MUTIARA WEDA: Kelahiran Sejati
Acāryastvasya yām jātim vidhivadvedapāragah, Utpādayati sāvitryā sā satyā sājarāmarā. (Manavadharmasastra, II. 148)
Namun, kelahiran dari seorang guru melalui proses dvijati itulah dinyatakan sebagai kelahiran yang sebenarnya, kelahiran yang utuh dan abadi.
SEJAK kecil diberitahu bahwa guru jumlahnya ada empat, disebut catur guru. Keempatnya, yakni guru rupaka (orangtua), guru svadyaya (Sang Diri), guru visesa (pemerintah), dan guru pengajian (guru spiritual). Keempat guru ini harus dihormati dan dimuliakan. Namun, dalam proses kelahiran, menurut teks di atas dinyatakan bahwa hanya dua guru yang berperan, yakni guru rupaka dan guru pengajian. Secara biologis, seseorang dilahirkan oleh guru rupaka. Dikatakan bahwa kelahiran ini terjadi oleh karena birahi melalui kontak seksual. Ini disebut sebagai kelahiran pertama atau kelahiran biologis. Kelahiran ini dinyatakan tidak terlalu signifikan sebab alam telah menggariskannya demikian. Alam yang mendorong setiap makhluk hidup untuk secara terus-menerus melanjutkan keturunan.
Orang dikatakan lahir yang sebenarnya hanya ketika dia telah melewati berbagai sadhana yang dilakukan di bawah bimbingan seorang guru. Jika guru melihat bahwa muridnya itu layak dan telah mampu menemukan diri sejatinya, dan kemudian dikukuhkan melalui proses diksa dvijati, maka ini dinyatakan sebagai kelahiran kedua. Saat seorang sadhaka melahirkan dirinya sendiri melalui proses panjang sadhana, maka ini disebut sebagai kelahiran yang sebenarnya, kelahiran yang abadi. Seorang dvijati artinya dia yang telah selesai, yang perjalanannya telah mencapai terminal akhir. Kelahiran ini juga dikatakan sebagai kelahiran dari Veda atau pengetahuan, sebab dalam prosesnya, dia mempraktikkan ajaran Veda di bawah arahan seorang guru.
Jika kelahiran dari seorang guru spiritual lebih penting dibandingkan dengan kelahiran dari orangtua, apakah kemudian kita bisa mengesampingkan orangtua? Rasanya, satu pun teks suci tidak ada yang mengatakan bahwa kita bisa menyepelekan orangtua hanya karena kita telah dilahirkan oleh seorang guru spiritual. Teks di atas tidak dalam rangka merendahkan orangtua yang melahirkan secara biologis. Bahkan, secara logika kita bisa memahami bahwa pernyataan teks di atas tidak serta merta memerintahkan untuk mengesampingkan orangtua. Kalau pun ada orang yang memiliki persepsi seperti itu, maka itu hanyalah interpretasinya saja yang dangkal. Kekeliruannya sama seperti menginterpretasi sebuah teks yang menyatakan: “dia yang memuja leluhur akan mencapai leluhur, sementara dia yang memuja-Ku akan langsung mencapai Aku”. Kemudian dia merasa bahwa leluhur tidak perlu dipuja dan kemudian sanggah rong telu dipugar. Teks tidak pernah menyatakan itu. Hanya kepicikan pikiran sendiri yang menyatakan demikian.
Dalam konteks kelahiran, maka orang yang mampu melahirkannya dari pengetahuan dinyatakan lebih tinggi. Mengapa? Karena kelahiran seperti itulah yang membuat samsara tidak lagi bekerja. Guru spiritual dinyatakan sebagai orang yang mampu memutus rantai lautan samsara tanpa tepi (ananta samsara). Namun, dalam konteks penghormatan siapa pun harus dihormati secara sama. Memang, dalam sebuah perguruan ada yang menerapkan bahwa dia yang berani berkomitmen untuk melakukan sadhana secara intens di bawah bimbingan seorang guru, dan kemudian guru mentasbihkannya, dia kemudian ikut bersama guru itu. Kehidupannya didedikasikan untuk melayani gurunya. Jika gurunya memiliki sebuah organisasi, maka dia sepenuhnya mendedikasikan hidupnya untuk melayani misi organisasi itu. Hubungan dengan orangtua yang melahirkannya telah selesai. Namun, hubungan selesai maksudnya bukan dalam konteks penghormatan yang selesai, melainkan keterikatannya dengan orangtua yang selesai, karena dia harus mengemban tugas yang lebih besar, yakni melayani guru dan organisasinya untuk tujuan yang lebih tinggi.
Tampak tragis memang jika dilihat dari kacamata duniawi, tetapi jika dilihat dari prinsip-prinsip spiritual, dimana tolok ukurnya adalah perkembangan kesadaran, maka hal seperti ini masih bisa dianggap masuk akal. Orangtua yang mampu melepaskan keterikatannya itu pun tidak akan kehilangan kemuliaannya, dan tidak pula kehilangan rasa hormat dari anaknya, meskipun sudah tidak lagi ada kontak. Dalam proses sadhana, baik orangtua maupun anak mesti sama-sama melepas keterikatan terhadap apapun, termasuk dengan orang terdekat. *
I Gede Suwantana
1
Komentar