Mahima Institute Terbitkan Novel Pertama
Kekerasan dalam keluarga yang banyak terjadi dijadikan cerita dalam novel.
SINGARAJA, NusaBali
Situasi pandemi Covid-19 tak menyurutkan sastrawan muda yang bernaung di bawah Mahima Institute tetap berkarya. Dua novel perdana terbitan Mahima diluncurkan Sabtu (22/8) malam. Novel karya sastrawan muda jebolan Komunitas Mahima ini menarasikan kekerasan dalam keluarga yang berbentuk verbal maupun tindakan langsung.
Novel pertama adalah karya sastrawan muda Putu Juli Sastrawan, asal Klungkung berjudul Kulit Kera Piduka. Novel karya Juli Sastrawan dibedah Putu Agus Phebi Rosadi, menceritakan tentang keluarga Piduka yang ingin menjadikan anak perempuannya bernama Kenanga sebagai penari joged. Namun dalam cerita novel itu Kenanga menolak keinginan ayahnya, hingga berujung menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual oleh ayahnya sendiri.
“Juli, memang seperti penulis Bali pada umumnya, dia ingin menunjukkan Bali sebagai ikon, namun kadang-kadang tanpa disadari bahwa ini dapat menjadi hal yang bumerang, kalau kita salah mengambil atau menuliskan Bali, bisa menjadi hal yang eksklusif sehingga tidak bisa dinikmati oleh khalayak di luar Bali,” papar Agus Phebi yang juga seorang guru di Jembrana ini.
Menurutnya, novel ini bercerita tentang feminisme dan kekerasan anak dalam kehidupan masyarakat luas, termasuk di Bali. Kisah kekerasan dan pelecehan seksual dalam novel tersebut juga ditegaskan merupakan fakta dan sastra yang pernah terjadi di Bali. Termasuk profesi penari joged yang diangkat dalam cerita novel itu secara tidak langsung dijadikan tameng orangtua menjadikan anaknya sebagai pelacur.
Sementara itu novel kedua berjudul ‘Babi Babi Babi’ karya Putu Supartika yang juga sastrawan muda asal Karangasem. Novelnya dikupas habis oleh Komang Puteri Yadnya Diari yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pusat Pengambangan Bahasa STAH Mpu Kuturan Singaraja. Menurut Putri, novel ‘Babi, Babi, Babi’ juga tak jauh dari narasi kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan rumah tangga yang tergambar di novel Supartika ini juga sangat banyak ditemui di tengah masyarakat.
Konflik sebuah keluarga muncul saat anak di bawah umur diketahui hamil oleh orangtuanya. Ayah yang tertulis sebagai tokoh Kondra mendadak bersikap kasar setelah mengetahui penyebab sakit anaknya yang didiagnosa dokter sedang hamil muda. “Saat pertama kali membaca bahasanya sangat vulgar dan kasar seperti tidak peduli dengan pembaca, saya pun memastikan hingga harus membaca dua kali,” ungkap Putri.*k23
Situasi pandemi Covid-19 tak menyurutkan sastrawan muda yang bernaung di bawah Mahima Institute tetap berkarya. Dua novel perdana terbitan Mahima diluncurkan Sabtu (22/8) malam. Novel karya sastrawan muda jebolan Komunitas Mahima ini menarasikan kekerasan dalam keluarga yang berbentuk verbal maupun tindakan langsung.
Novel pertama adalah karya sastrawan muda Putu Juli Sastrawan, asal Klungkung berjudul Kulit Kera Piduka. Novel karya Juli Sastrawan dibedah Putu Agus Phebi Rosadi, menceritakan tentang keluarga Piduka yang ingin menjadikan anak perempuannya bernama Kenanga sebagai penari joged. Namun dalam cerita novel itu Kenanga menolak keinginan ayahnya, hingga berujung menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual oleh ayahnya sendiri.
“Juli, memang seperti penulis Bali pada umumnya, dia ingin menunjukkan Bali sebagai ikon, namun kadang-kadang tanpa disadari bahwa ini dapat menjadi hal yang bumerang, kalau kita salah mengambil atau menuliskan Bali, bisa menjadi hal yang eksklusif sehingga tidak bisa dinikmati oleh khalayak di luar Bali,” papar Agus Phebi yang juga seorang guru di Jembrana ini.
Menurutnya, novel ini bercerita tentang feminisme dan kekerasan anak dalam kehidupan masyarakat luas, termasuk di Bali. Kisah kekerasan dan pelecehan seksual dalam novel tersebut juga ditegaskan merupakan fakta dan sastra yang pernah terjadi di Bali. Termasuk profesi penari joged yang diangkat dalam cerita novel itu secara tidak langsung dijadikan tameng orangtua menjadikan anaknya sebagai pelacur.
Sementara itu novel kedua berjudul ‘Babi Babi Babi’ karya Putu Supartika yang juga sastrawan muda asal Karangasem. Novelnya dikupas habis oleh Komang Puteri Yadnya Diari yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pusat Pengambangan Bahasa STAH Mpu Kuturan Singaraja. Menurut Putri, novel ‘Babi, Babi, Babi’ juga tak jauh dari narasi kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan rumah tangga yang tergambar di novel Supartika ini juga sangat banyak ditemui di tengah masyarakat.
Konflik sebuah keluarga muncul saat anak di bawah umur diketahui hamil oleh orangtuanya. Ayah yang tertulis sebagai tokoh Kondra mendadak bersikap kasar setelah mengetahui penyebab sakit anaknya yang didiagnosa dokter sedang hamil muda. “Saat pertama kali membaca bahasanya sangat vulgar dan kasar seperti tidak peduli dengan pembaca, saya pun memastikan hingga harus membaca dua kali,” ungkap Putri.*k23
Komentar