Kaos Barong Rehat Produksi
DENPASAR, NusaBali
Kaos bergambar barong yang menjadi ikon lawas souvenir pariwisata Bali masih tetap bertahan.
Hanya saja karena dampak pandemi Covid-19, aktivitas pembuatan kaos barong rehat sejak 6 bulan lalu. Pembuat baju barong pun terpaksa beralih profesi. Turun ke sawah jadi petani kembali digeluti. “Sudah hampir enam bulan sepi, karena pariwisata macet,” ujar I Wayan Murtika,45, seorang pembuat baju barong di Kelurahan/Desa Beng Kecamatan Gianyar, Kamis (20/8).
Ditemui di rumahnya di Lingkungan Banjar Kaje Kauh, Kelurahan Beng, Murtika menuturkan sebelum pandemi Covid-19 produksi baju barong lancar. Dalam sepekan Murtika menuturkan dia dan keluarganya mengirim 4.000 biji baju barong pelanggan pasar oleh-oleh. “Memang hanya melayani pasar oleh-oleh,” ujarnya menyebut salah satu nama pasar oleh-oleh di Bali.
Lepas dari jeda yang sudah enam bulan karena Covid-19, Murtika menuturkan baju barong memang tetap mampu bertahan menjadi salah satu ikon oleh-oleh Bali. “Tidak lengkap ke Bali, kalau tak membawa baju barong sebagai oleh-oleh,” ujar ayah satu anak ini berpromosi.
Itu karena baju barong sudah melegenda. Perintisnya menurut Murtika, adalah I Gede Maruta, seorang pengusaha tenun tradisional merk terkenal di kota Gianyar yang juga asal Beng. Sampai dengan saat ini ‘usia’ baju barong ‘made in’ Beng sudah 40 tahun. Dari hanya baju kaos, berkembang menjadi setelan dan varian lainnya sampai dengan sarung pantai. “Di sinilah (Beng) sentra kerajinan baju barong,” kata Murtika.
Untuk memproduksi baju barong paling tidak butuh waktu 10 hari. Diawali dengan memotong bahan yakin kain rayon, lanjut menjarit, proses buat pola, celup, bola dan lukis dan cuci. Karenanya jika ada pesanan di bawah 10 hari, Murtika meyatakan tidak bisa dilayani. Itu karena prosesnya yang cukup panjang.
Untuk gambar barong, ada yang dilukis langsung ada yang memakai cetakan atau sablon. Namun kebanyakan dengan cara digambar atau dilukis langsung. Dengan lukisan langsung, gambar barong terihat lebih dinamis karena bergantung pada mood dan gerak tangan pelakisnya. Sedang kalau dengan sablon atau cetakan, pola gambar barong pasti sama.
Murtika menuturkan dampak Covid-19 merupakan pukulan terberat dirasakan perajin baju barong di Beng. Pemasaran macet-walau satu dua masih ada juga yang membeli.
“Dulu saat bom Bali (2002) juga terimbas, tetapi tak seperti sekarang. Penjualan masih tetap jalan,” ujarnya. Murtika pun sama seperti warga lainnya, berharap pandemi Covid-19 segera berakhir, sehingga kerajinan baju barong menggeliat kembali. *k17
1
Komentar