Atasi Resesi, Bali Bangkit
Pandemi Covid-19 terkonfirmasi menghantam telak ekonomi Bali. Kondisi yang jelas tidak diinginkan itu terpotret dari data pertumbuhan ekonomi kuartal kedua (April-Juni) 2020.
Penulis : Theresia Mutiara Galistya, SST, M.Si
Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
Badan Pusat Statistik Kabupaten Jembrana
Ancaman resesi yang membayangi sejak kuartal pertama, akhirnya “terpaksa” dialami. Namun, tentu selalu ada harapan di setiap permasalahan. Titik poinnya bukan lagi tentang kejatuhan dalam jurang resesi. Upaya meminimalkan dampak dan mempercepat kebangkitan dari kondisi keterpurukan semestinya menjadi fokus utama. Dimana hal itu jelas tergantung pada keberhasilan percepatan program pemulihan ekonomi.
Seberapa lama resesi mungkin dialami? Pemerintah pusat sendiri mengantisipasi krisis ekonomi akibat pandemi akan berlangsung selama tiga tahun. Hal ini tercermin dari aturan relaksasi defisit APBN yang membolehkan defisit APBN di atas 3% selama 3 tahun. Dengan kata lain, pemerintah memprediksi ekonomi minimal akan pulih dalam jangka waktu tersebut. Tentu besar asa kita, Bali akan pulih jauh lebih cepat dari ekspektasi tersebut.
Tepat pada 5 Agustus 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali merilis ekonomi Bali triwulan II tumbuh negatif (terkontraksi) semakin dalam hingga mencapai dua digit, -10,98 persen (year on year/y-on-y). Sebelumnya, catatan pertumbuhan minus telah dirasakan pada triwulan sebelumnya dengan tumbuh negatif 1,14 persen. Kenyataan teramat jarang terjadi, bahkan hampir terlupakan sejak krisis ekonomi 1998, lebih dari dua dasawarsa lalu. Ketika itu, ekonomi Bali terkoreksi hingga -4,04 persen. Bahkan, ketika peristiwa bom Bali mengguncang hingga dua kali, nyatanya ekonomi Bali tetap tercatat tumbuh positif.
Sedikit menelisik kondisi krisis moneter 1998 dan resesi 2020 di Bali, ditemukan kemiripan. Saat tumbuh negatif pada tahun 1998, penumpang penerbangan internasional dan domestik mencatatkan penurunan yang berdampak pada turunnya Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang. Ternyata, kondisi serupa terjadi pada kuartal II 2020. Pada gilirannya, pertumbuhan ekonomi pada kedua periode tersebut akhirnya terkontraksi (menyusut) hingga minus. Beda halnya saat bom Bali 12 Oktober 2002. Jumlah penumpang penerbangan internasional turun dalam, tetapi jumlah penumpang domestik tidak terlihat terganggu dan tetap tumbuh. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi pada tahun itu tercatat masih mampu tumbuh positif.
Kontraksi yang terjadi pada kuartal kedua 2020 menghantar Bali memasuki gerbang resesi. Bali yang sangat tergantung dengan sektor pariwisata, dalam hal ini ekspor jasa luar negeri (perjalanan turis dunia/wisman), mengalami kondisi layaknya Singapura dan Korea Selatan yang memasuki masa resesi teknikal setelah dua kuartal berturut-turut minus akibat pembatasan sosial sebagai dampak pandemi Covid-19. Seperti diketahui, kedua negara tersebut juga sangat bergantung pada perekonomian global (ekspor dan perdagangan dunia).
Sejauh ini, Pemerintah Bali sejatinya telah mampu menorehkan prestasi gemilang dalam menangani pandemi COVID-19. Terbukti di tingkat nasional, Bali berhasil menjuarai Lomba Inovasi Daerah Tatanan Normal Baru, Produktif dan Aman dari Covid-19, yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri hingga menyabet hadiah berupa tambahan Dana Insentif Daerah (DID) sebesar total Rp 5 miliar.
Namun, tentunya tantangan ke depan masih cukup berat. Tidak hanya pukulan telak pada bidang ekonomi, beragam permasalahan sosial sebelumnya telah lebih dahulu memperberat situasi. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2020 (yang dilaksanakan 1-31 Maret) mencatat peningkatan jumlah dan kedalaman kemiskinan di Bali. Padahal saat survei dilakukan, pandemi terhitung masih kurang dari satu bulan melanda Bali. Mengingat suspect positif Covid-19 di Bali kali pertama diumumkan pada 11 Maret 2020.
Hal senada nampak pada hasil Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas) Februari 2020 yang mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) meningkat dibanding Februari 2019. Selain itu, distribusi pekerja informal juga masih cukup besar. Padahal, pekerja informal menjadi golongan yang paling rentan terhadap dampak pandemi karena mudah kehilangan pekerjaan.
