Tuturan Milenial
Kata milenial amat akrab di telinga krama Bali. Milenial memunculkan berbagai penanda transformasi sosial maupun kultural, baik pada dimensi bentuk, fungsi, maupun makna.
Salah satu perubahan di pakraman Bali adalah dinamika tutur. Di masa silam, bentuk tutur diikat oleh ‘sor singgih basa Bali’, undak usuk berkomunikasi antar penutur. Sor sing basa Bali ini mengandung aturan atau tatakrama dalam berucap, sehingga pembincangan terasa nyaman dan aman. Secara linguistik, ia merupakan ragam bahasa menurut hubungan antara penutur. Pilihan terhadap bahasa cakap, bahasa kasar, bahasa menengah, bahasa sedang, atau bahasa luwes amat tergantung pada hubungan tersebut.
Dewasa ini, penutur milenial serba terkepung oleh teknologi yang cepat, praktis, efisien, dan efektif. Sehingga, generasi milenial kurang mengakrabi tradisi sosial maupun budaya. Memori kolektif mereka terhadap tradisi lemah, seperti terhadap ‘anggah ungguh basa Bali’. Kemajuan teknologi telah menggeser kepentingan berinteraksi sosial dan kultural yang terikat aturan atau tatakrama. Di era milenial yang semakin canggih, sepertinya tidak ada tempat memadai bagi sebuah tradisi sosial maupun kultural.
Bentuk tutur merupakan ujaran yang membedakan tindak lokusi, ilokusi, maupun perlokusi. Bentuk lokusi adalah apa yang diucapkan; bentuk ilokusi adalah makna ucapan; dan bentuk perlokusi merupakan respon terhadap sebuah ucapan. Secara pragmatik, ada lima bentuk, seperti direktif, asertif, deklaratif, representatif, dan performatif. Untuk menyampaikan bahwa ia sedang dalam perjalanan, dan fasih diucapkan ‘otw’ yang merupakan oplosan ‘on the way’! Orang yang tahu segalanya disergah dengan ‘kepo’ besutan ‘knowing every particular object’ atau ‘tau aja’- bahasa gaulnya. Banyak bentuk tuturan milenial yang sudah tidak akrab dengan tatakrama bahasa maupun sosial-budaya.
Fungsi tuturan adalah untuk menyatakan maksud berdasarkan pemahaman terhadap konteks pembicaraan. Ada ujaran seperti ini, ‘ayo dong cepet ke rumah gua’. Maksud yang sebenarnya tidak jelas karena tidak memahami konteks. Fungsi tutur ini bisa sebuah ajakan, paksaan, perintah, dan sebagainya. Bentuk tutur demikian ditimpali dengan, ‘gpp pelan dikit’. Kata tidak apa-apa diubah menjadi besutan milenial ‘gpp’ dan disambung dengan ‘pelan dikit’. Maksudnya? Hanya mereka yang jelas akan maksud tuturan, sedangkan yang di luar mereka tidak memahami! Fungsi tutur sesuai dengan tatakrama sosial dan kultural menjadi gamang, tidak jelas dan tidak terarah!
Makna merupakan pemahaman terhadap isi tuturan menurut situasi ujar. Konteks luar bahasa memengaruhi maksud, sehingga makna tuturan tidak bisa dilihat hanya dari bentuk saja. Tetapi, makna juga bisa dilihat dari tempat dan waktu, siapa yang terlibat, tujuan, bentuk ujaran, cara penyampaian, alat berbicara, norma, dan genre.
Dalam konteks memerangi Covid-19, ‘kata bela negara’ dapat bermakna memerangi berita bohong atau palsu (hoaks), fitnah, ujaran kebencian baik berupa intoleransi, perpecahan, radikalisme, atau terorisme. Dalam konteks demikian, maka ‘kata bela negara’ harus disikapi dengan tinggal atau bekerja di rumah saja, cuci tangan yang bersih dengan air mengalir, pakai masker bila ke luar rumah, dan jaga jarak aman secara fisikal! Makna kata milenial bersifat kontekstual.
Dapat diringkas bahwa era milenial menjadi pembelajaran dalam penerapan ‘sor singgih basa Bali’. Tradisi lama tidak harus diikat mati, dan tradisi milenial tidak harus diumbar. Keduanya merupakan kontinum waktu. Transformasi sosial kultural tidak terelakkan. Demikian juga sistem berinteraksi krama Bali dengan krama tuwed dan krama tamiu harus diselaraskan. Semoga harmoni berkomunikasi tercipta di tanah Bali. *
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.
(Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)
Komentar