batuaya, Kecamatan Karangasem juga merasa prihatin atas nasib bahasa Bali yang kian memudar. “Bahasa Bali merupakan budaya lokal yang mesti dilestarikan,” pinta Cok Istri Rumpi.
Sekadar dicatat, sejauh ini baru Pemkab Karangasem yang menggelar mimbar bebas. Sedangkan di 8 kabupaten/kota lainnya di Bali, belum ada acara seperti ini. Sebelumnya, Pemprov Bali telah mengawali bikin program ‘Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja’ yang dilauncing Gubernur Made Mangku Pastika, 2 November 2014, di pojok barat daya Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala Denpasar. Podium bebas bicara ini kemudian dilaksanakan rutin sepekan sekali setiap Minggu pagi.
“Podium ini dibuka adalah rangka memberikan kebebasan kepada masyarakat Bali untuk menyampaikan unek-unek mereka, tentang apa saja. Bicara itu hak asasi, silakan bicara, gantian nanti pemerintah provinsi yang mencatat. Bebas bicara apa saja, asalkan miknya jangan dirusak,” ujar Gubernur Pastika saat itu.
Satu hal yang digarisbawahi Pastika, siapa pun yang naik podium dan berorasi, materi yang disampaikan tidak boleh berbau SARA. Jadi, masalah dan masukan yang disampaikan di atas podium dapat dipertanggungjawabkan. “Siapa saja yang mungkin kebetulan lewat dan ingin ngomong, langsung saja naik ke podium ini, tinggal gantian saja, tidak ada yang mengatur. Saya harap apa yang disampaikan di podium ini dapat dipertanggungjawabkan dan tidak berbau SARA.” * k16
1
2
Komentar