Menimbang perkembangan situasi pandemi, prediksi peningkatan kemiskinan dan pengangguran di sisa tahun nampaknya semakin menguat. Namun, kompleksitas permasalahan sosial ekonomi yang melanda Bali, nyatanya telah disikapi dengan bijak. Pemberlakukan Tata Kehidupan Baru “New Normal” menjadi harapan pemenuhan dahaga ekonomi. New Normal tahap pertama telah dimulai 9 Juli 2020 disusul dibukanya pintu pariwisata domestik pada 31 Juli 2020, dan pariwisata internasional nanti pada 11 September 2020. Meski, disadari hasilnya tidak serta merta semudah membalik telapak tangan. Orang akan berwisata saat kondisi aman, nyaman, dengan kondisi finansial mapan. Sayangnya, prasyarat tersebut masih sulit terpenuhi. Setidaknya untuk saat ini. Geliat para traveller untuk berlibur terganjal persyaratan tambahan seperti rapid test yang notabene menambah pengeluaran. Selain tentunya ketidakpastian kapan pandemi berakhir yang cenderung membuat masyarakat menunda kegiatan bersifat leisure.
Sebenarnya sebelum pertumbuhan ekonomi negatif resmi diumumkan, Pemerintah Daerah telah bergerak aktif dengan membentuk Tim Percepatan Pemulihan Ekonomi yang dibawahi langsung oleh Bapak Wagub. Demikian halnya Pemerintah Pusat yang menaruh perhatian besar bagi membaiknya kondisi Bali. Dalam video dukungan Bali Bangkit, disampaikan beberapa langkah strategis yang akan ditempuh Pemerintah Pusat (Balipost, 27 Juli 2020). Diantaranya pemberian soft loan bagi pelaku pariwisata melalui stimulus ekonomi serta program yang mendukung UMKM seperti restrukturisasi kredit, subsidi, serta penjaminan modal kerja.
Menurut hemat penulis, sejalan dengan langkah pemerintah, demi mempercepat tercapainya pemulihan ekonomi, kuncinya terletak pada peningkatan daya beli. Untuk jangka pendek, menggenjot konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah. Untuk jangka panjang, menggiatkan investasi fisik dan ekspor. Selain masih menjadi empat kontributor terbesar pembentuk PDRB menurut pengeluaran, membangkitkan kinerja pertumbuhan keempat komponen tersebut pada gilirannya akan sangat menolong peningkatan pertumbuhan ekonomi Bali ke posisi normal.
Mendorong konsumsi masyarakat dengan pemberian gaji, pensiun, tunjangan, penghasilan ke-13 pada Bulan Agustus dirasakan sangat tepat. Mengingat Marginal Prosperty to Consume (MPC) kelas menengah lebih tinggi dibanding kelas atas dan kelas bawah. Yang terbaru, Kementerian Keuangan telah mengumumkan pemberian insentif kepada pekerja swasta berpendapatan Rp 5 juta ke bawah, masing-masing sebanyak Rp 600 ribu per bulan selama 4 bulan dari Bulan September. Tentunya ini akan menjadi tambahan angin segar di masa krisis seperti sekarang ini.
Adapun untuk menggenjot belanja pemerintah dapat dilakukan melalui beragam cara. Dengan pemberlakuan “New Normal”, Kementerian/lembaga diharapkan mulai dapat melaksanakan MICE di Bali. Berlanjut ke percepatan investasi fisik, mengungkit volume ekspor, dan mempercepat penyerapan dana perlindungan sosial. Perlindungan sosial sebaiknya tidak lagi diberikan dalam bentuk sembako, tetapi tunai sehingga keluarga penerima bantuan dapat lebih bebas membelanjakan dan lebih ada perputaran uang. Bantuan yang diberikan juga tidak lagi hanya menyasar 40 persen kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi termasuk kelas menengah harapan (aspiring middle class), yakni kelas menengah yang rentan jatuh miskin (Balipost, 26 Juli 2020).
Selanjutnya, percepatan stimulus sektor pertanian. Selain masih menduduki peringkat terbesar kedua penyumbang PDRB Bali, penyediaan pangan untuk penduduk menjadi keharusan. Pun disadari, sektor pertanian masih menjadi kantong kemiskinan. Stimulus dapat dilakukan dengan menjaga ketersediaan komoditas pendukung produksi dan menjaga harga di tingkat petani.
Yang tidak kalah penting dikerjakan, mendongkrak kontribusi UMKM. Kontribusi UMKM pada PDRB terbilang besar. Berkaca pada pengalaman krisis moneter 1997-2000, ekonomi rakyat yang tidak sepenuhnya tercatat dalam statistik resmi telah mampu “menyelamatkan” ekonomi Indonesia dari kehancuran total (Mubyarto, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 16, No.2, 2001, 97-110).
Kuncinya, sesuai nama program yang disematkan, percepatan pemulihan ekonomi semestinya dilaksanakan secepatnya. Untuk mengatasi krisis, kita tidak bisa berpikir sebatas linier. Dengan memiliki sense urgency tinggi, analisis dampak dan resiko harus berjalan cepat supaya mampu menentukan mitigasi yang tepat. Berpikir untuk 4.380,8 ribu penduduk Bali (data hasil proyeksi BPS) memang tidak bisa dengan kerja biasa-biasa saja. Atau dengan kata lain memacu untuk kerja lebih keras, lebih cepat, dengan tetap akuntabel. Layaknya mengganti channel, mengganti cara rumit ke sederhana, dari SOP normal ke SOP smart shortcut. Saat itu dilakukan, niscaya Bali segera bangkit.
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar