MUTIARA: Nafsu dan Amarah
Kāma esa krodha esa rajo-guna-samudbhavah, Mahāsano mahā-pāpmā viddhy enam iha vairinam. (Bhagavad-gita, III.37)
Nafsu dan amarah lahir dari rajaguna, sangat merusak dan berdosa. Ketahuilah bahwa keduanya adalah musuh paling berbahaya di dunia material ini.
NAFSU dan amarah merupakan nature dari prakrti sepanjang manusia sebagai concern. Keduanya inheren, gampang dikenali tapi sulit dihindari. Sampai saat ini belum ditemukan satu pun alat yang bisa digunakan untuk menghalaunya. Seperti api, ia hadir ketika dipicu dan diam dalam potensi ketika tidak diapa-apakan. Apakah yoga, meditasi, kontemplasi, dan praktik spiritual lainnya mampu menghalau nafsu dan amarah? Dipastikan tidak. Mengapa? Karena prakrti lengkap atau sempurna di dalam dirinya. Jika tubuh yang kita miliki adalah bagian dari prakrti itu, maka kesempurnaan prakrti itu sendiri juga menjadi nature tubuh kita. Jika nafsu dan amarah hendak dihilangkan, itu artinya mengurangi kesempurnaan itu sendiri, dan rasanya tidak akan pernah terjadi. Ini adalah Rta, hukum mutlak.
Jika demikian, apa gunanya yoga, meditasi, dan yang sejenisnya? Vedanta mengajarkan bahwa praktik spiritual atau sadhana yang dilakukan bukan dalam rangka menghilangkan nafsu dan amarah itu, tetapi untuk mengenali Sang Diri Sejati sebagai Sat (keberadaan), Cit (kesadaran), dan Ananda (kebahagiaan sejati). Kita diajak untuk mengenal identitas Diri Yang Sejati. Yoga, meditasi, dan sadhana lainnya bukan alat perang guna melawan unsur prakrti yang telah berada dalam kesempurnaannya. Sadhana itu dilakoni dalam upaya mengenali Diri Sejati yang eksistensinya di luar atau melampaui unsur prakrti. Diri kita yang sejati adalah Sang Kesadaran itu, bukan prakrti. Hanya dengan mengenali identitas yang sejati itu, nafsu dan amarah tidak lagi mempengaruhi. Jadi, dengan mengenali Sang Diri dan berada dalam Sang Diri, maka secara otomatis apapun yang menjadi perangkat prakrti akan kehilangan kuasanya.
Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa sepanjang nafsu dan kemarahan masih dirasakan sebagai bagian dari diri sendiri, itu menandakan bahwa identitas kita masih di ranah prakrti. Dengan mengidentifikasi diri sebagai tubuh, maka nafsu dan kemarahan akan tetap di sana. Dan, menurut teks di atas, nafsu dan kemarahan adalah alat yang sangat efektif untuk menghancurkan apapun, sehingga dikatakan sebagai musuh utama. Perkembangan apapun yang terjadi di dunia, sesukses apapun pembangunan material yang diusahakan dewasa ini, sepanjang itu perkembangan material, maka kehancuran selalu mengintainya. Mengapa? Karena kesuksesan material itu secara bersamaan membawa penghancurnya. Di sinilah mengapa sering dikatakan bahwa perkembangan sains dan teknologi tidak serta merta membuat kesadaran manusia berkembang. Malahan, perkembangan sains dan teknologi bisa dijadikan bahan bakar yang digunakan untuk menyirami nafsu dan kemarahan itu, sehingga setiap saat bisa meledak dan menghancurkan.
Memahami ini dengan baik akan membuat orang tidak bisa lagi menghujat nafsu dan kemarahan, tidak pula menyalahkan kehancuran, sebab itu merupakan tendensi dari alam prakrti. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menggunakan secara efektif salah satu piranti tubuh, yakni buddhi (kecerdasan) untuk mengenali tendensi ini dan kemudian berjuang untuk menemukan diri sejatinya. Saat Sang Diri Sejati dikenali, maka nafsu dan kemarahan tidak lagi menguasai, meskipun masih ada dalam tubuh. Di sinilah mengapa Yoga, meditasi, dan berbagai jenis sadhana lainnya menjadi penting dan bersifat individual.
Bagaimana dengan ide membangun masyarakat yang sejahtera, aman, dan damai? Tidak masalah, ide itu baik dan layak diperjuangkan. Hanya saja upaya untuk mencapai kondisi itu akan terus berada dalam proses perjuangan. Dari awal ciptaan sampai akhir, upaya untuk meraih masyarakat yang sejahtera, aman, dan damai akan tetap dalam perjuangan. Mengapa? Karena di masing-masing keberhasilannya mengandung kondisi sebaliknya, yakni nafsu dan amarah yang menjadi alat efektif untuk menghancurkannya. Baik yang sedang berjuang maupun yang diperjuangkan sama-sama memilikinya, sehingga apapun yang dihasilkan pada akhirnya akan dihancurkan. Setelah hancur, perjuangan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan kedamaian pun dimulai dari awal lagi. Seperti itulah hukum prakrti. *
I Gede Suwantana
Komentar