Jerinx Tetap Merasa Tak Bersalah
Sempat Mangkir, Akhirnya Penuhi Panggilan Polisi
Menurut Kuasa Hukum Jerinx, Gendo, masalah yang dihadapi oleh kliennya itu sebenarnya hanyalah soal persepsi. Persepsinya Jerinx postingan itu adalah kritikan. Persepsi dari IDI itu adalah penghinaan.
DENPASAR, NusaBali
Setelah sekali mangkir dari panggilan polisi, akhirnya drummer grup musik pank rock Superman Is Dead (SID), I Gede Ari Astina, 43, alias Jerinx datang ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Bali untuk diperiksa sebagai saksi terkait ujaran kebencian terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pada Kamis (6/8). Dugaan ujaran kebencian itu dilakukan Jerinx melalui media sosial Instagram @jrxsid. Dia menyebutkan IDI sebagai kacung WHO. Hingga selesai diperiksa, Jerinx masih berstatus saksi.
Jerinx datang ke Mapolda Bali sekitar pukul 10.30 Wita. Tanpa mengenakan masker, memakai baju kaos warna hitam bertuliskan ‘Indonesia Tolak Rapid’, Jerinx didampingi kuasa hukumnya yang dipimpin I Wayan ‘Gendo’ Suardana. Musisi yang tubuhnya dipenuhi tato ini diperiksa penyidik Subdit I Ditreskrimum Polda Bali selama kurang lebih dua jam, dari pukul 10.30 Wita sampai pukul 12.30 Wita. Selama 2 jam diperiksa, drummer kelahiran Kuta, Badung, 10 Februari 1977 itu dicecar 13 pertanyaan.
Sebelum menuju Subdit I Ditreskrimsus Polda Bali di lantai III untuk diperiksa, Jerinx sempat memberikan keterangan kepada awak media yang sedari pagi menunggu kedatangannya. Kepada awak media, musisi ‘kontroversial’ itu dengan tegas mengatakan dirinya tidak merasa bersalah. Postingan yang dilakukannya lewat akun instagram @jrxsid miliknya sepenuhnya tidak ada unsur kebencian.
Jerinx datang ke Mapolda Bali sekitar pukul 10.30 Wita. Tanpa mengenakan masker, memakai baju kaos warna hitam bertuliskan ‘Indonesia Tolak Rapid’, Jerinx didampingi kuasa hukumnya yang dipimpin I Wayan ‘Gendo’ Suardana. Musisi yang tubuhnya dipenuhi tato ini diperiksa penyidik Subdit I Ditreskrimum Polda Bali selama kurang lebih dua jam, dari pukul 10.30 Wita sampai pukul 12.30 Wita. Selama 2 jam diperiksa, drummer kelahiran Kuta, Badung, 10 Februari 1977 itu dicecar 13 pertanyaan.
Sebelum menuju Subdit I Ditreskrimsus Polda Bali di lantai III untuk diperiksa, Jerinx sempat memberikan keterangan kepada awak media yang sedari pagi menunggu kedatangannya. Kepada awak media, musisi ‘kontroversial’ itu dengan tegas mengatakan dirinya tidak merasa bersalah. Postingan yang dilakukannya lewat akun instagram @jrxsid miliknya sepenuhnya tidak ada unsur kebencian.
Jerinx mengatakan, postingan pada 13 Juni 2020 yang mengakibatkan dirinya dipolisikan oleh IDI itu tidak ada maksud untuk membenci. Apalagi menghancurkan perasaan para anggota IDI. Karena merasa tidak melakukan kesalahan, Jerinx mengatakan tidak memberikan permohonan maaf kepada IDI. Justru, Jerinx ingin mendapatkan klarifikasi dari IDI atas postingan kontroversial yang disebutnya sebagai sebuah kritikan itu.
Meskipun dipolisikan, Jerinx mengaku tidak akan berhenti untuk mengkritik. Jerinx mengaku selama untuk kepentingan umum dia punya hak untuk bersuara. Jerinx mengaku kritikan yang diarahkannya kepada IDI bukan untuk kepentingan pribadi tapi untuk kepentingan lapisan masyarakat menengah ke bawah.
“Selama ketidakadilan itu terjadi saya akan terus mengkritik. Pada saat membuat postingan itu sebenarnya akumulatif perasaan empati saya kepada rakyat dari semua kejadian yang saya ketahui lewat media massa maupun media sosial sebelumnya. Layanan kesehatan terhambat hanya gara-gara prosedur rapid tes,” ucapnya.
Kritikan itu dilontarkannya karena alat rapid tes yang dijadikan syarat layanan hasilnya tidak akurat. Hal itu juga disampaikan oleh Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia melalui surat edaran yang intinya melarang kewajiban rapid tes sebagai syarat layanan kesehatan. Edaran itu dikeluarkan pada 24 April 2020. Fakta di lapangan, kata dia, justru terbalik.
“Saya tidak sedang mencari sensasi. Dengan melancarkan kritikan seperti ini justru saya ditinggal oleh beberapa sponsor dan dimusuhi orang. Jadi ini bukan sensasi. Saya melakukan kritikan lewat medsos karena platform yang saya miliki untuk bersuara saat ini yang paling ampuh adalah media sosial. Daripada saya ikut demonstrasi menurut saya tidak efektif,” tandasnya.
Usai menjalani pemeriksaan, giliran kuasa hukumnya, Wayan ‘Gendo’ Suardana memberikan keterangan kepada awak media. Gendo membeberkan kliennya diperiksa terkait dua postingan di akun Instagram milik Jerinx pada 13 Juni 2020 dan 15 Juni 2020. Saat diperiksa, kliennya telah menjelaskan bahwa tidak ada kebencian terhadap terhadap dokter dan IDI. Apa yang dilakukan itu adalah dalam rangka kritik dengan tujuan agar IDI memberikan respons. “Pada saat itu (sekitar bulan Juni 2020) ada peristiwa ibu hamil wajib rapid tes sebagai syarat pelayanan. Karena hal itu, Jerinx bertanya kepada IDI. Mengapa kepada IDI ? Karena IDI punya kekuatan penuh untuk mengubah kebijakan,” ujarnya.
Menurut Gendo, masalah yang dihadapi oleh kliennya itu sebenarnya hanyalah soal persepsi. Persepsinya Jerinx postingan itu adalah kritikan. Persepsi dari IDI itu adalah penghinaan. Persepsi yang beda ini harus dipertemukan lewat diskusi. Alatnya adalah mediasi atau rekonsiliasi. Terhadap persoalan persepsi ini, Gendo berupaya untuk melakukan upaya kekeluargaan. Menurutnya, langkah pidana adalah upaya yang terakhir. “Soal persepsi gaya bahasa ini agak susah untuk menentukan santun dan tidaknya. Kecuali kalau ada batasannya. Mana yang santun dan mana yang tak santun. Ukurannya berapa? Kalau ada derajatnya, berapa derajat biasanya santun? Ini Absurd. Soal santun itu soal persepsi,” kata Gendo.
Terkait penyebutan IDI sebagai kacungnya WHO kata Gendo, itu bukan penghinaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata dia, kacung itu artinya pelayan. Bukan budak belian. Kalau budak belian itu tidak pernah merdeka atas dirinya. Dalam postingan itu, Jerinx berharap agar IDI tidak hanya ikut agenda-agenda WHO saja. “Jerinx minta penjelasan IDI terkait penggunaan rapid tes sebagai syarat layanan rumah sakit yang nyata-nyata sudah dilarang oleh Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia. Kritikan itu diarahkan kepada IDI, karena IDI memiliki kekuatan untuk mengubah kebijakan yang memberatkan masyarakat utamanya menengah ke bawah,” tandas Gendo.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Bali Kombes Pol Yuliar Kus Nugroho mengatakan, Jerinx dimintai keterangan secara detail. Bahkan sampai pada emoji (ikon) pada postingannya. Pemeriksaan secara detail itu untuk mengetahui kedudukan dari persoalan itu. Meski dikatakan diperiksa secara detail, Jerinx masih berstatus sebagai saksi.
Dalam pemeriksaan itu ada tiga poin yang mendasar. Pertama postingan itu dilakukan oleh Jerinx sendiri. Kedua, bahwasannya maksud dari postingan itu, Jerinx menggugah IDI selaku organisasi profesi untuk mengambil tindakan atas ketidakadilan kepada rakyat. Di mana rapid tes sebagai syarat untuk layanan ke rumah sakit. Ketiga, ada ikon babi yang digunakan karena saat memposting, Jerinx sedang makan daging babi guling.
“Mengapa ikon emoji babi itu dipertanyakan karena di postingan yang lainnya, Jerinx tidak ada yang diberikan emoji babi. Inti pemeriksaan adalah postingan tanggal 13 Juni. Statusnya masih saksi. Polda Bali akan melakukan penyidikan secara profesional. Secepatnya kami akan lakukan gelar perkara. Dari hasil gelar perkara nanti langkah selajutnya akan disampaikan lebih lanjut. Karena kita melalui SOP,” tuturnya.
Meskipun dipolisikan, Jerinx mengaku tidak akan berhenti untuk mengkritik. Jerinx mengaku selama untuk kepentingan umum dia punya hak untuk bersuara. Jerinx mengaku kritikan yang diarahkannya kepada IDI bukan untuk kepentingan pribadi tapi untuk kepentingan lapisan masyarakat menengah ke bawah.
“Selama ketidakadilan itu terjadi saya akan terus mengkritik. Pada saat membuat postingan itu sebenarnya akumulatif perasaan empati saya kepada rakyat dari semua kejadian yang saya ketahui lewat media massa maupun media sosial sebelumnya. Layanan kesehatan terhambat hanya gara-gara prosedur rapid tes,” ucapnya.
Kritikan itu dilontarkannya karena alat rapid tes yang dijadikan syarat layanan hasilnya tidak akurat. Hal itu juga disampaikan oleh Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia melalui surat edaran yang intinya melarang kewajiban rapid tes sebagai syarat layanan kesehatan. Edaran itu dikeluarkan pada 24 April 2020. Fakta di lapangan, kata dia, justru terbalik.
“Saya tidak sedang mencari sensasi. Dengan melancarkan kritikan seperti ini justru saya ditinggal oleh beberapa sponsor dan dimusuhi orang. Jadi ini bukan sensasi. Saya melakukan kritikan lewat medsos karena platform yang saya miliki untuk bersuara saat ini yang paling ampuh adalah media sosial. Daripada saya ikut demonstrasi menurut saya tidak efektif,” tandasnya.
Usai menjalani pemeriksaan, giliran kuasa hukumnya, Wayan ‘Gendo’ Suardana memberikan keterangan kepada awak media. Gendo membeberkan kliennya diperiksa terkait dua postingan di akun Instagram milik Jerinx pada 13 Juni 2020 dan 15 Juni 2020. Saat diperiksa, kliennya telah menjelaskan bahwa tidak ada kebencian terhadap terhadap dokter dan IDI. Apa yang dilakukan itu adalah dalam rangka kritik dengan tujuan agar IDI memberikan respons. “Pada saat itu (sekitar bulan Juni 2020) ada peristiwa ibu hamil wajib rapid tes sebagai syarat pelayanan. Karena hal itu, Jerinx bertanya kepada IDI. Mengapa kepada IDI ? Karena IDI punya kekuatan penuh untuk mengubah kebijakan,” ujarnya.
Menurut Gendo, masalah yang dihadapi oleh kliennya itu sebenarnya hanyalah soal persepsi. Persepsinya Jerinx postingan itu adalah kritikan. Persepsi dari IDI itu adalah penghinaan. Persepsi yang beda ini harus dipertemukan lewat diskusi. Alatnya adalah mediasi atau rekonsiliasi. Terhadap persoalan persepsi ini, Gendo berupaya untuk melakukan upaya kekeluargaan. Menurutnya, langkah pidana adalah upaya yang terakhir. “Soal persepsi gaya bahasa ini agak susah untuk menentukan santun dan tidaknya. Kecuali kalau ada batasannya. Mana yang santun dan mana yang tak santun. Ukurannya berapa? Kalau ada derajatnya, berapa derajat biasanya santun? Ini Absurd. Soal santun itu soal persepsi,” kata Gendo.
Terkait penyebutan IDI sebagai kacungnya WHO kata Gendo, itu bukan penghinaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata dia, kacung itu artinya pelayan. Bukan budak belian. Kalau budak belian itu tidak pernah merdeka atas dirinya. Dalam postingan itu, Jerinx berharap agar IDI tidak hanya ikut agenda-agenda WHO saja. “Jerinx minta penjelasan IDI terkait penggunaan rapid tes sebagai syarat layanan rumah sakit yang nyata-nyata sudah dilarang oleh Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia. Kritikan itu diarahkan kepada IDI, karena IDI memiliki kekuatan untuk mengubah kebijakan yang memberatkan masyarakat utamanya menengah ke bawah,” tandas Gendo.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Bali Kombes Pol Yuliar Kus Nugroho mengatakan, Jerinx dimintai keterangan secara detail. Bahkan sampai pada emoji (ikon) pada postingannya. Pemeriksaan secara detail itu untuk mengetahui kedudukan dari persoalan itu. Meski dikatakan diperiksa secara detail, Jerinx masih berstatus sebagai saksi.
Dalam pemeriksaan itu ada tiga poin yang mendasar. Pertama postingan itu dilakukan oleh Jerinx sendiri. Kedua, bahwasannya maksud dari postingan itu, Jerinx menggugah IDI selaku organisasi profesi untuk mengambil tindakan atas ketidakadilan kepada rakyat. Di mana rapid tes sebagai syarat untuk layanan ke rumah sakit. Ketiga, ada ikon babi yang digunakan karena saat memposting, Jerinx sedang makan daging babi guling.
“Mengapa ikon emoji babi itu dipertanyakan karena di postingan yang lainnya, Jerinx tidak ada yang diberikan emoji babi. Inti pemeriksaan adalah postingan tanggal 13 Juni. Statusnya masih saksi. Polda Bali akan melakukan penyidikan secara profesional. Secepatnya kami akan lakukan gelar perkara. Dari hasil gelar perkara nanti langkah selajutnya akan disampaikan lebih lanjut. Karena kita melalui SOP,” tuturnya.
Dalam kasus ini ungkap Kombes Nugroho sudah ada tiga orang yang dimintai keterangan. Pertama, seorang ahli bahasa. Kedua ketua IDI Bali, I Gede Putra Suteja. Ketiga, adalah Jerinx sebagai terlapor. “Dari keterangan ahli bahasa ada satu unsur yang kira-kira mencemarkan nama baik. Postingan itu kita berpedoman kepada ahli bahasa,” tandasnya. *pol
1
Komentar